Jan 19, 2013 - Artikel    No Comments

Perekatan Generasi ala Utoh Him

Apa yang bisa diharapkan dari sejarah? Sejarah, bisa logis dan ilmiah, bisa pula tidak logis dan tidak ilmiah. Keniscayaan ini, setidaknya pernah ditegaskan oleh Schopenhauer, kolega Hegel (1770-1832) di Universitas Berlin, ketika memberi catatan lepas pada tulisan Hegel (1820-an) tentang filsafat sejarah.

Dalam pemikirannya yang amat terkenal namun ruwet itu, terutama karena ”dipakai-plintir” oleh Marx, Hegel menggarisbawahi bahwa sejarah hanya memunyai satu tujuan, yang mesti direduksi ke dalam proses dialektik. Sejarah adalah proses yang bertalian dengan perwujudan diri, yang oleh karena itu mesti dicari melalui dialektika antara perjalanan refleksi intelektual dan pemahaman diri. Dengan kata lain, kita ”akan” memiliki keseluruhan masa lalu kita justru ketika kita ”sedang” melihat kisah perwujudan diri kita.

Itu sebabnya, Hegel menegaskan bahwa tujuan sejarah – juga sejarah diri sendiri – adalah menemukan makna hidup, tidak kurang tidak lebih.

***

Makna hidup bagaimanakah yang hendak disampaikan Ibrahim Abdullah melalui otobiografinya, Perjuangan Panjang: Aneukmiet Gampong 80 Tahun Ibrahim Abdullah (Lembaga Penerbit Unas, Jakarta, 2013)?

Saya tidak pernah mengenal aktivitas sehari-hari Ibrahim Abdullah, kecuali aktivitasnya di lingkungan Universitas Nasional, Jakarta. Hubungan saya dengannya juga sebatas hubungan ayah-anak atau pimpinan-bawahan atau senior-yunior. Akan tetapi, sebagai dosen mata kuliah Filsafat Bahasa, saya “mampu mengenali” intelektualitas Ibrahim Abdullah, terutama melalui ungkapan “khas”-nya.

Ibrahim Abdullah – yang oleh sahabatnya disapa Utoh Him – gemar menyebutkan ungkapan “sambung rasa dan sambung juang” dalam pelbagai kesempatan. Jadi, andai hendak menyimaknya secara epistemologis, ungkapan “sambung rasa dan sambung juang” boleh dikatakan sebagai dialektika model Ibrahim, atau boleh juga disebut sebagai “teori sejarah Ibrahim”. Modelnya ini oleh Utoh Him dipayungkan di bawah “metode hidupnya”, yakni “perekatan generasi”. Ungkapan “perekatan generasi” ini, sepanjang pengamatan saya, juga suka diucapkan Utoh Him dalam pelbagai kesempatan.

Utoh Him lahir di Aceh pada 7 September 1932. Pada 1960-an, setelah menyabet  gelar MIE dari NYU, AS, ia “kembali” ke Aceh sebagai kepala Dinas Perindustrian Aceh. Ketika bekerja membangun perindustrian Aceh, metode “perkatan generasi”-lah yang digunakan Utoh Him, sehubungan dengan dialektika “sambung rasa dan sambung juang” yang telah saya sebutkan tadi. Hal ini misalnya tampak pada kiprah Utoh Him dalam menerapkan idenya tentang morning prayers: semua staf diajarinya berketerampilan yang berorientasi pada industri potensial yang ada di Aceh. Melalui kiprahnya ini, metode “perekatan generasi” itu terlihat berjalan baik, seiring dengan bangkitnya semangat kerja (hlm. 73). Metodenya ini juga digunakannya di dunia kampus, ketika mengajar mata kuliah Dasar-dasar Akuntansi dan Statistik  di FE Syah Kuala (TA 1961/62) dan mata kuliah Sosiologi di Sekolah Koperasi Menengah Atas di Banda Aceh.

Itu sebabnya, menjadi benar bahwa “perekatan generasi” adalah metode hidupnya, apalagi mengingat kiprah-kiprah Utoh Him selanjutnya, baik di dunia intelektual, di dunia bisnis, maupun di dunia politik. Menjadi benar pula bahwa “perekatan generasi” – melalui “sambung rasa dan sambung juang” yang menjadi dialektikanya – sesungguhnya merupakan ideologi Utoh Him dalam rangka mengisi makna hidupnya, yakni bekerjalah keras dengan penuh disiplin dan keteraturan; alias, sebagaimana ditegaskan Hegel, yakinlah atas kerja keras demi kerja keras itu sendiri. Ideologi Utoh Him, yang terbangun dari habitus masa remajanya itu, barangkali dewasa ini terkesan utopis.

Akan tetapi, jika menyimak kiprah Utoh Him ketika turut membangun Pelabuhan Bebas Sabang pada 1964-1980, terkesan sekali ia ingin menggarisbawahi (menitipkan pesan?) bahwa membangun negeri haruslah penuh kedisiplinan, keteraturan, dan jangan pula tergantung orang lain. Hal ini memang dialektis, dan sedikit utopis, namun hemat saya, jika dipertalikan dengan dialektika “sambung rasa dan sambung juang”, bab tentang Sabang itu (hlm. 85-122) justru bab yang paling “nasionalis” (istilah anak muda sekarang, bab itu “Ibrahim banget”). Alhasil, generasi muda kita dapat melihat dari perspektif “sambung rasa dan sambung juang” tentang sejarah sepenggal Indonesia bernama Aceh ketika dibangun bersama penggalan-penggalan lain demi memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, benarlah “kata-kata emas” Bung Karno tentang “jasmerah”.

***

Hingga lebih 80 tahun usianya, Utoh Him saya lihat tetap bekerja penuh disiplin dan keteraturan. Ibarat burung, ia adalah elang yang (gemar) terbang sendiri.

Dalam kesendiriannya, justru Utoh Him mampu merebut dan memiliki keseluruhan masa lalunya, melalui dialektika perjalanan refleksi intelektual dan pemahaman dirinya. Dalam penegasan lain, Utoh Him piawai merelevansikan “sambung rasa dan sambung juang” dalam wujud “perekatan generasi” hingga ke kehidupan sekarang.

Hanya, saya tidak tahu, apakah kesukaan Utoh Him pada lagu “Love One to Ten” juga merupakan perekatan generasi?

Sekian. Merdeka!

Pasarminggu, 19 Januari 2013

{Dibawakan pada acara peluncuran buku Perjuangan Panjang Aneukmet Gampong: 80 Tahun Ibrahim Abdullah, Kampus Universitas Nasional, Jakarta, 19 Januari 2013}

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*