Okt 22, 2012 - Artikel    No Comments

Membetawikan Jokowi

Karut-marut masalah sosial yang menimpa Jakarta kerap didambakan akan bisa diatasi jika gubernurnya dijabat oleh orang Betawi. Tapi, siapa pun yang memimpin Jakarta, terbukti karut-marut itu tetap saja mencuat, menyisakan kesulitan aksiologis dalam kita memaknai Jakarta sebagai ibu kota negara.

Istilah “aksiologi” bertalian dengan nilai-nilai moral hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sementara itu, “kesulitan aksiologis” dapat dimaknai sebagai kehidupan sosial yang diandaikan tanpa kepemimpinan, tanpa arah, dan tanpa upaya mensejahterakan hidup, seperti tercermin di Jakarta sekarang ini.

Padahal, sebagaimana dikatakan Aristoteles, tak seorang pun manusia akan memilih hidup tanpa teman, bahkan sekalipun ia memiliki perusahaan berpuluh-puluh dan uang bermiliar-miliar. Perkataan Aristoteles, dari perspektif aksiologi berimplikasi dengan kenyataan bahwa yang disebut hidup sejahtera bagi warga Jakarta bukanlah dalam pengertian hidup mewah berkelimpahan harta-benda, melainkan hidup dalam kondisi aman, tenang, rukun, dan sehat, karena dipagari atau dilindungi oleh nilai adat-istiadat.

Itu sebabnya, kesulitan aksiologis yang secara sosial selalu menimpa warga Jakarta “wajib” dikelindankan dengan pelestarian nilai adat-istiadat. Cobalah renungkan, mau disebut kota metropolitan atau megapolitan, kita tahu persis Jakarta tidak mengantongi syarat-syarat aksiologisnya. Mau disebut kota berbudaya, apalagi, Jakarta tidak memiliki lembaga adat. Padahal, di wilayah lain Indonesia warganya hidup sejahtera karena memiliki lembaga adat yang berwibawa dan bermartabat.

Lalu, dari mana Jokowi harus berpijak ketika datang pertama kali memimpin Jakarta?

Pranata Kebudayan

Yang jelas, Jokowi harus segera “menjadi” orang Betawi, karena secara historis sudah diakui bahwa orang Betawi adalah masyarakat inti Jakarta. Dalam ungkapan lain, ia mesti berkemampuan Betawi secara sosial dan budaya dalam memimpin Jakarta.

Jika Jokowi berniat mensejahterakan hidup warga Jakarta, yang multietnis itu, artinya pertama-tama ia harus mengakui eksistensi lembaga adat Betawi, yang boleh disebut secara formal sebagai Lembaga Pranata Kebudayaan Betawi (LPKB), sehubungan dengan upaya pelestarian kebudayaan Betawi. Hal ini tentunya patut digarisbawahi, mengingat Jakarta memang mesti memiliki jati diri sebagai ibu kota negara. Pengakuan terhadap eksistensi LPKB mungkin tidak sulit dilakukan Jokowi, karena ia cukup berpengalaman menata kota yang telah memiliki lembaga pranata kebudayaan bernama Keraton Solo. Semua orang tentu tahu, pranata kebudayaan yang telah dilembagakan akan melebur ke dalam tata pemerintahan suatu wilayah, mengingat lembaga tersebut amat melekat pada ketokohan raja atau tetua adat, sehingga upaya mensejahterakan warganya akan berjalan mulus.

Tapi, semua orang juga tentu tahu, orang Betawi tidak memiliki raja dan keraton. Bahkan, dalam hitungan statistik orang Betawi hanya berjumlah sekitar lima juta orang. Kendati demikian, secara sosial-budaya orang Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta sudah dikenal sebagai orang yang toleran, religius, dan demokratis. Itu sebabnya, secara analitis dan hereustik pembentukan LPKB dapat dibenarkan, sehubungan dengan jati diri Jakarta sebagai ibu kota negara dan bertalian dengan upaya mensejahterakan penduduk Jakarta. Apalagi, dalam sebuah talkshow kampanye di TV, Jokowi pernah berjanji untuk lebih memperhatikan kebudayaan Betawi.

LPKB dengan demikian merupakan suatu lembaga adat yang berfungsi sebagai wadah organisasi permusyawaratan dan permufakatan para tetua adat dan para pemuka adat Betawi yang berada di luar pemerintahan DKI Jakarta. Tugas utama LPKB tentu saja memfokus pada pengaturan pelaksanaan pranata (norma dan aturan) adat-istiadat Betawi, misalnya di bidang tanah adat, warisan adat, pemberian gelar adat, dan upacara adat. Tentu kita paham, ada banyak upacara adat Betawi seperti akikah, sunatan, khatam Quran, nikah, pindah rumah, nuju bulan, kaulan, lebaran, sedekah bumi, melepas perahu, dan sedekah laut. Sayangnya, secara aksiologis upacara ini belum berwujud sebagai suatu pranata yang mencerminkan jati diri sebuah kota sebesar Jakarta.

