Nov 10, 2013 - Artikel    No Comments

Bahasa Indonesia sebagai (Embrio) Bahasa ASEAN?

Kongres Bahasa Indonesia X, yang berlangsung di Jakarta, 28-31 Oktober 2013, merekomendasikan agar bahasa Indonesia menjadi embrio bahasa ASEAN. Tidakkah rekomendasi ini bak hendak memasak sayur asem tanpa asem?

Menurut pemberitaan media massa, rekomendasi itu muncul dalam sidang kelompok yang mengusung subtema “Diplomasi Kebahasaan sebagai Upaya Penguatan Jati Diri Pemartabatan Bangsa”. Menurut Kompas (30/10/13), misalnya, Zulfikar, salah seorang pemakalah di dalam kongres tersebut menyatakan bahwa menjadikan bahasa Indonesia sebagai embrio bahasa ASEAN merupakan salah satu strategi untuk memperkuat bahasa Indonesia di dunia internasional. Sementara itu, Aziz, pemakalah lainnya, menegaskan bahwa penguatan bahasa Indonesia di dunia internasional mengalami hambatan cukup besar, salah satunya karena bahasa Indonesia justru mengalami penggerusan oleh penuturnya sendiri.

Perbedaan prinsip di antara kedua pemakalah kongres tersebut memang hal yang wajar di dunia akademik. Akan tetapi, melihat alasan yang mereka paparkan, setidaknya kita boleh bersepakat bahwa bangsa kita masih saja mencintai bahasa Indonesia dengan membabi buta. Seolah, bahasa Indonesia adalah “senjata pamungkas” yang boleh dipakai untuk menaklukkan apa saja atau siapa saja.

Tulisan ini tidak hendak menentang rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X itu, mengingat apa pun sah-sah saja direkomen-dasikan dari sebuah kongres. Tulisan ini hanya sekadar refleksi terhadap bangsa kita yang, menurut saya, selalu saja aneh dalam memproyeksikan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia.

Hegemoni monolitisme

Mestinya, biasa-biasa sajalah memandang bahasa Indonesia. Pertama, ingatlah bahwa nama bahasa Indonesia (dibaca: embrio bahasa Indonesia) baru dicetuskan pada 1926 (oleh M. Tabrani) dan baru dikumandangkan di muka Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Artinya, penamaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia murni bersifat politik.

Kedua, tiap-tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya pada dasarnya memiliki aturan mainnya atau tata permainannya sendiri-sendiri sesuai dengan konteks kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, di dalam bahasa Indonesia kita pasti menemukan tata permainan bahasa puisi, tata permainan bahasa “SMS”,  dan tata permainan bahasa ilmiah, misalnya, yang masing-masing memiliki aturannya sendiri dan oleh karena itu tidak serta-merta dapat dipandang baik-benarnya hanya dari kacamata bahasa Indonesia baku. Tolong diperhatikan, aturan ejaan, aturan gramatika, dan aturan sintaksis hanyalah dipakai di dalam tata permainan bahasa Indonesia tulis belaka. Memandang dan menilai keseluruhan ungkapan bahasa Indonesia hanya dari kacamata strukturalisme semacam itu (dibaca: mendewa-dewakan bahasa baku), selain menafikan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan kehidupan yang beragam-ragam, juga menjauhkan bahasa Indonesia dari kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Implikasi dari hal ini, bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat kehendak bebas manusia yang melandasi nilai-nilai kreativitas, nilai-nila etik, dan nilai-nilai estetikanya. Itu sebabnya, sulit membayangkan negara turut campur dalam hal moral masyarakat, misalnya mengatur warganya untuk berbahasa yang baik dan benar dalam dalam beribadah, dalam hal bergurau, dan dalam hal berbelanja di supermarket.

Ingatlah “kecelakaan budaya” yang terjadi selama kekuasaan rezim Orde Baru, ketika bahasa Indonesia dijadikan objek monolitisme oleh Penguasa, misalnya dengan melakukan pembakuan bahasa yang diberlakukan pada seluruh tata permainan, situasi, dan konteksnya. Padahal, kita adalah bangsa yang multilingual, yang (melalui Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928) bersepakat secara politis menerima penggunaan bahasa Indonesia (d.h. bahasa Melayu) sebagai tata permainan bahasa nasional, tata permainan bahasa negara, tata permainan bahasa resmi, tata permainan bahasa kesatuan, dan tata permainan bahasa persatuan. Patut segera dikemukakan bahwa di balik ungkapan “bersepakat”, bahasa Indonesia digunakan sehari-hari oleh masyarakat bersama-sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya (Betawi, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak, dan seterusnya). Selain hal itu, bahasa Indonesia juga digunakan bersama-sama dengan bahasa Belanda, Inggris, Arab, Mandarin, atau Jepang. Alhasil, mudah dimengerti, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu rata-rata orang Indonesia. Cobalah Anda bepergian ke pelosok-pelosok Nusantara, nikmatilah ungkapan bahasa Indonesia yang diperdengarkan saudara-saudara kita di sana, tentu Anda akan mendengar suatu tata permainan bahasa Indonesia lisan yang berbeda-beda, yang indah, estetis, dan kental mencerminkan suatu nilai kehidupan yang beragam-ragam.

Masalahnya, mengapa saudara-saudara kita itu ketika menulis kata “salat”, misalnya, tidak memiliki keseragaman ejaan? Padahal, sudah dikatakan, suatu tata permainan bahasa meruapkan aturan dan nilai tertentu sesuai dengan konteksnya. Jadi, ada saudara kita menuliskan kata “shalat”, “sholat”, bahkan ada pula yang menuliskan “syolat”. Hal ini, dalam perspektif Filsafat Bahasa, disebut “keliru kategori”, yakni tercampurnya dua tata permainan bahasa dalam suatu ungkapan bahasa, alias bercampur-baurnya ranah bahasa lisan dengan bahasa tulis. Hemat saya, pemicunya, dan ini adalah hal ketiga, bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah bukanlah bahasa Indonesia yang hidup di tengah masyarakat sehari-hari.

Yang terlihat, seperti bunyi kurikulumnya, para guru bahasa Indonesia kita bukannya mengajarkan para siswanya cara berbahasa, melainkan justru menjadikan para siswanya menjadi ahli bahasa dengan memaksakan menghapal teori-teori bahasa. Alhasil, terjadi senjang antara teori bahasa (yang memang berasal dari Barat) dan sosok bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kita tentu tahu pasti, tidak ada satu teori pun yang bisa dijadikan grand theory untuk menjelaskan segala-galanya. Implikasi dari kenyataan ini, sebagai alat komunikasi sudah barang tentu bahasa Indonesia selalu berubah-ubah sesuai dengan tata permainan, situasi, dan konteksnya. Itu sebabnya, amat wajar jika hingga kini banyak di antara kita yang masih mengidap “keliru kategori” sebagaimana telah saya singgung itu. Contoh mutakhir, perhatikanlah ungkapan “konspirasi kemakmuran” yang diucapkan Vicky Prasetyo. Ia melakukan keliru kategori ketika mencam-purkan antara kata “konspirasi” (tata permainan bahasa politik) dan kata “kemakmuran” (tata permainan bahasa ekonomi). Ketika ia mengucapkan “konspirasi kemakmuran”, tentu saja ucapannya sulit dipahami, alias hampa makna, dan itu sebabnya serta-merta kita tertawa terbahak-bahak.

Habitus kebahasaan

Menjadi benar, dibutuhkan pemahaman kritis dalam memandang sosok bahasa Indonesia, sehingga dalam mencintainya kita tidak membabi buta. Apalagi, serta-merta merekomendasikannya menjadi embrio bahasa ASEAN, hanya karena menganggap dituturkan oleh jumlah penutur yang besar.

Cobalah direnungi, peristiwa kebahasaan apakah yang sedang marak sejak awal Januari 2010, yakni sejak perekonomian Indonesia diwarnai oleh China, menyusul terjadinya kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Dari kesepakatan ini, China telah membanjiri Indonesia dengan produknya, mulai dari mesin, elektronika, buah-buahan, tekstil, hingga kancing baju. Di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, ditengarai produk tekstil China sudah menguasai lebih dari 47 persen. Alhasil, China berhasil menyudutkan produk lokal yang sebenarnya lebih berkualitas. Uniknya, China sendiri ternyata bukanlah negara yang mudah untuk menyerap produk-produk asing. Pasar China ternyata hanya menyumbang kurang dari 2 persen dari seluruh penjualan perusahaan sekaliber Pfizer, Astra-Zeneca, dan Buyer (Dewanto, 2010). Artinya, saya setuju dengan pendapat bahwa ternyata China tetap melakukan praktik proteksionisme sekalipun hendak menyatakan diri sebagai nagara demokratis. Praktik semacam ini, melalui perekonomian, tentu dapat diikuti negara-negara ASEAN dalam hal “menentukan” bahasa siapa yang dianggap “cocok” sebagai bahasa jati diri bangsa.

