Selalu dikatakan bahwa pantun, sebagai bentuk puisi Melayu tradisional (baik pantun Indonesia maupun pantun Malaysia), merupakan pancaran masyarakat Melayu lama yang oleh karena itu juga selalu dikatakan mencerminkan masyarakat yang statis, selalu terikat nilai adat, dan lambat berubah.
Pencerminan masyarakat yang demikian itu adalah pencerminan model dikotomi ala strukturalisme yang patut diberi catatan kritis. Sebagaimana diketahui, semangat strukturalisme selalu menggarisbawahi adanya oposisi biner, yang membuat kehidupan selalu dilihat dalam dikotomi yang hitam-putih: baik-buruk, hitam-putih, atasan-bawahan, dan juga ada masyarakat tradisional dan ada masyarakat yang tidak tradisional.
Dikotomi model strukturalisme itu dewasa ini memang telah kehilangan vitalitasnya, mengingat kehidupan tidak dapat dilihat secara hitam-putih seperti itu. Pantun, sebagai puisi lisan yang dihasilkan sejak dahulu kala oleh banyak masyarakat di mana-mana di dunia, dengan demikian tidak serta-merta dapat dianggap sebagai pancaran masyarakat lama. Penyebabnya, suatu “pancaran masyarakat” adalah hasil pengkategorian dan ideologisasi yang terus-menerus hidup di dalam suatu masyarakat. Ia mengendap dan menjadi nilai-nilai lokutif di sepanjang perkembangan kehidupan masyarakat itu.
Membaca pantun-Melayu dari perspektif kritis-analitis, yakni dari sudut tindak tutur komunikasi, setidaknya akan membuktikan hal tersebut di atas.
Pantun dalam Perspektif Kritis
Dalam perspektif strukturalisme, pantun lebih digarisbawahi dalam bentuknya yang empat baris dalam satu bait, tiap-tiap baris terdiri atas delapan sampai sepuluh suku kata, dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya disebut isi, dan pada ujung baris-baris tersebut selalu bersajak salib a-b-a-b. Perspektif strukturalisme juga menggarisbawahi bahwa pantun adalah pancaran masyarakat lama. Ciri-ciri masyarakat lama, menurut Alisjahbana (1961), misalnya, di antaranya adalah (1) dipengaruhi oleh adat istiadat; (2) statis dan lamban berubah; dan (3) tidak pernah menonjolkan persona.
Penggarisbawahan secara strukturalistik itu, yang selalu menonjolkan dikotomi sehubungan dengan oposisi biner, juga mengimbas pada pembabakan sejarah kesusasteraan. Sering kali dikatakan bahwa sejarah kesusasteraan Malaysia dan Indonesia terbagi atas kesusasteraan lama dan kesusasteraan baru. Dalam hubungan ini, kesusasteraan lama dianggap sebagai kesusasteraan berbentuk lisan yang dihasilkan sebelum tahun 1500 Masehi atau sebelum kemunculan Abdullah bin Abdul Kadir Munsji di pentas susastera Melayu (Adnan, 1970). Sementara itu, dalam hal pantun-Melayu selalu saja orang memercayai pendapat seorang pakar bahasa Melayu berkebangsaan Belanda, Ch. A. van Ophuysen, yang dikemukakan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bahasa Melayu di Leiden pada 1904. Menurut Ophuysen, pantun dimasyhurkan pertama kali oleh sarjana Belanda bernama H.C. Klinkert, yang pada 1868 menulis artikel berjudul “De Pantuns of Minnezangen der Maleiers” (“Pantun atau Nyanyian Orang Melayu Berkasih-kasihan”) di dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkunde van Ned-Indie (Bantuan bagi Ilmu Bahasa, Ilmu Negeri, dan Bangsa-bangsa Tanah Hindia). Selain Klinkert, menurut Ophuysen pantun juga dimasyhurkan oleh sarjana Belanda lainnya, yaitu Pynappel (1883) dan L.K. Harmsen (1885) di dalam jurnal yang sama. Berikut ini adalah pendapat Ophuysen mengenai pantun.
