Sep 25, 2012 - Artikel    2 Comments

Biarkanlah Bahasa Media Massa Makin Elitis

 

 

Pertanyaan apakah bahasa media massa kita kian elitis memang mesti dijawab secara tegas. Pasalnya, boleh jadi anggapan “elitis” itu masih dilakukan melalui sikap yang positivistik berdasarkan semangat oposisi biner. Padahal, jika dilihat melalui perspektif kritis budaya media massa, media massa kita memang elitis. Hal ini berarti, elitis bagi media massa sehubungan dengan bahasanya adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, biarkanlah bahasa media massa cetak kita “menetap” dalam elitismenya masing-masing, asalkan mereka tetap sadar pada posisi aksiologisnya sebagai “pendidik” masyarakat pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara.

Pendahuluan

Mengapa bahasa media massa harus dibiarkan makin elitis?

Dasar ontologisnya, sejak lahir (awal abad ke-20) media massa pribumi memang telah elitis. Pada penerbitan awal Medan Prijaji (1907) di Bandung, misalnya, R.M. Tirtoadisurjo telah menegaskan bahwa surat kabarnya itu ditujukan untuk kaum pribumi yang sedang mengalami kesulitan hidup akibat tekanan rezim pemerintah Belanda (bandingkanlah dengan Kompas, misalnya, yang sama elitisnya karena diterbitkan demi “amanat hati nurani rakyat”).

Dasar epistemologisnya, dewasa ini tidak mungkin lagi bahasa media massa disubkan sebagai sekadar bahasa Indonesia yang oleh karena itu harus “baku”, “baik”, dan “benar”. Dengan melakukan pengesuban semacam itu, berarti kita belum mampu memahami bahwa bahasa media massa (dibaca: ungkapan jurnalistik) adalah suatu bentuk tata permainan bahasa tersendiri – di antara begitu banyak tata permainan bahasa dalam bahasa Indonesia – yang memiliki aturannya sendiri dan memiliki masyarakatnya sendiri. Dalam penegasan lain, dengan melakukan pengesuban semacam itu, kita tidak mengakui bahwa bahasa media massa atau suatu ungkapan jurnalistik adalah cerminan dari nilai hidup suatu masyarakat pembacanya. Sementara itu, dasar aksiologisnya, mengingat fungsi pers sebagai pelayan masyarakat, menjadi benar jika ditekankan bahwa fungsi pendidikan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, misalnya, harus mampu disampaikan melalui suatu ungkapan jurnalistik yang menjadi bahasa sehari-hari suatu masyarakat pembaca media massa tersebut.

Dengan demikian, kita memang harus memandang bahasa media massa dari perspektif kritis aktivitas budaya, khususnya budaya media massa.

Tata Permainan Bahasa Media Massa: Perang Melawan Kecerdasan

Budaya media massa boleh dimaknai sebagai sistem radio, reproduksi suara, dan media cetak, yang hemat saya selalu berada di antara dialektika antara idealisme dan praktik institusionalisme.

Idealisme wartawan, contohnya, merujuk pada profesionalitas kinerja individual dan pergulatan etis si wartawan ketika mengonstruksi fakta dan realitas menjadi sebuah sajian bahasa media massa atau ungkapan jurnalistik. Sementara itu, praktik institusionalisme menggarisbawahi peran lembaga penerbit tempat si wartawan itu bekerja sehubungan dengan tuntutan bisnis dan tuntutan politis. Dialektika ini menjadi menarik, manakala kita menautkannya dengan pernyataan saya bahwa biarkanlah bahasa media massa menjadi makin elitis. Pasalnya, berbicara mengenai budaya media dewasa ini berarti kita juga berbicara mengenai budaya citra (permainan emosi, perasaan, dan gagasan), budaya industri (model-model produksi massal/komersial yang dimapankan), dan budaya teknologi tinggi (kelahiran masyarakat konsumen).