Oleh karena itu, menjadi benar pula jika dikatakan bahwa dalam hal berbahasa kita memang harus berprinsip “don’t think, but look” (meminjam istilah Wittgenstein). Artinya, jangan berpikir bagaimana bahasa seharusnya dibentuk, tetapi lihatlah secara kritis bagaimana bahasa membentuk dirinya. Oleh karena itu, percayalah bahwa bahasa (kata-kata, kalimat, dan ungkapan bahasa) lebih merupakan alat yang dapat dipakai dengan banyak cara ketimbang sekadar mematut-matutkannya dengan teori linguistik. Dengan demikian, secara kritis kita juga akan segera memahami bahwa ungkapan “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” tidak dapat dipahami lagi sebagai sekadar “bahasa Indonesia baku” versus “bahasa Indonesia tidak baku”. Kenyataannya, memang tidak mungkin dengan serta-merta kita menilai bahwa tata permainan bahasa SMS (contoh: “gw mo blng thx ke km”) telah merusak bahasa Indonesia, hanya karena bahasa SMS tidak mengandung unsur subjek, objek, dan predikat, sebagaimana dituntut dalam tata permainan bahasa tulis baku.

Mungkin, patut digarisbawahi, pada galibnya bahasa selalu terkungkung oleh “habitus” dan “pasar nya”. Istilah yang saya pinjam dari Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masya-rakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Namun, kecenderungan itu selalu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Dari hal ini, makin jelas bahwa memang dibutuhkan pemahaman kritis dalam memandang sosok bahasa Indonesia yang sama-sama kita cintai.

Sekali lagi, “don’t think, but look”. Merdeka!

Jakarta, Hari Sumpah Pemuda 2013

 

Okt 9, 2013 - Artikel    No Comments

Pantun-Melayu Bukan Pancaran Masyarakat Melayu Lama

Selalu dikatakan bahwa pantun, sebagai bentuk puisi Melayu tradisional (baik pantun Indonesia maupun pantun Malaysia), merupakan pancaran masyarakat Melayu lama yang oleh karena itu juga selalu dikatakan mencerminkan masyarakat yang statis, selalu terikat nilai adat, dan lambat berubah.

 

Pencerminan masyarakat yang demikian itu adalah pencerminan model dikotomi ala strukturalisme yang patut diberi catatan kritis. Sebagaimana diketahui, semangat strukturalisme selalu menggarisbawahi adanya oposisi biner, yang membuat kehidupan selalu dilihat dalam dikotomi yang hitam-putih: baik-buruk, hitam-putih, atasan-bawahan, dan juga ada masyarakat tradisional dan ada masyarakat yang tidak tradisional.

Dikotomi model strukturalisme itu dewasa ini memang telah kehilangan vitalitasnya, mengingat kehidupan tidak dapat dilihat secara hitam-putih seperti itu. Pantun, sebagai puisi lisan yang dihasilkan sejak dahulu kala oleh banyak masyarakat di mana-mana di dunia, dengan demikian tidak serta-merta dapat dianggap sebagai pancaran masyarakat lama. Penyebabnya, suatu “pancaran masyarakat” adalah hasil pengkategorian dan ideologisasi yang terus-menerus hidup di dalam suatu masyarakat. Ia mengendap dan menjadi nilai-nilai lokutif di sepanjang perkembangan kehidupan masyarakat itu.

Membaca pantun-Melayu dari perspektif kritis-analitis, yakni dari sudut tindak tutur komunikasi, setidaknya akan membuktikan hal tersebut di atas.

 

Pantun dalam Perspektif Kritis

Dalam perspektif strukturalisme, pantun lebih digarisbawahi dalam bentuknya yang empat baris dalam satu bait, tiap-tiap baris terdiri atas delapan sampai sepuluh suku kata, dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya disebut isi, dan pada ujung baris-baris tersebut selalu bersajak salib a-b-a-b. Perspektif strukturalisme juga menggarisbawahi bahwa pantun adalah pancaran masyarakat lama. Ciri-ciri masyarakat lama, menurut Alisjahbana (1961), misalnya, di antaranya adalah (1) dipengaruhi oleh adat istiadat; (2) statis dan lamban berubah; dan (3) tidak pernah menonjolkan persona.

 

Penggarisbawahan secara strukturalistik itu, yang selalu menonjolkan dikotomi sehubungan dengan oposisi biner, juga mengimbas pada pembabakan sejarah kesusasteraan. Sering kali dikatakan bahwa sejarah kesusasteraan Malaysia dan Indonesia terbagi atas kesusasteraan lama dan kesusasteraan baru. Dalam hubungan ini, kesusasteraan lama dianggap sebagai kesusasteraan berbentuk lisan yang dihasilkan sebelum tahun 1500 Masehi atau sebelum kemunculan Abdullah bin Abdul Kadir Munsji di pentas susastera Melayu (Adnan, 1970). Sementara itu, dalam hal pantun-Melayu selalu saja orang memercayai pendapat seorang pakar bahasa Melayu berkebangsaan Belanda, Ch. A. van Ophuysen, yang dikemukakan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bahasa Melayu di Leiden pada 1904. Menurut Ophuysen, pantun dimasyhurkan pertama kali oleh sarjana Belanda bernama H.C. Klinkert, yang pada 1868 menulis artikel berjudul “De Pantuns of Minnezangen der Maleiers” (“Pantun atau Nyanyian Orang Melayu Berkasih-kasihan”) di dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkunde van Ned-Indie (Bantuan bagi Ilmu Bahasa, Ilmu Negeri, dan Bangsa-bangsa Tanah Hindia). Selain Klinkert, menurut Ophuysen pantun juga dimasyhurkan oleh sarjana Belanda lainnya, yaitu Pynappel (1883) dan L.K. Harmsen (1885) di dalam jurnal yang sama.  Berikut ini adalah pendapat Ophuysen mengenai pantun.

 

Menurut pendapatku tiap-tiap baris pantun itu bersahaja-sahajanya terdiri daripada empat buah perkataan yang bersuku dua buah, tetapi kerap benar perkataan yang bersuku tiga, sekali-kali bersuku empat. Sepanjang persangkaanku tekanan bunyi selalu terdapat pada suku penghabisan daripada perkataan yang kedua dan yang keempat; karena itu sebaris pantun boleh dikatakan terbagi atas dua bagian. Kebiasaannya perbedaan tekanan bunyi sepasang suku tak seberapa. (…)Sebuah pantun dipandang orang Melayu bagus kalau sebuah atau beberapa perkataan daripada sebuah baris bersajak dengan perkataan pada baris yang menjadi pasangannya. Dalam pantun yang indah-indah boleh dikatakan segala perkataan pada baris yang ketiga bersajak dengan segala perkataan pada baris pertama. Begitu juga halnya baris keempat dan baris yang kedua, seperti pada contoh berikut ini (Balai Pustaka, 1984).

 

Ranggung lantaikanlah di bamban

Padi dan banto punyo buah

Tanggung dan rasakanlah di badan

Hati dan mato punyo ulah

 

Pendapat Ophuysen, yang jelas sekali dibalut oleh semangat strukturalisme,  memang sejak lama telah mendominasi paradigma orang mengenai pantun; setidaknya, hal tersebut akan berlangsung sejak seseorang duduk di bangku sekolah menengah dan telah menerima pelajaran kesusasteraan. Oleh karena itu, pendapat Ophuysen dan juga pendapat para pakar kesusasteraan lainnya perlu diluruskan secara kritis, terutama bertalian dengan nilai-nilai tradisionalisme yang kerap dikatakan menjadi “roh” pantun.

Benarkah pantun merupakan pancaran masyarakat lama? Pertanyaan ini memang tidak pernah dijawab oleh Ophuysen secara langsung di dalam pidato pengukuhan guru besarnya, kecuali ungkapannya bahwa pantun selalu menggunakan bahan baku yang diambil dari alam, apa pun itu, yang oleh penciptanya dijadikan pengibaratan seperti dalam contoh bertikut.

 

Dari mana punai melayang

Dari kayu turun ke padi

Dari mana kasih sayang

Dari mata turun ke hati

 

Pertanyaan mengenai benarkah pantun merupakan pancaran masyarakat lama, setidaknya dapat dijawab melalui analisis tindak tutur komunikasi. Analisis yang bersifat kritis ini, menurut Wibowo (2008) bertujuan membongkar konspirasi ungkapan-ungkapan bahasa di balik isi pesan komunikasi, apa pun itu bentuknya. Dalam konteks ini, maka pertama-tama pantun harus dilihat sebagai upaya lokutif penciptanya dalam menghadirkan fakta melalui penafsiran yang subjektif. Subjektivitas ini tentu berkaitan dengan kategori dan ideologi yang memang telah dibawa seseorang sejak lahir. Menurut Wittgenstein (1983), kategori dapat dimaknai sebagai penetapan yang dilakukan seseorang terhadap pelbagai bentuk tata permainan bahasa. Mengingat bahasa memiliki tata permainannya sendiri-sendiri atau aturan-aturannya masing-masing yang terkonteks dengan masyarakat penggunanya, yang dalam kaitannya dengan media pantun mencerminkan pertarungan wacana antarkelompok di dalam suatu masyarakat, maka pencipta pantun melakukan pengkategorian atas perbedaan-perbedaan tersebut ke dalam fakta-fakta tertentu untuk kemudian secara subjektif menetapkan fakta apa yang hendak ditonjolkan. Dengan demikian, benarlah apa yang ditegaskan oleh Wittgenstein bahwa fakta, realitas, atau suatu permainan bahasa berakibat pada terjadinya suatu inovasi dalam penggunaan bahasa yang sifatnya tidak dapat diprediksi, sehingga maknanya tidak dapat dicari hanya dengan mengaitkannya dengan fakta tersebut. Hal ini berarti, janganlah kita mempertanyakan apakah makna sebuah kata dan ungkapan, tetapi lihatlah bagaimana kata dan ungkapan itu di dalam penggunaannya. Perhatikan pantun Malaysia dan pantun Indonesia berikut ini.