Menurut pendapatku tiap-tiap baris pantun itu bersahaja-sahajanya terdiri daripada empat buah perkataan yang bersuku dua buah, tetapi kerap benar perkataan yang bersuku tiga, sekali-kali bersuku empat. Sepanjang persangkaanku tekanan bunyi selalu terdapat pada suku penghabisan daripada perkataan yang kedua dan yang keempat; karena itu sebaris pantun boleh dikatakan terbagi atas dua bagian. Kebiasaannya perbedaan tekanan bunyi sepasang suku tak seberapa. (…)Sebuah pantun dipandang orang Melayu bagus kalau sebuah atau beberapa perkataan daripada sebuah baris bersajak dengan perkataan pada baris yang menjadi pasangannya. Dalam pantun yang indah-indah boleh dikatakan segala perkataan pada baris yang ketiga bersajak dengan segala perkataan pada baris pertama. Begitu juga halnya baris keempat dan baris yang kedua, seperti pada contoh berikut ini (Balai Pustaka, 1984).
Ranggung lantaikanlah di bamban
Padi dan banto punyo buah
Tanggung dan rasakanlah di badan
Hati dan mato punyo ulah
Pendapat Ophuysen, yang jelas sekali dibalut oleh semangat strukturalisme, memang sejak lama telah mendominasi paradigma orang mengenai pantun; setidaknya, hal tersebut akan berlangsung sejak seseorang duduk di bangku sekolah menengah dan telah menerima pelajaran kesusasteraan. Oleh karena itu, pendapat Ophuysen dan juga pendapat para pakar kesusasteraan lainnya perlu diluruskan secara kritis, terutama bertalian dengan nilai-nilai tradisionalisme yang kerap dikatakan menjadi “roh” pantun.
Benarkah pantun merupakan pancaran masyarakat lama? Pertanyaan ini memang tidak pernah dijawab oleh Ophuysen secara langsung di dalam pidato pengukuhan guru besarnya, kecuali ungkapannya bahwa pantun selalu menggunakan bahan baku yang diambil dari alam, apa pun itu, yang oleh penciptanya dijadikan pengibaratan seperti dalam contoh bertikut.
Dari mana punai melayang
Dari kayu turun ke padi
Dari mana kasih sayang
Dari mata turun ke hati
Pertanyaan mengenai benarkah pantun merupakan pancaran masyarakat lama, setidaknya dapat dijawab melalui analisis tindak tutur komunikasi. Analisis yang bersifat kritis ini, menurut Wibowo (2008) bertujuan membongkar konspirasi ungkapan-ungkapan bahasa di balik isi pesan komunikasi, apa pun itu bentuknya. Dalam konteks ini, maka pertama-tama pantun harus dilihat sebagai upaya lokutif penciptanya dalam menghadirkan fakta melalui penafsiran yang subjektif. Subjektivitas ini tentu berkaitan dengan kategori dan ideologi yang memang telah dibawa seseorang sejak lahir. Menurut Wittgenstein (1983), kategori dapat dimaknai sebagai penetapan yang dilakukan seseorang terhadap pelbagai bentuk tata permainan bahasa. Mengingat bahasa memiliki tata permainannya sendiri-sendiri atau aturan-aturannya masing-masing yang terkonteks dengan masyarakat penggunanya, yang dalam kaitannya dengan media pantun mencerminkan pertarungan wacana antarkelompok di dalam suatu masyarakat, maka pencipta pantun melakukan pengkategorian atas perbedaan-perbedaan tersebut ke dalam fakta-fakta tertentu untuk kemudian secara subjektif menetapkan fakta apa yang hendak ditonjolkan. Dengan demikian, benarlah apa yang ditegaskan oleh Wittgenstein bahwa fakta, realitas, atau suatu permainan bahasa berakibat pada terjadinya suatu inovasi dalam penggunaan bahasa yang sifatnya tidak dapat diprediksi, sehingga maknanya tidak dapat dicari hanya dengan mengaitkannya dengan fakta tersebut. Hal ini berarti, janganlah kita mempertanyakan apakah makna sebuah kata dan ungkapan, tetapi lihatlah bagaimana kata dan ungkapan itu di dalam penggunaannya. Perhatikan pantun Malaysia dan pantun Indonesia berikut ini.