Pernyataan saya, biarkanlah bahasa media massa menjadi makin elitis, ternyata seiring-jalan dengan kenyataan bahwa wartawan adalah orang yang juga elitis (orang yang terpilih/terpandang dalam masyarakatnya). Lihat UU tentang Pers (1999), misalnya, yang menyebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Hohenberg (1978) bahkan telah menyatakan bahwa wartawan adalah orang yang ditakdirkan selalu mencoba sesuatu yang mustahil, yakni menemukan, mengumpulkan, menyusun, menjelaskan, dan menyebarkan berita, gagasan, atau pendapat (hari itu) kepada masyarakat. Ada empat unsur penopang tipe wartawan ideal versi Hohenberg: (1) tidak pernah berhenti mencari kebenaran; (2) mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman; (3) mampu melaksanakan tugas-tugas yang bermanfaat bagi masyarakat; dan (4) mampu menjaga dan memelihara kebebasannya. Sementara itu, bagi Rosihan Anwar (1978) wartawan bekerja semata-mata melalui idealismenya, yakni ingin berbakti, melayani, dan mendidik masyarakat.

Benarlah, wartawan adalah orang yang elitis. Akan tetapi, hemat saya, elitisme wartawan haruslah dipijakkan pada kesadarannya berbahasa. Sadar bahasa berarti kesadaran yang terefleksi, yakni sadar atas kesadaran bahwa manusia adalah makhluk paling istimewa karena memiliki motivasi sebagai mahkluk budaya yang menyadari adanya dunia objektif dan dunia subjektif sekaligus. Sadar bahasa berarti kita sadar sebagai “aku” yang mengatur dan menetapkan pikiran kita dalam konteks sosial-historis melalui konstruksi fakta dan peristiwa.

Perlu dicatat, saya memang tidak sependapat dengan Hohenberg ketika menyatakan bahwa wartawan bekerja untuk masyarakat (dibaca: untuk semua orang). Saya juga kurang sependapat dengan Rosihan Anwar (2004), yang selalu mengeluhkan bahwa bahasa jurnalistik wartawan generasi muda masih jauh dari sempurna, karena tidak runtut, tidak logis, dan tidak efektif-efisien. Menurut saya, sehubungan dengan elitisme wartawan atau berkaitan dengan kesadarannya berbahasa, urusan sintaksis dan gramatika terlalu kecil jika dipertalikan dengan dunia kewartawanan. Dalam penegasan lain, wartawan tidak mungkin melayani seluruh masyarakat, kecuali masyarakat pembacanya. Di sisi hal ini, urusan wartawan bukanlah ihwal tentang tetek bengek linguistik, melainkan bagaimana ia memahami bahasa sebagai suatu tata permainan dalam kehidupan yang maha beragam. Sebab, sebagaimana ditegaskan Wittgenstein (1989), di dalam kehidupan ini terdapat banyak sekali tata permainan bahasa (language-games), yakni bahasa-bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu akibat dari keragaman hidup manusia. Tata permainan bahasa mengimplikasikan bahwa bahasa merupakan suatu aktivitas/bentuk kehidupan. Oleh karena itu, makna bahasa bukan terdapat dalam susunan sintaksis atau gramatika, seperti yang amat digarisbawahi oleh para linguis, melainkan terdapat dalam kehidupan manusia itu sendiri, sehingga penggunaan bahasa amat tergantung konteks dan aturan tertentunya. Penegasan Wittgenstein ini kiranya mirip dengan penjelasan Marx tentang sejauh mana karya sastra dapat berperan sebagai pendorong proses perubahan sosial: ”Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka”.

Oleh karena itu, jika ada judul berita “ditangkap, gembong teroris yang baru”, misalnya, ini bukanlah masalah ambiguitas yang linguistis semata, melainkan lebih merupakan problem etis perihal siapa yang baru: gembong teroris itu ataukah terorismenya. Dikatakan merupakan problem etis, mengingat wartawan adalah individu yang mengetahui secara pasti fakta atau peristiwa di lapangan, sementara masyarakat pembacanya hanya dapat menerka-nerka. Dengan menerka-nerka, diandaikan tidak terjadi komunikasi yang etis dan emansipatoris antara wartawan dan masyarakat pembacanya. Lalu, apa komentar Anda terhadap ungkapan jurnalistik berikut ini, “mahasiswa itu lari cepat menyeberangi jalan untuk menolong temannya yang tak berdaya karena sedang dipukuli secara brutal oleh sejumlah oknum polisi dalam unjuk rasa kemarin di depan kampus”. Perihal problem etis ini kiranya dapat dilanjutkan. Simaklah, mengapa “keluh-kesah” SBY terhadap kinerja para menterinya oleh media massa tempo hari disajikan melalui bahasa atau ungkapan jurnalistik yang mengandung semangat “perseteruan”? Padahal, andai mau dicermati, sebenarnya SBY tidak sedang berkeluh-kesah. Ia justru sedang mengkritik para menterinya, namun oleh media massa di-frame menjadi keluh-kesah, sehingga mengesankan seolah sedang terjadi perseteruan di dalam kabinet.