 

Pntun Malaysia

Cik Daud berketam padi

Sambil petik bunga pudak

Tuan pergi ke laut api

Biar hangus kuturut juga

 

Pantun Indonesia

Jenderal Majilis mati di Bali

Berkubur di tanah lapang

Apa diharap pada kami

Emas tidak bangsa pun kurang

 

Fakta mengenai Cik Daud, padi, bunga pudak, laut api, dan Jenderal Majilis, bukanlah fakta sebagaimana dikatakan Ophuysen, melainkan fakta yang telah dikonstruksikan secara lokutif oleh penciptanya melalui kategori subjektifnya. Implikasi dari hal ini, pengkategorian fakta-fakta tersebut berkelindan dengan ideologi, yakni sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi. Menurut  Lull (1998) dan Lauer (1993), ideologi akan menghasilkan perilaku yang mempertahankan tatanan yang ada. Dengan ucapan lain, ideologi memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu. Kekuasaan logis dalam hal penetapan fakta atau realitas, agaknya dapat dilihat pada kekerasan hati pencipta pantun Malaysia maupun pencipta pantun Indonesia tersebut ketika menyatakan “tuan pergi ke laut api, biar hangus kuturut juga” dan “apa diharap pada kami, emas tidak bangsa pun kurang”. Dalam penegasan lain, kedua pencipta pantun tersebut memperlihatkan upaya perebutan wacana dalam mengoreksi kondisi masyarakatnya masing-masing, yang ketika itu mungkin diwarnai oleh sikap atau mental pembeo, penjilat, pembebek, atau sikap lainnya yang merefleksikan keburukan bangsa Melayu. Dengan demikian, fakta yang diungkapkan di dalam sampiran kedua pantun tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena ia hanya sekadar aturan yang harus diikuti kedua penciptanya dalam mematuhi tata permainan bahasa pantun. Hal ini kiranya dapat menggarisbawahi bahwa pada dasarnya pantun bukan sekadar pancaran masyarakat Melayu lama yang dikatakan statis dan sulit berubah. Apalagi, pada dasarnya baik bangsa Malaysia maupun bangsa Indonesia memiliki rujukan kehidupan pada nilai-nilai luhur bangsanya masing-masing. 

Melalui kekerasan hati kedua pencipta pantun tersebut, terutama dalam mengoreksi kondisi masyarakat mereka masing-masing pada saat itu, selain mengungkapkan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang dinamis dan ingin berubah, juga mengungkapkan bahwa bangsa Melayu memiliki kesadaran etis dalam berbahasa. Kesadaran etis berbahasa ini, dalam kaitan ini dapat dimaknai sebagai totalitas dari sikap, perasaan, dan intelektualitas para pencipta pantun ketika hendak menyusun ungkapan-ungkapan dalam pantunnya. Hal ini, kiranya selaras dengan pendapat Wittgenstein bahwa di balik suatu ungkapan bahasa tersembunyi sifat antroposentris yang laten dari penyampai ungkapan bahasa tersebut. Sifat antroposentris ini tentu saja dilandasi oleh persepsi seseorang berdasarkan latar belakang budaya, latar belakang pendidikan, dan latar belakang sosial-ekonominya. Oleh karena itu, hemat penulis, berbeda dengan pendapat Lull dan Lauer, ideologi dalam konteks ini harus dimaknai sebagai makna niatan (intentional meaning), yakni makna yang tersirat, atau maksud tersembunyi yang laten, yang disampaikan seseorang melalui ungkapan bahasanya. Dalam penegasan lain, ideologi mewujudkan diri sebagai lokusi, yakni tindak tutur orang yang hendak menyampaikan suatu makna tertentu di balik pesan komunikasinya. Lokusi itu sendiri, menurut Austin (1962), di dalam suatu ungkapan bahasa memang ditengarai berpeluang memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu lain, meskipun kekuasaan tersebut hanya bersifat imbauan, yang dalam konteks ini dapat kita lihat dalam pantun.

Lokusi, kategori, dan makna niatan mengimplikasikan bahwa bahasa di tangan pencipta pantun dapat bersifat amat lentur, terutama jika dikaitkan dengan kepentingan segmentasi atau masyarakat pembacanya. Ditinjau dari sudut lokusinya, maka pantun-Melayu, baik pantun Malaysia maupun pantun Indonesia, mencerminkan pengkategorian dan ideologisasi yang berbeda-beda, sesuai dengan konteks masyarakat dan nilai-nilai luhur bangsa masing-masing. Dari kenyataan ini, dapat ditegaskan sekali lagi, menganggap bahwa pantun-Melayu adalah pancaran masyarakat Melayu lama adalah keliru. Kekeliruan ini, yang dapat dikategorikan sebagai kekeliruan epistemologi, memang sering kali menghinggapi para penganut strukturalisme, sebagaimana diperlihatkan oleh Ophuysen.

 

Tradisionalisme dan Kapitalisme Mondial

Mengapa analisis tindak tutur komunikasi dalam konteks ini dikatakan berdaya guna untuk membongkar konspirasi di balik suatu isi pesan komunikasi? Penyebabnya, selama ini orang masih dicungkupi oleh semangat strukturalisme bahwa bahasa di dalam suatu isi pesan komunikasi hanya dianggap sebagai alat komunikasi belaka atau hanya dianggap sebagai susunan kata dan kalimat yang telah berstruktur gramatika.

Dari perspektif kritis dewasa ini, semestinya orang harus lebih menyadari bahwa bahasa adalah objek material utama, mengingat pada hakikatnya bahasa adalah bagaimana ia digunakan dalam kehidupan dan bagaimana kehidupan mewujud di dalam bahasa. Implikasi dari hal ini, ungkapan bahasa sering kali dijadikan konspirasi dalam hal politik pemaknaan oleh penutur komunikasi, demi menancapkan makna-makna tertentu kepada benak orang lain. Sebagai contoh, pantun-Melayu masih dikatakan sebagai pancaran masyarakat lama, yang identik dengan statis, terikat oleh adat, dan oleh karena itu tidak pernah menonjolkan persona. Dalam hal mengkaji pantun, contoh lain, sebagaimana ditegaskan Ophuysen, nama bebungaan dan dedaunan memang tidak bertalian dengan namanya, namun bunyi dari nama bebungaan atau dedaunan itu mirip dengan suatu kenyataan. Nama daun “sitarak”, misalnya, menurut Ophuysen mirip dengan bunyi kata “marsarak” yang di dalam bahasa Mandailing bermakna “bercerai”. Oleh karena itu, untuk menyatakan suatu perceraian (“marsarak”) sebuah pantun pada umumnya mencuplik kata “daun sitarak” dalam sampirannya. Politik pemaknaan semacam ini memang akan membuahkan kekeliruan epistemologi, terutama karena akan terjadi konspirasi pemaknaan yang menyesatkan. Itu sebabnya, dibutuhkan analisis tindak tutur komunikasi yang bertujuan membongkar makna niatan (intentional meaning) pencipta pantun melalui ungkapan bahasanya. Dengan kata lain, analisis tindak tutur komunikasi, yang ditulangpunggungi oleh prinsip aliran Filsafat Bahasa Biasa, berupaya mendobrak konspirasi dan manipulasi kata-kata yang dilakukan pencipta pantun, mengingat aktivitas penciptaan pantun tidak hanya sekadar mengkonstruksi suatu realitas, fakta, atau peristiwa, tetapi juga menentukan lokusi penciptanya dalam hal memilih makna-makna tertentu yang sengaja hendak ditancapkan ke benak pembacanya.

Berkenaan dengan hal di atas, marilah kembali ke “roh” pantun yang dikatakan pancaran masyarakat Melayu lama atau masyarakat Melayu tradisional. Pada umumnya, untuk memahami istilah “masyarakat tradisional” orang selalu mencari jawabannya melalui pertentangannya dengan proses modernisasi. Menurut Haviland (1988), misalnya, proses modernisasi dapat dipahami melalui empat subprosesnya. Pertama, ada-tidaknya perkembangan teknologi yang berupa pengetahuan ilmiah dan teknik, yang selalu dikatakan harus berasal dari peradaban Barat. Kedua, ada-tidaknya perkembangan pertanian, berupa pergeseran dari pertanian untuk keperluan sendiri menjadi pertanian untuk pemasaran, yang dalam hal ini berarti transformasi dari sosialisme ke kapitalisme. Ketiga, ada-tidaknya industrialiasi dengan penggarisbawahan penggunaan energi yang nonhewani. Keempat, ada-tidaknya urbanisasi, yakni perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota. Selama modernisasi berproses, menurut Haviland, akan terjadi pula perubahan di bidang lain. Sebagai contoh, di bidang pendidikan terdapat suatu perluasan kesempatan untuk belajar. Di bidang agama, terjadi pula “pemerosotan” pemikiran, sehingga perilaku dalam kepercayaan dan kebiasaan-kebiasan tradisional menjadi tergerogoti. Sementara itu, hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kekerabatan akan berubah pula, bahkan berpeluang untuk hilang.

Pendapat Haviland, yang memang dilandasi oleh semangat strukturalisme, jika dipertalikan dengan pantun-Melayu ternyata tidak terbukti. Perhatikanlah pantun Malaysia dan pantun Indonesia yang bertemakan pendidikan dan agama berikut ini.