Pntun Malaysia
Cik Daud berketam padi
Sambil petik bunga pudak
Tuan pergi ke laut api
Biar hangus kuturut juga
Pantun Indonesia
Jenderal Majilis mati di Bali
Berkubur di tanah lapang
Apa diharap pada kami
Emas tidak bangsa pun kurang
Fakta mengenai Cik Daud, padi, bunga pudak, laut api, dan Jenderal Majilis, bukanlah fakta sebagaimana dikatakan Ophuysen, melainkan fakta yang telah dikonstruksikan secara lokutif oleh penciptanya melalui kategori subjektifnya. Implikasi dari hal ini, pengkategorian fakta-fakta tersebut berkelindan dengan ideologi, yakni sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi. Menurut Lull (1998) dan Lauer (1993), ideologi akan menghasilkan perilaku yang mempertahankan tatanan yang ada. Dengan ucapan lain, ideologi memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu. Kekuasaan logis dalam hal penetapan fakta atau realitas, agaknya dapat dilihat pada kekerasan hati pencipta pantun Malaysia maupun pencipta pantun Indonesia tersebut ketika menyatakan “tuan pergi ke laut api, biar hangus kuturut juga” dan “apa diharap pada kami, emas tidak bangsa pun kurang”. Dalam penegasan lain, kedua pencipta pantun tersebut memperlihatkan upaya perebutan wacana dalam mengoreksi kondisi masyarakatnya masing-masing, yang ketika itu mungkin diwarnai oleh sikap atau mental pembeo, penjilat, pembebek, atau sikap lainnya yang merefleksikan keburukan bangsa Melayu. Dengan demikian, fakta yang diungkapkan di dalam sampiran kedua pantun tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena ia hanya sekadar aturan yang harus diikuti kedua penciptanya dalam mematuhi tata permainan bahasa pantun. Hal ini kiranya dapat menggarisbawahi bahwa pada dasarnya pantun bukan sekadar pancaran masyarakat Melayu lama yang dikatakan statis dan sulit berubah. Apalagi, pada dasarnya baik bangsa Malaysia maupun bangsa Indonesia memiliki rujukan kehidupan pada nilai-nilai luhur bangsanya masing-masing.
Melalui kekerasan hati kedua pencipta pantun tersebut, terutama dalam mengoreksi kondisi masyarakat mereka masing-masing pada saat itu, selain mengungkapkan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang dinamis dan ingin berubah, juga mengungkapkan bahwa bangsa Melayu memiliki kesadaran etis dalam berbahasa. Kesadaran etis berbahasa ini, dalam kaitan ini dapat dimaknai sebagai totalitas dari sikap, perasaan, dan intelektualitas para pencipta pantun ketika hendak menyusun ungkapan-ungkapan dalam pantunnya. Hal ini, kiranya selaras dengan pendapat Wittgenstein bahwa di balik suatu ungkapan bahasa tersembunyi sifat antroposentris yang laten dari penyampai ungkapan bahasa tersebut. Sifat antroposentris ini tentu saja dilandasi oleh persepsi seseorang berdasarkan latar belakang budaya, latar belakang pendidikan, dan latar belakang sosial-ekonominya. Oleh karena itu, hemat penulis, berbeda dengan pendapat Lull dan Lauer, ideologi dalam konteks ini harus dimaknai sebagai makna niatan (intentional meaning), yakni makna yang tersirat, atau maksud tersembunyi yang laten, yang disampaikan seseorang melalui ungkapan bahasanya. Dalam penegasan lain, ideologi mewujudkan diri sebagai lokusi, yakni tindak tutur orang yang hendak menyampaikan suatu makna tertentu di balik pesan komunikasinya. Lokusi itu sendiri, menurut Austin (1962), di dalam suatu ungkapan bahasa memang ditengarai berpeluang memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu lain, meskipun kekuasaan tersebut hanya bersifat imbauan, yang dalam konteks ini dapat kita lihat dalam pantun.
Lokusi, kategori, dan makna niatan mengimplikasikan bahwa bahasa di tangan pencipta pantun dapat bersifat amat lentur, terutama jika dikaitkan dengan kepentingan segmentasi atau masyarakat pembacanya. Ditinjau dari sudut lokusinya, maka pantun-Melayu, baik pantun Malaysia maupun pantun Indonesia, mencerminkan pengkategorian dan ideologisasi yang berbeda-beda, sesuai dengan konteks masyarakat dan nilai-nilai luhur bangsa masing-masing. Dari kenyataan ini, dapat ditegaskan sekali lagi, menganggap bahwa pantun-Melayu adalah pancaran masyarakat Melayu lama adalah keliru. Kekeliruan ini, yang dapat dikategorikan sebagai kekeliruan epistemologi, memang sering kali menghinggapi para penganut strukturalisme, sebagaimana diperlihatkan oleh Ophuysen.