Sebenarnya, Jakarta telah memiliki Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) yang menaungi 114 ormas kebetawian dan satu lembaga kebudayaan Betawi. Fungsinya pun jelas, sebagai wadah silaturahim dan musyawarah orang Betawi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan hidupnya. Namun, nyatanya aktivitas Bamus Netawi masih direpoti oleh pemberdayaan ormas-ormasnya, sehingga fungsinya sebagai pelestari kebudayaan Betawi seolah terhenti hanya pada aspek keseniannya. Itu sebabnya, saya amat girang ketika Kongres Kebudayaan Betawi pada awal 2012 mengamanatkan perlunya dibentuk lembaga adat Betawi. Oleh sebuah tim yang difasilitasi oleh Disparbud DKI Jakarta, amanat kongres kemudian diwujudkan melalui konsep pendirian Lembaga Pranata Kebudayaan Betawi (LPKB). Konsep ini dapat diterima secara baik oleh pimpinan Bamus Betawi pada Oktober 2012 dan akan diagendakan dalam mubes Bamus Betawi pada Januari 2013.

Kita memang tinggal menanti hasil mubes Bamus Betawi. Andai LPKB disahkan, penduduk Jakarta (orang Betawi dan warga Jakarta lainnya) tentu akan beruntung karena Kota Jakarta akan memiliki jati diri. Hal ini kiranya perlu diperhatikan oleh Jokowi, mengingat Jakarta dihuni oleh multientik. Tanpa memiliki jati diri, segala hal di Jakarta bisa dijadikan objek konsumen. Dalam ucapan lain, konsumsi berpeluang menjadi berhala baru bagi penduduk Jakarta. Apalagi, praktik kosmopolitanisme sebagai dampak perkembangan teknologi informasi belakangan ini makin kuat merejang kehidupan Jakarta. Sekadar catatan, kosmopolitanisme, sebagai paham yang berkembang dari negara-negara kapitalis, pada dasarnya menolak hal-hal yang bersifat lokal dan nasional.

Melalui kosmopolitanisme, mereka menegaskan globalisasi adalah segala-galanya dalam kita berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya, sentimen-sentimen patriotik dan kebudayaan lokal dan nasional dijauhkan demi mempertahankan hipotesis mereka tentang bersatunya manusia dalam kehidupan global. Bayangkanlah, andai kosmopolitanisme menjadi “ideologi baru” penduduk Jakarta, kehidupan sosial-budaya di Kota Jakarta tentulah akan kian karut-marut karena terpapar oleh individualisme dan pragmatisme. Dalam konteks sosial, contohnya, orang Jakarta akan makin tak peduli dengan orang lain di luar pagar rumahnya. Dalam konteks budaya, contoh lain, terjadi pula pengikisan dan pemisahan antara budaya rendah dan budaya aduluhung secara serta-merta, sehingga kesenian Betawi kelak akan sulit dibedakan dari pelbagai komoditas lain. Oleh karena itu, dibutuhkan leadership yang kuat dan cerdas dari Jokowi sebagai “orang” Betawi, terutama mengingat bahaya “ideologi baru” yang telah saya sebutkan.

Ideologi pada kenyataannya memang selalu menarik hati. Pasalnya, ideologi acap kali dipertalikan secara moral dengan sesuatu yang menyangkut keluarga, teman, atau rakyat. Akibat tuntutan ideologi, kita diharapkan untuk tidak memperlakukan keluarga, teman, atau rakyat sebagaimana kita memperlakukan orang asing. Tapi, hemat saya, sebuah ideologi tanpa dilandasi oleh nilai-nilai luhur miliki kita sendiri adalah ideologi yang tidak memiliki wajah aksiologis.

Kejelasan Ideologi

Jokowi, dengan demikian, tetap perlu mengunjungi pasar tradisional, ngobrol dengan sopir angkot di terminal, atau nongkrong di warung pinggir jalan untuk memperlihatkan keramahan dan toleransinya sebagai “orang” Betawi.

Namun, ia juga wajib mengawal terbentuknya LPKB agar leadership-nya sebagai gubernur Jakarta kian jelas, atau agar jati diri Jakarta terlihat kokoh, yakni “menjadikan kebudayaan Betawi sebagai ideologi”. Hal ini berarti, kejujuran dan kesederhanaan hidup bukanlah satu-satunya nilai leadership yang penting dalam memimpin Jakarta.

Yang jauh lebih penting adalah cara Jokowi menjaga diri dalam rangka melindungi penduduk Jakarta dari siapa pun yang hendak menghancurkan Jakarta secara tidak adil.*

Dimuat dalam Harian Jurnal Nasional, Rubrik Opini, h.6, 10/10/12

 

 

 

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*