 

Pantun Malaysia

Anak kumbang terayap-rayap

Mati disambar anak Turki

Hendak terbang tidak bersayap

Hendak hinggap tidak berkaki

 

Pulau Pandan jauh ke tengah

Gunung Daik bercabang tiga

Hancur badan dikandung tanah

Budi yang baik dikenang jua

 

Pantun Indonesia

Anak ayam turun sepuluh

Mati satu tinggallah sembilan

Tuntut ilmu bersungguh-sungguh

Suatu jangan ketinggalan

 

Kemumu di dalam semak

Jatuh melayang selaranya

Meski ilmu setinggi tegak

Tidak sembahyang apa gunanya

 

Simaklah baik-baik isi pesan komunikasi keempat pantun-Melayu di atas. Kemudian, renungilah, andai bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia begitu teguh menjaga nilai-nilai pendidikan dan agama sejak lama, masih bolehkah dikatakan bahwa pantun-Melayu merupakan pancaran masyarakat lama yang statis dan sulit berubah? Oleh karena itu, patut ditegaskan lagi bahwa ungkapan “statis” dan “sulit berubah” adalah ungkapan yang berbalut strukturalisme, karena diandaikan ada masyarakat yang “tidak statis” dan ada masyarakat yang “mudah berubah”.

Dengan demikian, hemat penulis, dalam perspektif kritis bahkan boleh ditegaskan bangsa Barat yang justru telah kehilangan nilai-nilai pendidikan dan agamanya. Hal ini setidaknya dapat dirujukkan pada pendapat Nietzsche (1844-1900) pada akhir abad ke-19 dan pemikiran Heidegger (1889-1976) pada awal abad ke-20 mengenai feneomenologi-hermeneutik (Wibowo, 2008). Pemikiran Nietzsche yang sangat “menggetarkan” untuk Abad ke-20 itu berisikan kritik tajam mengenai moral kebudayaan Barat selama zaman Modern. Bangsa Eropa, yang mengklaim diri sebagai penjunjung tinggi nilai moral dan humanisme selama zaman Modern, bagi Nietzsche tak lain sebagai kaum pengkhianat. Contohnya adalah kolonialisme Barat terhadap bangsa-bangsa di Timur, dan juga kebiadaban yang dilakukan di Warsawa, Auschwitz, Hiroshima, Vietnam, dan bahkan di Palestina. Oleh karena itu, Nietzsche beranggapan bahwa peradaban modern telah gagal total. Manusia modern memang amat memuliakan rasionalitasnya, tetapi dengan rasionalitasnya itu mereka justru terjerumus ke dalam kebiadabannya, sehingga zaman Modern harus segera digantikan oleh zaman Kontemporer. Dengan demikian, menurut Nietzsche, zaman Kontemporer harus dilihat dari kacamata pluralisme atau nihilisme alias “nilai nol”, yang maknanya adalah bagaimana manusia harus berupaya membongkar bangunan-bangunan yang ada, agar kita dapat lebih bebas melihat sesuatu yang baru (oleh Nietzsche nihilisme dikemukakannya dalam ungkapan “Tuhan telah mati” – WW). Sementara itu, menurut Heidegger (1962) di dalam kehidupan ini selalu terdapat perbedaan ontologis antara sein (ada) dan seiende (tentang ada), sekalipun sein sudah merupakan seiende itu sendiri. Dalam konteks ini, Heidegger mencontohkan bahwa dalam memahami hakikat bahasa sering kali kita masih bersikap strukturalistik, yakni menganggap bahwa bahasa diperlukan hanya sebagai alat komunikasi. Padahal, hakikat bahasa adalah “bahasa hakikat”, yang merujuk pada pengertian bahwa berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan, atau respons, dan sama sekali bukan manipulasi ide-ide yang memang sudah terkandung dalam suatu proses penuturan bahasa. Dalam penegasan lain, bahasa pada hakikatnya berkaitan langsung dengan proses penyampaian makna.

Semangat strukturalisme sebagaimana diuraikan di atas, memang tetap berupaya mencungkupi kehidupan warga dunia hingga kini, yang oleh karena itu harus disikapi secara kritis. Apalagi, dalam kaitannya dengan produk susastera seperti pantun. Dewasa ini, semangat kapitalisme yang dicerminkan oleh kapitalisme mondial paruh abad ke-20 bahkan lebih logis dan strategis. Mereka ini tampak sekali lebih menggarisbawahi prinsip dalam rangka mencari keuntungan secara rasional dan sistematis dengan mengedepankan etos modernitas. Menurut Fidler (2003), misalnya, modernitas yang dipangkalkan dari teknologi komunikasi dan informasi telah menjadi prinsip utama di dalam semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20. Dalam ungkapan lain, teknologi komunikasi dan informasi pada dasarnya adalah sarana terbaik dalam hal mengkonstruksi sosial dan sekaligus memproduk interaksi pelbagai kepentingan pelaku-pelaku sosial yang memang tak selalu sepaham. Bahkan, menurut Fidler, teknologi komunikasi dan informasi merupakan alat yang ampuh untuk merefleksikan daya lokusi manusia, sehingga mampu membangun fanatisme manusia terhadap nilai-nilai modernitas itu sendiri. Dampak dari hal ini, teknologi komunikasi dan informasi dianggap sebagai keniscayaan.

Berkenaan dengan hal di atas, menurut Giddens (2004), modernitas memang harus dicermati secara kritis. Penyebabnya, di balik gagasan tentang modernitas terkandung suatu kontras dengan tradisi. Dalam kehidupan tradisional, masa lalu dihormati dan simbol-simbol pun dihargai karena merefleksikan dan sekaligus bertanggung jawab atas pengalaman berbagai generasi. Dengan munculnya modernitas, karakter reflektivitas menjadi berbeda, yakni berupa pemakaian sumber-sumber material yang tidak berjiwa dalam produksi barang dan jasa yang dipadukan dengan peran sentral mesin dalam proses produksi, sehingga rutinitas kehidupan manusia sehari-hari tidak lagi memiliki benang merah dengan masa lalu. Melalui ekspansi modal besar-besaran, inovasi teknologi yang cenderung konstan, dan upaya privatisasi di segala bidang, kaum kapitalis mondial paruh abad ke-20 berupaya keras menguasai pasar di seluruh dunia seraya merasuki budaya mereka. Dalam upaya mereka itu, disertakan pula pendekatan humanistik, yakni dengan memperhitungkan nilai-nilai etis suatu bangsa, bahkan juga sekaligus dengan memanfaatkan kelenturan bahasa, sehingga produk dan jasa mereka mudah diterima. Sehubungan dengan pendapat Giddens, kekritisan terhadap semangat strukturalisme dan juga kapitalisme sebenarnya telah dilakukan bangsa Melayu melalui pantun-pantun mereka. Perhatikan pantun Malaysia dan pantun Indonesia yang bertemakan dagang berikut ini. Perhatikan pula, bagaimana kesantunan kedua bangsa itu dalam berniaga, yakni kesantunan yang merefleksikan etika bisnis.

Pantun Malaysia

Kedondong batang sumpitan

Batang padi saya lurutkan

Tujuh gunung sembilan lautan

Kalau tak mati saya turutkan

 

Pantun Indonesia

Kalau tidak tahu di rumpun padi

Lihatlah rumput di pematang

Kalau tidak tahu diuntung kami

Lihatlah laut petang-petang

 

Penutup

Ditinjau dari sudut lokusinya, pantun-Melayu, baik pantun Malaysia maupun pantun Indonesia, mencerminkan pengkategorian dan ideologisasi penciptanya sesuai dengan konteks masyarakat dan nilai-nilai luhur bangsa masing-masing. Dari kenyataan ini, dapat ditegaskan bahwa pantun-Melayu bukanlah sekadar pancaran masyarakat Melayu lama.

Menganggap pantun-Melayu sebagai pancaran masyarakat lama adalah keliru. Kekeliruan yang dapat disebut sebagai kekeliruan epistemologi ini, yakni kekeliruan pengkategorian, ditengarai menghinggapi para penganut strukturalisme, sebagaimana diperlihatkan oleh Ophuysen ketika berbicara mengenai pantun.

Kota Depok, 8 Oktober 2013

 

 

 

 

Agu 24, 2013 - Artikel    1 Comment

Pancasila dan Keliru Epistemologi

Ideologi memang sering kali menimbulkan masalah. Padahal, pada dasarnya ideologi adalah sistem pengetahuan dalam berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya, Pancasila, yang sudah diyakini sebagai ideologi bangsa, tidak dapat dipahami hanya melalui kacamata moral belaka. Apalagi, melakukan pengategorian yang tidak pas.

PERDEBATAN para filsuf mengenai ideologi memang tak berkesudahan. Rata-rata mereka menggarisbawahi bahwa ideologi adalah bentuk kesadaran yang dilegitimasi dan dipercaya bersama oleh suatu masyarakat.

Studi Geuss (1990) mencatat bahwa sejauh ini perdebatan tersebut setidaknya dapat dipayungkan di bawah tiga perspektif. Yang pertama, perspektif deskriptif-antropologis yakni mereka yang beranggapan bahwa ideologi adalah konsep, ide, atau kepercayaan kelompok-kelompok masyarakat, baik yang dapat dieksplisitkan maupun yang tidak. Kalau kita pernah mendengar istilah “ideologi agama”, misalnya, maka maknanya adalah serangkaian kepercayaan nyata tentang sesuatu yang luar biasa. Yang kedua, perspektif peyoratif yaitu mereka yang berasumsi bahwa ideologi hanyalah berupa kesadaran palsu, mengingat kepercayaan-kepercayaan yang terkandung di dalamnya tidak tersedia secara empiris atau tidak dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu, menurut Habermas (1981), asumsi ini harus “diluruskan” secara kritis.