Model “memperseterukan” semacam itu sesungguhnya berakar dari paradigma positivisme yang hingga dewasa ini memang masih mengungkung kita. Paradigma ini dipangkalkan melalui prinsip oposisi biner (binary opposition) tentang adanya dua hal yang bertentangan dan salah satunya selalu dianggap dominan. Dalam ungkapan lain, ukuran baik-buruk sesuatu dipersepsikan secara dominatif, sehingga yang dianggap baik harus lebih superior ketimbang yang dianggap buruk. Dalam konteks bahasa media massa, sebagaimana telah saya singgung, prinsip oposisi biner atau paradigma positivisme muncul di dalam diri mereka yang “mati-matian” berpendapat bahwa bahasa media massa harus tunduk pada bahasa Indonesia yang baku, yang baik, dan benar. Padahal, dari sudut elitisme wartawan atas kesadarannya berbahasa, media massa adalah suatu bentuk tata permainan bahasa yang mencerminkan suatu nilai hidup masyarakat pembacanya. Dalam perspektif budaya media massa, dengan demikian tindak atau sikap menyeragamkan bahasa merupakan keingkaran kita terhadap keragaman dunia. Dampak dari hal ini, ideologi dan agama acap kehilangan nilai-nilai refleksinya dan kemudian terpinggirkan dari arena sosial. Itu sebabnya, jarang unjuk rasa di negeri ini yang dapat berlangsung dengan damai tanpa ceceran darah, karena media massa mengungkapkannya secara hitam-putih dan kemudian dijadikan contoh masyarakatnya.

Menjadi benar, bahasa adalah suatu peperangan melawan pesona dari kecerdasan manusia dalam hal penggunaan bahasa. Hal ini berarti, di dalam komunikasi massa bangsa kita belakangan ini masih terjadi sesat pikir secara terstruktur. Mengingat konsep aktivitas komunikasi massa selalu berkelindan dengan bahasa, dugaan saya kita memang sedang kehilangan proses saling memahami. Proses ini menjadi penting, karena di dalamnya selalu terikut aspek komunikasi etis, yakni pembolehan interpretasi sejauh tidak memperbodoh atau memerdaya orang lain. Dalam ungkapan lain, biarkanlah bahasa media massa kian elitis, asalkan tetap berpijak pada asas tata permainan bahasanya yang etis, emansipatoris, dan mengizinkan adanya situasi revisi, relativisasi, argumentasi, dan koordinasi di antara mereka yang terlibat (dibaca: masyarakat pembacanya) dalam rangka menjembatani (bukan menghapus) perbedaan

Penutup

Tidak perlu “risau” bahwa bahasa media massa kita makin elitis, karena itu sudah menjadi catatan sejarah, mengingat bahasa media massa atau ungkapan jurnalistik adalah suatu bentuk tata permainan bahasa yang mencerminkan suatu nilai hidup masyarakat pembacanya. Yang harus “dirisaukan”, jika suatu ungkapan jurnalistik dewasa ini tidak menjejak pada nilai komunikasi etis yang emansipatoris.

Dalam era komunikasi massa dewasa ini, sulit dibenarkan wartawan menyebarkan ungkapan-ungkapan bahasa yang kandungan nilai etisnya seolah-olah selaras (dibaca: diselaraskan) dengan masyarakat.

 

Kota Depok, September 2012

Dr. Wahyu Wibowo lahir di Jakarta. 8 Maret 1957. Dosen mata kuliah Filsafat Bahasa dan Filsafat Ilmu Pengetahuan pada Universitas Nasional, Jakarta, ini, telah menulis 28 judul buku perihal jurnalistik, sastra, bahasa, komunikasi, dan kepenulisan praksis. Disertasinya dalam ilmu filsafat bahasa tentang “Filsafat Bahasa dan Relevansinya terhadap Pengokohan Etika Pers Nasional” (Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta) telah diterbitkan dalam judul Menuju Jurnalisme Beretika (Penerbit Kompas, Jakarta, 2009). Makalah ini disampaikan pada acara seminar “Bahasa Media Makin Elitis?”, diselenggarakan oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM) bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, Jakarta, 25 September 2012.

2 Comments

  • Lah, baru kemarenan di seminarin udah nongol aje….ckckckck….

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*