Catatan buat Anggota KPI Pusat 2013-2015: Jadilah Pribadi yang Pener, Bener, dan Seger
MULA-mula adalah sebuah naskah yang saya tulis di sela-sela kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa, dan menulis puisi, berjudul Sihir Iklan, yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2003). Sekalipun tidak selaris buku-buku yang ditulis oleh para politikus, anggota DPR, atau artis, buku saya itu direspons banyak pembaca dari banyak kalangan (sehingga, penerbitnya berniat mencetak ulang). Respons itu, yang kebanyakan dilakukan via SMS dan pos-el, rata-rata menandaskan bahwa saya terlampau “keras” menelanjangi iklan-iklan kita di media massa.
Benarkah apa yang mereka tandaskan itu? Saya tidak boleh menilai bahwa “fans” saya adalah mereka yang selama itu menjadi korban iklan (atau, dalam istilah yang lebih seram, korban kapitalisme mondial). Saya juga tidak boleh menilai bahwa “fans” saya adalah mereka yang selama itu ternina bobo oleh media massa (terutama, melalui iklan-iklan mereka yang amat konsumtif). Untuk hal yang terakhir, andai kita masih waras, tentu kita menyepakatinya. Tapi, makalah ini tidak ditendensikan untuk sebuah perbalahan. Pasalnya, buku saya, Sihir Iklan, dan para “fans” saya itu, tanpa sengaja memicu ilham untuk menulis makalah kecil ini bahwa seorang anggota KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), apalagi KPI tingkat Pusat periode 2013-2015, yang belum lama ini terpilih, seharusnya memiliki pandangan etis-kritisnya terhadap “sesuatu” yang disiarkan. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa “sesuatu yang disiarkan” dalam format berbangsa dan bernegara pada hakikatnya adalah demi menjaga nilai-nilai luhur atau local wisdom bangsa dan negara itu.
Dalam ungkapan lain, seorang anggota KPI Pusat dituntut memiliki suatu pandangan yang etis-kritis, yang khas dan terfokus, yang kemudian boleh saja diwujudkan sebagai visi dan misinya, sepanjang tidak berbenturan dengan UU Penyiaran (juga UU lain yang “selevel”) atau berbenturan dengan pandangan subjektifnya. Hal ini patut digarisbawahi, karena memang itu yang seharusnya dilakukan oleh anggota KPI Pusat.
Pener, Bener, dan Seger
Buku Sihir Iklan sebenarnya berbicara mengenai bagaimana bahasa (sebagai unsur penopang iklan) dapat dibentuk sedemikian rupa, sehingga memiliki daya sihir yang dahsyat. Dengan demikian, buku itu sebenarnya tidak menelanjangi iklan (sebagaimana ditegaskan banyak “fans” saya itu tadi), tapi justru menyadarkan pembaca bahwa bahasa memiliki kekuatan amat dahsyat “di tangan ahlinya”. Ibarat pisau dapur, “di tangan ahlinya” ia bisa menjadi senjata tajam pembunuh maling. Alhasil, masyarakat sering tersihir oleh iklan dan melupakan persoalan hakiki bahwa yang sebenarnya berperan adalah bahasa.
Melalui penyadaran terhadap kekuatan bahasa itulah saya menulis Sihir Iklan, walau saya tidak yakin apakah para politisi, anggota DPR, dan komponen bangsa lainnya pernah membacanya (tapi, saya tidak peduli). Dalam keyakinan etis-kritis saya, bahasa adalah bentuk kehidupan itu sendiri. Dalam penegasan lain, keanekaragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu. Itu sebabnya, dalam setiap konteks kehidupan manusia digunakan bahasa tertentu yang memiliki aturan-aturan main tertentu yang tidak boleh dan tidak dapat dipertukarkan. Mempertukarkan aturan-aturan main bahasa sama halnya mempergunakan aturan dalam permainan catur atau golf, misalnya, ke dalam permainan sepak bola.
Beranjak dari hal di atas, andai mau kita sadari, Abad ke-21 ini sebenarnya adalah Abad Bahasa, karena masalah kehidupan dan semua hal yang berkaitan dengan masalah berbangsa dan bernegara (terutama jika dilihat melalui perspektif kepenyiaran) pasti dilakukan melalui bahasa. Implikasinya, dapat dibayangkan bagaimana penting dan perlunya anggota KPI Pusat memiliki kesadaran berbahasa (bukan kepandaian berbahasa). Boleh bertaruh, kesadaran yang dimilikinya itu akan kian memperkokoh profesionalitasnya dalam tugas-tugasnya sebagai anggota KPI Pusat. Dalam ungkapan lain, seorang anggota KPI Pusat yang sadar berbahasa (bukan pandai berbahasa) akan lebih jernih dalam meluruskan pelbagai persoalan yang marak dalam dunia kepenyiaran, sehingga integritas, profesionalisme, dan independensinya tetap akan terjaga.
Kesadaran berbahasa bagi seorang anggota KPI Pusat setidaknya juga berkelindan dengan nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam ungkapan filosofis pener, bener, dan seger. Etos pener (“tahu diri”), dalam perspektif etis-kritis merujuk pada kewajiban manusia atas tugas-tugas profesionalismenya yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, tenggang rasa, dan rendah hati demi “mengejar” eudamonia (kebahagiaan). Etos bener (“tahu masalah”), dalam perspektif analitis-kritis berhubungan dengan kenyataan bahwa penggunaan bahasa tidak mungkin dapat dilepaskan dari situasi konkret di tempat kita melihat atau mengalami suatu fenomena. Itu sebabnya, karena tidak bener atau tidak tahu masalah, sering kali terjadi ungkapan-ungkapan kita (apalagi jika diperkaitkan dengan kepenyiaran) lebih dilumuri oleh subjektivitas, egoisme, arogansi, dan bahkan etnosentrisme. Sedangkan etos seger (“tahan uji”), dalam perspektif profesionalitas dapat dipertalikan dengan ungkapan kondang pujangga Ronggowarsito, yakni eling lan waspodo, alias kita harus selalu berwaspada dan tahan uji (secara akademis) terhadap praktik-praktik politik informasi melalui bahasa. Hal ini patut dicermati, mengingat bahasa pada galibnya adalah kekuasaan, sebagaimana adagium yang mungkin pernah kita dengar, “siapa menguasai bahasa dialah yang memegang kekuasaan”.
Dari hal di atas, nyatalah bahwa seorang anggota KPI Pusat memang harus memiliki sikap pener, bener, dan seger. Tanpa melambari diri dengan sikap ini, mereka ibarat hendak memasuki hutan rimba yang gelap dan pekat, yang bahkan tepinya saja mereka tak tahu di mana.
Orang boleh berharap, begitu pula saya. Tabek!
Kota Depok, 14 Juli (Bulan Puasa) 2013