Agar tidak palsu, atau agar dapat disebut ideologi (dibaca: pandangan dunia), Habermas mengatakan ideologi sebagai sebuah kesadaran harus diberi sifat fungsionalnya, yakni dalam rangka mendukung, menstabilkan, atau melegitimasi macam-macam institusi atau praktik sosial tertentu. Implikasinya, boleh saja institusi atau praktik sosial itu dikritik, atau bahkan dicela, agar kesadaran palsu itu tidak lagi terwujud. Yang ketiga, perspektif positif yakni mereka yang memercayai bahwa ideologi haruslah dibentuk atau dikonstruksi, sehubungan dengan tuntutan eksistensial manusia perihal hidupnya di dunia dalam rangka meraih “kebenaran”, “kebaikan”, dan “keindahan”. Mengingat tuntutan eksistensial tersebut tidak sepenuhnya dapat “dijawab” oleh kebudayaan mereka, menjadi logis bila mereka membutuhkan ideologi. Dengan demikian, suatu kebudayaan dalam konteks ini tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai fakta yang sudah hadir pada dirinya sendiri, atau sudah tersedia begitu saja, sebab jangan-jangan itu adalah hasil konstruksi.

Dari hal di atas, mungkin kita dapat melihat Pancasila melalui ketiga perspektif tersebut. Pasalnya, bukankah secara deskriptif-antropologis kita sudah lama mengakui Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, namun terkadang kita lupa bahwa Pancasila hidup berdampingan dengan ideologi-ideologi individu. Dari sudut peyoratif-fungsional, kita juga sempat merasakan bagaimana Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan terkait dengan tuntutan legitimasi rezim yang berkuasa, sehingga sebagai kesadaran ideologi Pancasila ketika itu berubah menjadi kesadaran palsu yang tidak berkorelasi dengan segi-segi empiriknya. Itu sebabnya, melihat sifat positifnya yang selama ini terbuka pada proses perkembangan/kemajuan kehidupan, agak sulit diterima akal jika ada yang berpendapat bahwa Pancasila adalah “barang antik yang mesti digosok lagi supaya berkilap”. Pendapat semacam ini mempertontonkan betapa pihak yang berpendapat itu tidak memahami nilai-nilai Pancasila. Alias, tidak memahami “diri-pribadinya” sendiri.

Dari sudut empirik, ideologi Pancasila berisikan sekumpulan nilai yang diangkat dari prinsip-prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita, yakni nilai-nilai religius, adat-istiadat, kebudayaan, dan kenegaraan. Sekumpulan nilai ini dapat disebut dalam istilah nilai kearifan, yakni konsep tentang penghargaan warga masyarakat terhadap hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat dan penting bagi manusia sehubungan dengan kepandaiannya menggunakan akal budi dan pengalaman. Itu sebabnya, Pancasila bukanlah ideologi kebangsaan yang harus kita sangsikan. Itu pula sebabnya, hemat saya, agak aneh jika ada yang mengategorikan Pancasila ke dalam salah satu pilar negara (di sisi UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Pasalnya, nilai kearifan tentu tidak sekategori dengan wujud bernegara. Andai hendak diibaratkan, nasi (hakikat) tentu tidak dapat dianggap sekategori dengan produk-produk olahannya, seperti lontong, nasi goreng, atau nasi uduk (praksis-kontekstual).

Mengategorikan Pancasila dengan ketiga “produk olahannya” (UUD 1945, NKRI, dan visi Bhinneka Tunggal Ika) dengan semena-mena, selain membuktikan sudah terjadi keliru epistemologi, juga membuat Pancasila dipahami hanya melalui kacamata moral belaka. Sudah saya garis bawahi, pada hakikatnya Pancasila adalah sistem pengetahuan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut harga mati, bukan lainnya.

Kota Depok, Agustus 2013

 

Jul 13, 2013 - Artikel    No Comments

Catatan buat Anggota KPI Pusat 2013-2015: Jadilah Pribadi yang Pener, Bener, dan Seger

MULA-mula adalah sebuah naskah yang saya tulis di sela-sela kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa, dan menulis puisi, berjudul Sihir Iklan, yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2003). Sekalipun tidak selaris buku-buku yang ditulis oleh para politikus, anggota DPR, atau artis, buku saya itu direspons banyak pembaca dari banyak kalangan (sehingga, penerbitnya berniat mencetak ulang). Respons itu, yang kebanyakan dilakukan via SMS dan pos-el, rata-rata menandaskan bahwa saya terlampau “keras” menelanjangi iklan-iklan kita di media massa.

Benarkah apa yang mereka tandaskan itu? Saya tidak boleh menilai bahwa “fans” saya adalah mereka yang selama itu menjadi korban iklan (atau, dalam istilah yang lebih seram, korban kapitalisme mondial). Saya juga tidak boleh menilai bahwa “fans” saya adalah mereka yang selama itu ternina bobo oleh media massa (terutama, melalui iklan-iklan mereka yang amat konsumtif). Untuk hal yang terakhir, andai kita masih waras, tentu kita menyepakatinya. Tapi, makalah ini tidak ditendensikan untuk sebuah perbalahan. Pasalnya, buku saya, Sihir Iklan, dan para “fans” saya itu, tanpa sengaja memicu ilham untuk menulis makalah kecil ini bahwa seorang anggota KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), apalagi KPI tingkat Pusat periode 2013-2015, yang belum lama ini terpilih, seharusnya memiliki pandangan etis-kritisnya terhadap “sesuatu” yang disiarkan. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa “sesuatu yang disiarkan” dalam format berbangsa dan bernegara pada hakikatnya adalah demi menjaga nilai-nilai luhur atau local wisdom bangsa dan negara itu.

Dalam ungkapan lain, seorang anggota KPI Pusat dituntut memiliki suatu pandangan yang etis-kritis, yang khas dan terfokus, yang kemudian boleh saja diwujudkan sebagai visi dan misinya, sepanjang tidak berbenturan dengan UU Penyiaran (juga UU lain yang “selevel”) atau berbenturan dengan pandangan subjektifnya. Hal ini patut digarisbawahi, karena memang itu yang seharusnya dilakukan oleh anggota KPI Pusat.

Pener, Bener, dan Seger

Buku Sihir Iklan sebenarnya berbicara mengenai bagaimana bahasa (sebagai unsur penopang iklan) dapat dibentuk sedemikian rupa, sehingga memiliki daya sihir yang dahsyat. Dengan demikian, buku itu sebenarnya tidak menelanjangi iklan (sebagaimana ditegaskan banyak “fans” saya itu tadi), tapi justru menyadarkan pembaca bahwa bahasa memiliki kekuatan amat dahsyat “di tangan ahlinya”. Ibarat pisau dapur, “di tangan ahlinya” ia bisa menjadi senjata tajam pembunuh maling. Alhasil, masyarakat sering tersihir oleh iklan dan melupakan persoalan hakiki bahwa yang sebenarnya berperan adalah bahasa.

Melalui penyadaran terhadap kekuatan bahasa itulah saya menulis Sihir Iklan, walau saya tidak yakin apakah para politisi, anggota DPR, dan komponen bangsa lainnya pernah membacanya (tapi, saya tidak peduli). Dalam keyakinan etis-kritis saya, bahasa adalah bentuk kehidupan itu sendiri. Dalam penegasan lain, keanekaragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu. Itu sebabnya, dalam setiap konteks kehidupan manusia digunakan bahasa tertentu yang memiliki aturan-aturan main tertentu yang tidak boleh dan tidak dapat dipertukarkan. Mempertukarkan aturan-aturan main bahasa sama halnya mempergunakan aturan dalam permainan catur atau golf, misalnya, ke dalam permainan sepak bola.

Beranjak dari hal di atas, andai mau kita sadari, Abad ke-21 ini sebenarnya adalah Abad Bahasa, karena masalah kehidupan dan semua hal yang berkaitan dengan masalah berbangsa dan bernegara (terutama jika dilihat melalui perspektif kepenyiaran) pasti dilakukan melalui bahasa. Implikasinya, dapat dibayangkan bagaimana penting dan perlunya anggota KPI Pusat memiliki kesadaran berbahasa (bukan kepandaian berbahasa). Boleh bertaruh, kesadaran yang dimilikinya itu akan kian memperkokoh profesionalitasnya dalam tugas-tugasnya sebagai anggota KPI Pusat. Dalam ungkapan lain, seorang anggota KPI Pusat yang sadar berbahasa (bukan pandai berbahasa) akan lebih jernih dalam meluruskan pelbagai persoalan yang marak dalam dunia kepenyiaran, sehingga integritas, profesionalisme, dan independensinya tetap akan terjaga.

