Mei 16, 2015 - Artikel    No Comments

Perlokutifme Sabda Raja dan Dhawuh Raja

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Sabda raja dan dhawuh raja yang disampaikan Sultan HB X, membuktikan bahwa semangat perlokutifme tidak dapat dilakukan dengan semena-mena.

Perlokutifme merujuk pada respons tertentu yang muncul pada orang lain terkait dengan sesuatu yang dibaca atau didengarnya. Akan tetapi, perlokutifme muncul sekaligus bersama-sama dengan lokutifme dan ilokutifme (Wibowo, 2013). Aspek lokusi terkait dengan niat si subjek (penulis atau penutur), sedangkan aspek ilokusi berupa tindakan konkret si subjek itu dalam menyampaikan apa yang diniatkannya.
Kesatuan ketiga tindak tutur tersebut (perlokutifme, lokutifme, dan ilokutifme) dengan demikian adalah niscaya dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Hal ini patut dicermati, karena si subjek biasanya senang melakukan pengonstruksian atas fakta atau peristiwa yang dialaminya (Austin, 1962). Itu sebabnya, ketiga tindak tutur tersebut tidak hanya mengungkapkan maksud (lokutifme) dan gaya penyajian (ilokutifme) si subjek, tetapi sekaligus merefleksikan tanggung jawabnya terhadap isi tulisan atau tuturannya, mengingat di baliknya sering kali tersembunyi maksud tertentu (perlokutifme) dalam rangka memengaruhi orang lain.
Dalam ungkapan lain, dari suatu tulisan atau tuturan selalu berpeluang muncul problem etis (Wittgenstein, 2007), yang bisa mewujudkan situasi komunikasi yang tidak emansipatoris.

Kebenaran Korespondensi
Jika merunuti Kompas (9/5/15; h.1), dapat segera dilihat bahwa lokutifme atau niat Sultan HB X terkategori etis, yakni ketika dikatakannya bahwa di dalam dhawuh raja ia hanya menetapkan gelar baru bagi putri sulungnya GKR Pembayun.
Secara etis pula, Sultan HB X mewujudkan niatnya itu atau melakukan ilokutifme dengan kata-kata, “Pokoknya saya menetapkan gelar baru GKR Pembayun. Lakone mengko piye, aku yo ra ngerti (kelanjutannya bagaimana, saya ya tidak tahu). Kalau saya melangkah lebih dari itu, berarti itu kepentingan saya.” Ilokutifme etis ini dibangun melalui kalimat eksersitif, yaitu kalimat yang mengandung penegasan tentang sesuatu yang terkait dengan suatu fakta atau peristiwa.
Lokutifme etis dan kemudian ilokutifme etis Sultan HB X berpangkal dari fakta atau peristiwa pembacaan sabda raja (30 April 2015), berisikan perubahan nama-gelar Sultan HB X, yang kemudian disusul oleh pembacaan dhawuh raja (5 Mei 2015), yang lantas melahirkan perlokutifme berupa penolakan dari adik-adik Sultan HB X. Salah seorang adik Sultan HB X, misalnya, menegaskan bahwa sabda raja harus dicabut karena bertentangan dengan aturan dan tradisi Keraton Yogyakarta. Bahkan, tokoh masyarakat DIY, KH Muhammad Jazir, berharap penjelasan Sultan HB X dapat meredakan polemik yang terjadi.
Agaknya kurang pas jika memilih kata “polemik”, karena memang tidak terjadi perdebatan langsung atau terbuka di media massa antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam ilokutifme yang bersifat behabitif, yaitu penggunaan kalimat yang melibatkan rasa empati atau rasa peduli si subjek, Sultan HB X bahkan berkata, “Saya juga sudah mengundang adik-adik untuk memberi penjelasan soal sabda raja dan dhawuh raja, tetapi mereka tidak datang. Justru, mereka berkomentar di pers.” Kutipan paling akhir ini, bagi Sultan HB X tampaknya merupakan ilokutifme yang bersifat verdiktif, yaitu kalimat yang diselimuti penilaian tertentu terkait posisi dirinya dalam suatu realitas dunia, yang bisa dikaitkan dengan kebenaran korespondensi.
Kebenaran korespondensi, alias kebenaran antara fakta dan kenyataan, di dalam logika modern dipercaya bersifat empiris-aposterioris (dapat dibuktikan melalui pengalaman). Dalam ungkapan lain, kebenaran korespondensi adalah sesuatu yang sesuai antara esensi yang kita berikan dan esensi yang terdapat dalam objeknya (Timbreza, 1998). Artinya, realitas dunia Sultan HB X bisa dikatakan benar secara korenpondensif terkait dengan tradisi kekuasaan yang absolut dan nilai-nilai luhur nenek moyang yang telah menjadi pakem, sehingga merasa “aneh” jika dirinya menemukan bahwa adik-adiknya malah berkomentar di pers. Rasa “aneh” ini sejatinya adalah cerminan bahwa di dalam kehidupan terdapat banyak sekali tata permainan bahasa (language-games), yang memang mengatur hidup manusia berdasarkan konteks-konteks kehidupannya, aturan-aturan berbahasanya, dan nilai-nilai etis yang menjadi norma hidupnya.
Kebenaran korespondensi, yang terkait dengan posisi diri dalam suatu realitas dunia, tidak hanya dipahami Sultan HB X melalui tata permainan bahasa kesultanan, tetapi juga melalui tata permainan bahasa keduniawian (dirinya sebagai gubernur). Selain mengatakan sudah mengundang adik-adiknya, contohnya, ia juga menyatakan, “Sabda raja merupakan dhawuh Allah lewat leluhur saya. Saya hanya menyampaikan titah ini kepada orang lain.” Perhatikanlah, Sultan HB X amat memahami diksinya, sehingga mampu membedakan konteks penggunaan kata “sabda”, “dhawuh”, dan “titah”. Ia juga lebih memilih kata “memberitahu” ketika mengatakan akan mengirimkan surat kepada pemerintah dan DPR guna memberitahukan perubahan itu.
Kepiawaian memilih kata-kata, setidaknya akan membuat si subjek terhindar dari praktik perlokutifme yang konspiratif.

Kosmopolitanisme
Perlokutifme yang berkesan konspiratif, selain tidak mencerminkan komunikasi yang emansipatoristis, juga mengandaikan kecenderungan kita pada semangat kosmopolitanisme.
Semangat ini pada dasarnya menolak hal-hal yang bersifat nasional. Alhasil, patriotisme lokal, nilai-nilai tradisi, dan bahkan kebudayaan nasional dieliminasi demi membentuk kesatuan umat manusia atas nama mondialisasi.
Padahal, patriotisme kedaerahan dan kebudayaan nasional kita, dalam pelbagai wujud dan warnanya, justru merefleksikan nilai-nilai kesatuan dan persatuan Indonesia, yang setidaknya mampu meredam krisis multidimensional yang kini sedang marak.

Kota Depok, 16 Mei 2015

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*