Tradisionalisme dan Kapitalisme Mondial
Mengapa analisis tindak tutur komunikasi dalam konteks ini dikatakan berdaya guna untuk membongkar konspirasi di balik suatu isi pesan komunikasi? Penyebabnya, selama ini orang masih dicungkupi oleh semangat strukturalisme bahwa bahasa di dalam suatu isi pesan komunikasi hanya dianggap sebagai alat komunikasi belaka atau hanya dianggap sebagai susunan kata dan kalimat yang telah berstruktur gramatika.
Dari perspektif kritis dewasa ini, semestinya orang harus lebih menyadari bahwa bahasa adalah objek material utama, mengingat pada hakikatnya bahasa adalah bagaimana ia digunakan dalam kehidupan dan bagaimana kehidupan mewujud di dalam bahasa. Implikasi dari hal ini, ungkapan bahasa sering kali dijadikan konspirasi dalam hal politik pemaknaan oleh penutur komunikasi, demi menancapkan makna-makna tertentu kepada benak orang lain. Sebagai contoh, pantun-Melayu masih dikatakan sebagai pancaran masyarakat lama, yang identik dengan statis, terikat oleh adat, dan oleh karena itu tidak pernah menonjolkan persona. Dalam hal mengkaji pantun, contoh lain, sebagaimana ditegaskan Ophuysen, nama bebungaan dan dedaunan memang tidak bertalian dengan namanya, namun bunyi dari nama bebungaan atau dedaunan itu mirip dengan suatu kenyataan. Nama daun “sitarak”, misalnya, menurut Ophuysen mirip dengan bunyi kata “marsarak” yang di dalam bahasa Mandailing bermakna “bercerai”. Oleh karena itu, untuk menyatakan suatu perceraian (“marsarak”) sebuah pantun pada umumnya mencuplik kata “daun sitarak” dalam sampirannya. Politik pemaknaan semacam ini memang akan membuahkan kekeliruan epistemologi, terutama karena akan terjadi konspirasi pemaknaan yang menyesatkan. Itu sebabnya, dibutuhkan analisis tindak tutur komunikasi yang bertujuan membongkar makna niatan (intentional meaning) pencipta pantun melalui ungkapan bahasanya. Dengan kata lain, analisis tindak tutur komunikasi, yang ditulangpunggungi oleh prinsip aliran Filsafat Bahasa Biasa, berupaya mendobrak konspirasi dan manipulasi kata-kata yang dilakukan pencipta pantun, mengingat aktivitas penciptaan pantun tidak hanya sekadar mengkonstruksi suatu realitas, fakta, atau peristiwa, tetapi juga menentukan lokusi penciptanya dalam hal memilih makna-makna tertentu yang sengaja hendak ditancapkan ke benak pembacanya.
Berkenaan dengan hal di atas, marilah kembali ke “roh” pantun yang dikatakan pancaran masyarakat Melayu lama atau masyarakat Melayu tradisional. Pada umumnya, untuk memahami istilah “masyarakat tradisional” orang selalu mencari jawabannya melalui pertentangannya dengan proses modernisasi. Menurut Haviland (1988), misalnya, proses modernisasi dapat dipahami melalui empat subprosesnya. Pertama, ada-tidaknya perkembangan teknologi yang berupa pengetahuan ilmiah dan teknik, yang selalu dikatakan harus berasal dari peradaban Barat. Kedua, ada-tidaknya perkembangan pertanian, berupa pergeseran dari pertanian untuk keperluan sendiri menjadi pertanian untuk pemasaran, yang dalam hal ini berarti transformasi dari sosialisme ke kapitalisme. Ketiga, ada-tidaknya industrialiasi dengan penggarisbawahan penggunaan energi yang nonhewani. Keempat, ada-tidaknya urbanisasi, yakni perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota. Selama modernisasi berproses, menurut Haviland, akan terjadi pula perubahan di bidang lain. Sebagai contoh, di bidang pendidikan terdapat suatu perluasan kesempatan untuk belajar. Di bidang agama, terjadi pula “pemerosotan” pemikiran, sehingga perilaku dalam kepercayaan dan kebiasaan-kebiasan tradisional menjadi tergerogoti. Sementara itu, hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kekerabatan akan berubah pula, bahkan berpeluang untuk hilang.