Kesadaran berbahasa bagi seorang anggota KPI Pusat setidaknya juga berkelindan dengan nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam ungkapan filosofis pener, bener, dan seger. Etos pener (“tahu diri”), dalam perspektif etis-kritis merujuk pada kewajiban manusia atas tugas-tugas profesionalismenya yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, tenggang rasa, dan rendah hati demi “mengejar” eudamonia (kebahagiaan). Etos bener (“tahu masalah”), dalam perspektif analitis-kritis berhubungan dengan kenyataan bahwa penggunaan bahasa tidak mungkin dapat dilepaskan dari situasi konkret di tempat kita melihat atau mengalami suatu fenomena. Itu sebabnya, karena tidak bener atau tidak tahu masalah, sering kali terjadi ungkapan-ungkapan kita (apalagi jika diperkaitkan dengan kepenyiaran) lebih dilumuri oleh subjektivitas, egoisme, arogansi, dan bahkan etnosentrisme. Sedangkan etos seger (“tahan uji”), dalam perspektif profesionalitas dapat dipertalikan dengan ungkapan kondang pujangga Ronggowarsito, yakni eling lan waspodo, alias kita harus selalu berwaspada dan tahan uji (secara akademis) terhadap praktik-praktik politik informasi melalui bahasa. Hal ini patut dicermati, mengingat bahasa pada galibnya adalah kekuasaan, sebagaimana adagium yang mungkin pernah kita dengar, “siapa menguasai bahasa dialah yang memegang kekuasaan”.

Dari hal di atas, nyatalah bahwa seorang anggota KPI Pusat memang harus memiliki sikap pener, bener, dan seger. Tanpa melambari diri dengan sikap ini, mereka ibarat hendak memasuki hutan rimba yang gelap dan pekat, yang bahkan tepinya saja mereka tak tahu di mana.

 Orang boleh berharap, begitu pula saya. Tabek!

Kota Depok, 14 Juli (Bulan Puasa) 2013

 

 

Jan 19, 2013 - Artikel    No Comments

Perekatan Generasi ala Utoh Him

Apa yang bisa diharapkan dari sejarah? Sejarah, bisa logis dan ilmiah, bisa pula tidak logis dan tidak ilmiah. Keniscayaan ini, setidaknya pernah ditegaskan oleh Schopenhauer, kolega Hegel (1770-1832) di Universitas Berlin, ketika memberi catatan lepas pada tulisan Hegel (1820-an) tentang filsafat sejarah.

Dalam pemikirannya yang amat terkenal namun ruwet itu, terutama karena ”dipakai-plintir” oleh Marx, Hegel menggarisbawahi bahwa sejarah hanya memunyai satu tujuan, yang mesti direduksi ke dalam proses dialektik. Sejarah adalah proses yang bertalian dengan perwujudan diri, yang oleh karena itu mesti dicari melalui dialektika antara perjalanan refleksi intelektual dan pemahaman diri. Dengan kata lain, kita ”akan” memiliki keseluruhan masa lalu kita justru ketika kita ”sedang” melihat kisah perwujudan diri kita.

Itu sebabnya, Hegel menegaskan bahwa tujuan sejarah – juga sejarah diri sendiri – adalah menemukan makna hidup, tidak kurang tidak lebih.

***

Makna hidup bagaimanakah yang hendak disampaikan Ibrahim Abdullah melalui otobiografinya, Perjuangan Panjang: Aneukmiet Gampong 80 Tahun Ibrahim Abdullah (Lembaga Penerbit Unas, Jakarta, 2013)?

Saya tidak pernah mengenal aktivitas sehari-hari Ibrahim Abdullah, kecuali aktivitasnya di lingkungan Universitas Nasional, Jakarta. Hubungan saya dengannya juga sebatas hubungan ayah-anak atau pimpinan-bawahan atau senior-yunior. Akan tetapi, sebagai dosen mata kuliah Filsafat Bahasa, saya “mampu mengenali” intelektualitas Ibrahim Abdullah, terutama melalui ungkapan “khas”-nya.

Ibrahim Abdullah – yang oleh sahabatnya disapa Utoh Him – gemar menyebutkan ungkapan “sambung rasa dan sambung juang” dalam pelbagai kesempatan. Jadi, andai hendak menyimaknya secara epistemologis, ungkapan “sambung rasa dan sambung juang” boleh dikatakan sebagai dialektika model Ibrahim, atau boleh juga disebut sebagai “teori sejarah Ibrahim”. Modelnya ini oleh Utoh Him dipayungkan di bawah “metode hidupnya”, yakni “perekatan generasi”. Ungkapan “perekatan generasi” ini, sepanjang pengamatan saya, juga suka diucapkan Utoh Him dalam pelbagai kesempatan.

Utoh Him lahir di Aceh pada 7 September 1932. Pada 1960-an, setelah menyabet  gelar MIE dari NYU, AS, ia “kembali” ke Aceh sebagai kepala Dinas Perindustrian Aceh. Ketika bekerja membangun perindustrian Aceh, metode “perkatan generasi”-lah yang digunakan Utoh Him, sehubungan dengan dialektika “sambung rasa dan sambung juang” yang telah saya sebutkan tadi. Hal ini misalnya tampak pada kiprah Utoh Him dalam menerapkan idenya tentang morning prayers: semua staf diajarinya berketerampilan yang berorientasi pada industri potensial yang ada di Aceh. Melalui kiprahnya ini, metode “perekatan generasi” itu terlihat berjalan baik, seiring dengan bangkitnya semangat kerja (hlm. 73). Metodenya ini juga digunakannya di dunia kampus, ketika mengajar mata kuliah Dasar-dasar Akuntansi dan Statistik  di FE Syah Kuala (TA 1961/62) dan mata kuliah Sosiologi di Sekolah Koperasi Menengah Atas di Banda Aceh.

Itu sebabnya, menjadi benar bahwa “perekatan generasi” adalah metode hidupnya, apalagi mengingat kiprah-kiprah Utoh Him selanjutnya, baik di dunia intelektual, di dunia bisnis, maupun di dunia politik. Menjadi benar pula bahwa “perekatan generasi” – melalui “sambung rasa dan sambung juang” yang menjadi dialektikanya – sesungguhnya merupakan ideologi Utoh Him dalam rangka mengisi makna hidupnya, yakni bekerjalah keras dengan penuh disiplin dan keteraturan; alias, sebagaimana ditegaskan Hegel, yakinlah atas kerja keras demi kerja keras itu sendiri. Ideologi Utoh Him, yang terbangun dari habitus masa remajanya itu, barangkali dewasa ini terkesan utopis.

Akan tetapi, jika menyimak kiprah Utoh Him ketika turut membangun Pelabuhan Bebas Sabang pada 1964-1980, terkesan sekali ia ingin menggarisbawahi (menitipkan pesan?) bahwa membangun negeri haruslah penuh kedisiplinan, keteraturan, dan jangan pula tergantung orang lain. Hal ini memang dialektis, dan sedikit utopis, namun hemat saya, jika dipertalikan dengan dialektika “sambung rasa dan sambung juang”, bab tentang Sabang itu (hlm. 85-122) justru bab yang paling “nasionalis” (istilah anak muda sekarang, bab itu “Ibrahim banget”). Alhasil, generasi muda kita dapat melihat dari perspektif “sambung rasa dan sambung juang” tentang sejarah sepenggal Indonesia bernama Aceh ketika dibangun bersama penggalan-penggalan lain demi memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, benarlah “kata-kata emas” Bung Karno tentang “jasmerah”.

***

Hingga lebih 80 tahun usianya, Utoh Him saya lihat tetap bekerja penuh disiplin dan keteraturan. Ibarat burung, ia adalah elang yang (gemar) terbang sendiri.

Dalam kesendiriannya, justru Utoh Him mampu merebut dan memiliki keseluruhan masa lalunya, melalui dialektika perjalanan refleksi intelektual dan pemahaman dirinya. Dalam penegasan lain, Utoh Him piawai merelevansikan “sambung rasa dan sambung juang” dalam wujud “perekatan generasi” hingga ke kehidupan sekarang.

Hanya, saya tidak tahu, apakah kesukaan Utoh Him pada lagu “Love One to Ten” juga merupakan perekatan generasi?

Sekian. Merdeka!

Pasarminggu, 19 Januari 2013

{Dibawakan pada acara peluncuran buku Perjuangan Panjang Aneukmet Gampong: 80 Tahun Ibrahim Abdullah, Kampus Universitas Nasional, Jakarta, 19 Januari 2013}

 

Jan 18, 2013 - Artikel    No Comments

Ugi Memotret Alam

Percaya sajalah bahwa sesungguhnya “pengarang telah mati”. Kematiannya, juga mesti dipercayai sebagai kematian fenomenologis. Artinya, secara penampakan, dewasa ini pengarang sudah tidak dimungkinkan lagi menjadikan dirinya sebagai subjek bahasa, alias “mengatur” pembacanya agar memercayai cerita yang dikonstruksinya.

Sementara itu, juga secara penampakan, pembacalah yang sekarang “berkuasa” atas pemaknaan terhadap novel yang dibacanya, sehingga selain dapat diberi predikat “juga menjadi pengarang”,  pembaca juga bebas mendekonstruksi novel tersebut (jika mau, lho!). Inilah penampakan yang harus diakui sebagai keniscayaan. Sekadar catatan, penampakan, mungkin kita tahu, adalah “roh” fenomenologi.

Penampakan Ugi (Ugi Agustono), ketika menulis (selama tiga tahun) novelnya, Tenun Biru (Nuansa Cendekia, Bandung, 2012; 362 h.) juga menyarankan saya begitu. Tiga tahun lamanya ia “berkelana” ke pedalaman Nusantara, bertugas menjadi ibu guru informal bagi anak-anak yang hidup di pelosok-pelosok, menghirup dan merasakan denyut kehidupan alami, dan memotret betapa indahnya Indonesia.

Karena memotret, ia mengonstruksi keindahan Indonesia “hanya” pada Kalimantan Timur, Karimunjawa, Bali, Kota Tua di Jakarta, Toraja, dan Rawa Sampih di Cianjur. Ibarat etnograf, Ugi, misalnya, memotret bagaimana ketika perahu kayunya menyusuri sungai selebar 10 meter yang berliku di wilayah permukiman orang Dayak Banuaq, Kutai Barat. Dikatakannya, walau wilayah itu masih terisolasi, masyarakatnya terbuka dan progresif. Penduduk di situ, dikenal sebagai perajin tenun ulap doyok (nama daun serupa pandan yang memang tumbuh subur di tempat itu). Ugi juga memotret ketika perahunya berpapasan dengan perahu kayu yang didayung oleh orang Banuaq.

Juga karena memotret, Ugi menghadirkan tokoh Janus dan Ratna sebagai pengikat alur cerita. Janus, lahir di Malang dengan penuh penderitaan, namun besar di Jerman dan sukses sebagai pengusaha. Sementara itu, Ratna orang Indonesia yang hidup berkecukupan sejak kecil, sempat berkuliah di UCLA dan sukses pula sebagai pengusaha, namun memiliki hobi bertualang ke luar-masuk pedalaman dalam rangka mengajar secara informal anak-anak pedalaman dan anak-anak miskin. Kedua tokoh berusia 30-an tahun ini dipertemukan oleh Ugi secara kebetulan (h.23), kemudian saling jatuh cinta, meskipun saling tidak menyatakan, dan keindahan cinta mereka itu oleh Ugi lantas dijadikan alur cerita yang diletakkan pada latar keindahan Indonesia yang telah disebutkan tadi.

Nah, bagaimana dengan judul “Tenun Biru”? Coba perhatikan kutipan berikut ini.

Mobil yang ditumpangi Ratna dan Janus menyusuri Sungai Sa’dan, sungai yang cukup dikenal oleh masyarakat Toraja. Namun, masyarakat luar Toraja bahkan sampai ke mancanegara lebih mengenal Sa’dan sebagai tempat perajin tenun (h.308)…”Kamu datangi pedalaman Indonesia, mengajar anak-anak dengan segala permasalahan masing-masing, sama seperti kamu membuat tenun,” kata Janus (h.309)…Ratna membiarkan saat Janus membayar tenun yang dibelinya. Setelah puas mencoba alat tenun tradisional, Ratna meninggalkan kios. Bergelayut manja di pundak Janus, hatinya gembira membawa tenun warna biru dari Sa’dan. Masuk mobil dan keduanya menuju Ke’te’ Kesu (h.310).

Sebenarnya, ada dua jenis kain tenun yang dipotret Ugi, tenun ulap doyok (Dayak) dan tenun biru Sa’dan (Toraja). Akan tetapi, rupanya Ugi lebih tertarik menjadikan tenun biru Sa’dan sebagai “benang merah” proses pengentalan cinta Janus kepada Ratna.

Dikisahkan, ketika kedua tokoh itu sedang “berkelana” di kawasan permukiman orang Dayak Banuaq, di Kutai Barat (dibaca: Ratna sedang menyalurkan hobinya mengajar anak-anak pedalaman), pada suatu malam Janus “curhat” tentang dirinya kepada Ratna (h.91). Dikisahkan pula, ketika terjadi kerusuhan di Desa Cikancana Rawa Sampih, Cianjur, Ratna tertusuk pisau (dibaca: di Rawa Sampih Ratna juga dalam rangka sedang menyalurkan hobinya mengajar anak-anak miskin). Tatkala dibawa ke rumah sakit di kawasan Pondok Indah, Jakarta, jiwa Ratna ternyata tidak tertolong. Di tengah ratapan, tangisan, dan doa Janus, sembari ia menyelimuti tubuh-beku Ratna dengan tenun biru yang sudah dijadikan baju, keajaiban Tuhan pun datang: Ratna hidup kembali (h.354-355).

Kisah novel ini memang tidak berhenti pada penampakan Ratna yang “dihidupkan kembali” oleh Ugi. Juga tidak pada tenun biru, karena penampakan tenun biru di ujung kisah diubah Ugi menjadi adegan Janus memberikan cincin berlian kepada Ratna (h.359).

Kisah novel ini, dengan dengan demikian berhenti pada keindahan Indonesia yang dipotret Ugi. Andai hendak mengikuti fenomenologi Kant (1724-1804), kita memang harus piawai menggabungkan antara dunia inderawi dan dunia akal. Penampakan keindahan Indonesia yang dilakukan Ugi melalui novelnya, yang didasarkan atas dunia inderawinya itu, dengan demikian adalah ajakan logisnya bahwa Indonesia memang sungguh Indah, dan oleh karena itu kita harus mengakuinya pula secara logis.

Pengakuan logis itu, jika mengikuti fenomenologi Husserl (1859-1938), kiranya dapat dijelaskan secara epistemologis, karena kita memang mesti mereduksi keyakinan akan adanya ego dan persepsi mengenai sesuatu objek, dalam rangka memfokus pada esensinya, sehingga fenomena yang semurni-murninya dapat kita tangkap.

Menjadi benar, dunia inderawi Ugi seolah memfokus dan menghentikan kisah novelnya kepada Janus yang pada akhirnya meminang Ratna, namun ia tidak menghentikan pengakuan logis kita bahwa Indonesia adalah negeri yang ijo royo-royo.

Merdeka!

Depok, 1 Januari 2013

[Dibawakan pada acara bedah novel tersebut di FBS Unas, Jakarta, 11 Januari 2013]

 

Nov 25, 2012 - Artikel    4 Comments

Wisata atau Pariwisata?

HINGA detik ini, makna “wisata” dan “pariwisata”, terutama oleh mereka yang bergerak di dunia pariwisata, masih dicampurbaurkan sehingga terkesan kerepotan (tidak paham?) untuk membedakan misalnya apakah “wisata kuliner” ataukah “pariwisata kuliner”.

“Wisata” (kata kerja) bermakna bepergian bersama-sama, sedangkan “pariwisata” (kata benda) bermakna sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan untuk rekreasi. Artinya, kedua istilah ini secara kontekstual memang berbeda fungsi, meskipun sama-sama bermakna “melancong” alias “piknik”. Itu sebabnya, mungkin sekarang kita mudah membedakan makna “wisata laut” dan “pariwisata bahari”. Cuma, barangkali, ada yang bertanya-tanya apa pentingnya “mengurusi” bahasa pariwisata? Apalagi, di dalam dunia pariwisata kita, terlebih-lebih di dalam kurikulum sekolah-sekolah pariwisata, sudah lama digaungkan adagium bahwa pariwisata adalah bahasa Inggris, atau bahasa Inggris adalah pariwisata, jadi buat apa mengutak-atik soal bahasa.

Dalam konteks keindonesiaan, semestinya orang-orang yang bergerak di dunia pariwisata tidak hanya pandai berbahasa Inggris, tetapi juga piawai dalam berbahasa Indonesia. Pasalnya, berbahasa identik dengan proses berpikir logis yang terkonteks dengan nilai-nilai budaya setempat. Dalam ungkapan lain, memahami kepariwisataan hanya dipertautkan dengan bahasa Inggris doang, berarti kita mengabaikan nilai-nilai budaya milik kita sendiri, yang selama ini dicerminkan melalui bahasa Nusantara dan bahasa Indonesia oleh bangsa kita. Lebih jauh, dengan mengabaikan nilai-nilai budaya kita sendiri, tidak mengherankan jika kita seolah tidak pernah memiliki visi pariwisata nasional yang jelas. Hal ini hendaknya mesti menjadi perhatian kita semua, terutama jika dipertalikan dengan Indonesian Economic Outlook 2012-2013. Dikatakan, kinerja makro ekonomi Indonesia selama 2012 sangat aktraktif di tengah krisis utang negara-negara Eropa dan sebagian tekanan fiskal di AS.

Namun, sehubungan dengan kinerja tersebut, boleh kita pertanyakan secara kritis adakah agenda setting yang bersifat holistik di balik tujuan pengembangan wisata dan pariwisata kita? Kalau semata-mata bertujuan “menjual Indonesia” demi pemasukan devisa, mengapa parameter kita mesti digantungkan pada krisis utang negara-negara Eropa? Lagi pula, mengapa kita tidak memiliki slogan hebat seperti yang misalnya dimiliki Malaysia  (Malaysia the truly Asia). Juga, andai hanya hendak “menjual provinsi”, mengapa tiap-tiap provinsi seolah tidak berdaya melengkapi diri dengan sarana dan prasarana yang memadai? Di Gili Trawangan, Mataram, contohnya, kita memang terpana oleh keindahan pantai dan biota lautnya. Kita juga disuguhi suasana tradisional, terutama dengan banyaknya “cidomo” (dokar berkuda) yang memang menjadi sarana transportasi darat utama di pulau tersebut. Namun, sekilas memandang, tidak ada aktivitas lain yang menonjol, yang memang dipersiapkan secara khusus untuk wisata dan pariwisata di Gili Trawangan. Bahkan, dari Kota Lombok menuju ke pelabuhan kecil yang akan menyeberangkan wisatawan ke Gili Trawangan, tidak ada “kehidupan pariwisata” selain jejeran hotel, wisma, dan penginapan. Tanpa kekhasannya tersendiri, yang digali dari nilai-nilai budaya setempat, keindahan pantai Gili Trawangan tidak serta-merta dapat dijual sebagai objek wisata dan pariwisata.