Pendapat Haviland, yang memang dilandasi oleh semangat strukturalisme, jika dipertalikan dengan pantun-Melayu ternyata tidak terbukti. Perhatikanlah pantun Malaysia dan pantun Indonesia yang bertemakan pendidikan dan agama berikut ini.
Pantun Malaysia
Anak kumbang terayap-rayap
Mati disambar anak Turki
Hendak terbang tidak bersayap
Hendak hinggap tidak berkaki
Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi yang baik dikenang jua
Pantun Indonesia
Anak ayam turun sepuluh
Mati satu tinggallah sembilan
Tuntut ilmu bersungguh-sungguh
Suatu jangan ketinggalan
Kemumu di dalam semak
Jatuh melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya
Simaklah baik-baik isi pesan komunikasi keempat pantun-Melayu di atas. Kemudian, renungilah, andai bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia begitu teguh menjaga nilai-nilai pendidikan dan agama sejak lama, masih bolehkah dikatakan bahwa pantun-Melayu merupakan pancaran masyarakat lama yang statis dan sulit berubah? Oleh karena itu, patut ditegaskan lagi bahwa ungkapan “statis” dan “sulit berubah” adalah ungkapan yang berbalut strukturalisme, karena diandaikan ada masyarakat yang “tidak statis” dan ada masyarakat yang “mudah berubah”.
Dengan demikian, hemat penulis, dalam perspektif kritis bahkan boleh ditegaskan bangsa Barat yang justru telah kehilangan nilai-nilai pendidikan dan agamanya. Hal ini setidaknya dapat dirujukkan pada pendapat Nietzsche (1844-1900) pada akhir abad ke-19 dan pemikiran Heidegger (1889-1976) pada awal abad ke-20 mengenai feneomenologi-hermeneutik (Wibowo, 2008). Pemikiran Nietzsche yang sangat “menggetarkan” untuk Abad ke-20 itu berisikan kritik tajam mengenai moral kebudayaan Barat selama zaman Modern. Bangsa Eropa, yang mengklaim diri sebagai penjunjung tinggi nilai moral dan humanisme selama zaman Modern, bagi Nietzsche tak lain sebagai kaum pengkhianat. Contohnya adalah kolonialisme Barat terhadap bangsa-bangsa di Timur, dan juga kebiadaban yang dilakukan di Warsawa, Auschwitz, Hiroshima, Vietnam, dan bahkan di Palestina. Oleh karena itu, Nietzsche beranggapan bahwa peradaban modern telah gagal total. Manusia modern memang amat memuliakan rasionalitasnya, tetapi dengan rasionalitasnya itu mereka justru terjerumus ke dalam kebiadabannya, sehingga zaman Modern harus segera digantikan oleh zaman Kontemporer. Dengan demikian, menurut Nietzsche, zaman Kontemporer harus dilihat dari kacamata pluralisme atau nihilisme alias “nilai nol”, yang maknanya adalah bagaimana manusia harus berupaya membongkar bangunan-bangunan yang ada, agar kita dapat lebih bebas melihat sesuatu yang baru (oleh Nietzsche nihilisme dikemukakannya dalam ungkapan “Tuhan telah mati” – WW). Sementara itu, menurut Heidegger (1962) di dalam kehidupan ini selalu terdapat perbedaan ontologis antara sein (ada) dan seiende (tentang ada), sekalipun sein sudah merupakan seiende itu sendiri. Dalam konteks ini, Heidegger mencontohkan bahwa dalam memahami hakikat bahasa sering kali kita masih bersikap strukturalistik, yakni menganggap bahwa bahasa diperlukan hanya sebagai alat komunikasi. Padahal, hakikat bahasa adalah “bahasa hakikat”, yang merujuk pada pengertian bahwa berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan, atau respons, dan sama sekali bukan manipulasi ide-ide yang memang sudah terkandung dalam suatu proses penuturan bahasa. Dalam penegasan lain, bahasa pada hakikatnya berkaitan langsung dengan proses penyampaian makna.