Berbeda dari Indonesia, ternyata negara lain mengembangkan wisata dan pariwisata nasionalnya secara lebih visioner. Melalui iklan-iklan mereka, Anda dapat memahami bagaimana kepiawaian mereka dalam “menjual” nilai-nilai budaya mereka sebagai objek wisata dan pariwisata. Dalam pernyataan lain, “jual diri” yang mereka lakukan melalui wisata dan pariwisata ditujukan secara jelas, yakni dalam rangka menarik investor asing. Sebagai contoh, perhatikan penggalan iklan tentang Vietnam berikut ini.  “Hanoi secara khusus merupakan kota besar yang mulai bersolek agar bisa memikat para turis mancanegara untuk datang berkunjung. Anda dapat mengunjungi bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Prancis yang masih utuh dan dibiarkan apa adanya, terutama di Distrik Ba Dinh. Lokasi yang terkenal adalah French Quarter dengan dikelilingi gedung-gedung tua. Jangan lupa untuk singgah di Van Mieu (universitas pertama dan tertua di Vietnam yang dibangun tahun 1010), Pasar Dong Xuan, serta Pagoda Quan Troc.” (Kompas, 14/11/12; h.42).

Boleh Anda perhatikan, bagaimana Vietnam memelihara bangunan tuanya, yang merupakan bagian konkret nilai-nilai budaya mereka, dalam rangka “menjual diri” sehubungan dengan visi nasional mereka untuk pengembangan wisata dan pariwisata. Kondisi ini tentu berbeda dari Indonesia, yang mengesankan “sok modern” sehingga tidak sedikit bangunan tua bersejarah diratakan dengan tanah dan diganti dengan mal atau apartemen. Bahkan, kalau ada yang bertanya, kampus mana di Jakarta yang tertua, misalnya, saya yakin banyak orang yang tidak tahu. Alhasil, kita memang masih gamang dalam berwisata dan berpariwisata. Sebagai contoh, perhatikan bagaimana kita “mengiklankan” keindahan Pulau Wayag di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Dikatakan bahwa turis yang datang harus turis yang spesial, karena mereka harus merogoh kocek tak kurang dari 20 juta rupiah per orang. Biaya mahal ini adalah untuk kompensasi menikmati keindahan alam sambil berenang, menyelam di beberapa kawasan, dan mengunjungi sejumlah pulau di situ (Kompas, 14/11/12; h.33). Menyimak hal ini, boleh dipertanyakan, di manakah letak promosi wisata dan pariwisatanya?

Menjadi benar, tanpa memiliki visi nasional wisata dan pariwisata yang jelas, bangsa Indonesia akan terperangkap dalam semangat kosmopolitanisme, yakni paham yang berkembang dari negara-negara kapitalis yang mendukung globalisasi, yang pada dasarnya menolak hal-hal yang bersifat nasional dan lokal. Melalui kosmopolitanisme, sentimen-sentimen patriotik dan kebudayaan nasional dan lokal dijauhkan demi mempertahankan teori mereka bahwa umat manusia harus bersatu di bawah payung globalisasi. Oleh karena itu, andai kosmopolitanisme menjadi atau dijadikan “ideologi baru” oleh bangsa kita, sesuai dengan kenyataan bahwa ideologi selalu menarik hati, ideologi kebangsaan kita tentulah akan terpapar oleh individualisme dan pragmatisme. Dalam konteks wisata dan pariwisata, amat jelas bagi kita kosmopolitanisme itu mewujud melalui iklan-iklan wisata dan pariwisata tentang mancanegara, yang cenderung dikatakan amat elok, amat murah, dan amat menarik untuk dikunjungi. Sementara itu, objek-objek wisata dan pariwisata lokal dikatakan juga amat elok, namun berbiaya tinggi, sehingga lebih bernilai informasi daripada promosi, khususnya informasi kepada para turis mancanegara.

Amat jelas, semangat kosmopolitanisme dalam wisata dan pariwisata hanya akan membuat bangsa Indonesa sekadar menjadi “juru bicara” tentang keelokan negara lain. Dalam perspektif nilai-nilai budaya, hal tersebut tampak dalam ungkapan bahasa yang digunakan dalam iklan-iklan wisata dan pariwisata di media massa. Itu sebabnya, kita harus buru-buru menghapus adagium bahwa wisata dan pariwisata adalah bahasa Inggris, atau bahasa Inggris adalah wisata dan pariwisata, sebagaimana masih didengung-dengungkan orang hingga hari ini. Camkanlah bahwa suatu ungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari suatu nilai hidup yang terkonteks dengan kehidupan pengguna ungkapan bahasa tersebut.

Nah, masih bingungkah Anda memahami “wisata” dan “pariwisata?” ###

 Depok, 17 November 2012

(Kolom yang dipesan oleh  Bung Bayu Hari, redaktur majalah pariwisata di Jakarta)

 

 

 

Okt 22, 2012 - Artikel    No Comments

Membetawikan Jokowi

Karut-marut masalah sosial yang menimpa Jakarta kerap didambakan akan bisa diatasi jika gubernurnya dijabat oleh orang Betawi. Tapi, siapa pun yang memimpin Jakarta, terbukti karut-marut itu tetap saja mencuat, menyisakan kesulitan aksiologis dalam kita memaknai Jakarta sebagai ibu kota negara.

Istilah “aksiologi” bertalian dengan nilai-nilai moral hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sementara itu, “kesulitan aksiologis” dapat dimaknai sebagai kehidupan sosial yang diandaikan tanpa kepemimpinan, tanpa arah, dan tanpa upaya mensejahterakan hidup, seperti tercermin di Jakarta sekarang ini.

Padahal, sebagaimana dikatakan Aristoteles, tak seorang pun manusia akan memilih hidup tanpa teman, bahkan sekalipun ia memiliki perusahaan berpuluh-puluh dan uang bermiliar-miliar. Perkataan Aristoteles, dari perspektif aksiologi berimplikasi dengan kenyataan bahwa yang disebut hidup sejahtera bagi warga Jakarta bukanlah dalam pengertian hidup mewah berkelimpahan harta-benda, melainkan hidup dalam kondisi aman, tenang, rukun, dan sehat, karena dipagari atau dilindungi oleh nilai adat-istiadat.

Itu sebabnya, kesulitan aksiologis yang secara sosial selalu menimpa warga Jakarta “wajib” dikelindankan dengan pelestarian nilai adat-istiadat. Cobalah renungkan, mau disebut kota metropolitan atau megapolitan, kita tahu persis Jakarta tidak mengantongi syarat-syarat aksiologisnya. Mau disebut kota berbudaya, apalagi, Jakarta tidak memiliki lembaga adat. Padahal, di wilayah lain Indonesia warganya hidup sejahtera karena memiliki lembaga adat yang berwibawa dan bermartabat.

Lalu, dari mana Jokowi harus berpijak ketika datang pertama kali memimpin Jakarta? Read more »

Sep 25, 2012 - Artikel    2 Comments

Biarkanlah Bahasa Media Massa Makin Elitis

 

 

Pertanyaan apakah bahasa media massa kita kian elitis memang mesti dijawab secara tegas. Pasalnya, boleh jadi anggapan “elitis” itu masih dilakukan melalui sikap yang positivistik berdasarkan semangat oposisi biner. Padahal, jika dilihat melalui perspektif kritis budaya media massa, media massa kita memang elitis. Hal ini berarti, elitis bagi media massa sehubungan dengan bahasanya adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, biarkanlah bahasa media massa cetak kita “menetap” dalam elitismenya masing-masing, asalkan mereka tetap sadar pada posisi aksiologisnya sebagai “pendidik” masyarakat pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara.

Pendahuluan

Mengapa bahasa media massa harus dibiarkan makin elitis?

Dasar ontologisnya, sejak lahir (awal abad ke-20) media massa pribumi memang telah elitis. Pada penerbitan awal Medan Prijaji (1907) di Bandung, misalnya, R.M. Tirtoadisurjo telah menegaskan bahwa surat kabarnya itu ditujukan untuk kaum pribumi yang sedang mengalami kesulitan hidup akibat tekanan rezim pemerintah Belanda (bandingkanlah dengan Kompas, misalnya, yang sama elitisnya karena diterbitkan demi “amanat hati nurani rakyat”). Read more »

Sep 11, 2012 - Artikel    No Comments

AIPA, Paman Doblang, dan ASEAN Community 2015

 

 

Peran AIPA (Organisasi antarparlemen se-Asia Tenggara) dalam mendukung terwujudnya ASEAN Community 2015 bukan saja tak terhindarkan, melainkan juga sebuah keniscayaan etis. Dengan letak di kawasan yang begitu menggiurkan, dan dengan kekayaan SDM dan SDA-nya, Asia Tenggara memang ibarat gadis cantik “dari kampung” yang terus-menerus dilirik para “lelaki garang”. Oleh karena itu, menjadi wajar jika AIPA dituntut untuk lebih aktif “belajar” dari Paman Doblang – tokoh paman yang cerdas dan baik hati dalam dongeng Indonesia – dalam mendukung ASEAN Community 2015. Melalui perspektif aksiologi kebudayaan, peran Paman Doblang ditengarai akan menjaga kecemerlangan pamor AIPA di mata negara-negara kapitalis, setidaknya melalui keteladanan pimpinan DPR RI sebagai presiden AIPA. Read more »

Laman:«123»