Semangat strukturalisme sebagaimana diuraikan di atas, memang tetap berupaya mencungkupi kehidupan warga dunia hingga kini, yang oleh karena itu harus disikapi secara kritis. Apalagi, dalam kaitannya dengan produk susastera seperti pantun. Dewasa ini, semangat kapitalisme yang dicerminkan oleh kapitalisme mondial paruh abad ke-20 bahkan lebih logis dan strategis. Mereka ini tampak sekali lebih menggarisbawahi prinsip dalam rangka mencari keuntungan secara rasional dan sistematis dengan mengedepankan etos modernitas. Menurut Fidler (2003), misalnya, modernitas yang dipangkalkan dari teknologi komunikasi dan informasi telah menjadi prinsip utama di dalam semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20. Dalam ungkapan lain, teknologi komunikasi dan informasi pada dasarnya adalah sarana terbaik dalam hal mengkonstruksi sosial dan sekaligus memproduk interaksi pelbagai kepentingan pelaku-pelaku sosial yang memang tak selalu sepaham. Bahkan, menurut Fidler, teknologi komunikasi dan informasi merupakan alat yang ampuh untuk merefleksikan daya lokusi manusia, sehingga mampu membangun fanatisme manusia terhadap nilai-nilai modernitas itu sendiri. Dampak dari hal ini, teknologi komunikasi dan informasi dianggap sebagai keniscayaan.
Berkenaan dengan hal di atas, menurut Giddens (2004), modernitas memang harus dicermati secara kritis. Penyebabnya, di balik gagasan tentang modernitas terkandung suatu kontras dengan tradisi. Dalam kehidupan tradisional, masa lalu dihormati dan simbol-simbol pun dihargai karena merefleksikan dan sekaligus bertanggung jawab atas pengalaman berbagai generasi. Dengan munculnya modernitas, karakter reflektivitas menjadi berbeda, yakni berupa pemakaian sumber-sumber material yang tidak berjiwa dalam produksi barang dan jasa yang dipadukan dengan peran sentral mesin dalam proses produksi, sehingga rutinitas kehidupan manusia sehari-hari tidak lagi memiliki benang merah dengan masa lalu. Melalui ekspansi modal besar-besaran, inovasi teknologi yang cenderung konstan, dan upaya privatisasi di segala bidang, kaum kapitalis mondial paruh abad ke-20 berupaya keras menguasai pasar di seluruh dunia seraya merasuki budaya mereka. Dalam upaya mereka itu, disertakan pula pendekatan humanistik, yakni dengan memperhitungkan nilai-nilai etis suatu bangsa, bahkan juga sekaligus dengan memanfaatkan kelenturan bahasa, sehingga produk dan jasa mereka mudah diterima. Sehubungan dengan pendapat Giddens, kekritisan terhadap semangat strukturalisme dan juga kapitalisme sebenarnya telah dilakukan bangsa Melayu melalui pantun-pantun mereka. Perhatikan pantun Malaysia dan pantun Indonesia yang bertemakan dagang berikut ini. Perhatikan pula, bagaimana kesantunan kedua bangsa itu dalam berniaga, yakni kesantunan yang merefleksikan etika bisnis.
Pantun Malaysia
Kedondong batang sumpitan
Batang padi saya lurutkan
Tujuh gunung sembilan lautan
Kalau tak mati saya turutkan
Pantun Indonesia
Kalau tidak tahu di rumpun padi
Lihatlah rumput di pematang
Kalau tidak tahu diuntung kami
Lihatlah laut petang-petang
Penutup
Ditinjau dari sudut lokusinya, pantun-Melayu, baik pantun Malaysia maupun pantun Indonesia, mencerminkan pengkategorian dan ideologisasi penciptanya sesuai dengan konteks masyarakat dan nilai-nilai luhur bangsa masing-masing. Dari kenyataan ini, dapat ditegaskan bahwa pantun-Melayu bukanlah sekadar pancaran masyarakat Melayu lama.
Menganggap pantun-Melayu sebagai pancaran masyarakat lama adalah keliru. Kekeliruan yang dapat disebut sebagai kekeliruan epistemologi ini, yakni kekeliruan pengkategorian, ditengarai menghinggapi para penganut strukturalisme, sebagaimana diperlihatkan oleh Ophuysen ketika berbicara mengenai pantun.
Kota Depok, 8 Oktober 2013