Des 17, 2014 - Artikel    No Comments

Kacang yang Tak Pernah Lupa Kulitnya: Catatan Setelah Membaca Novel Pertama Fataya Azzahra

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Fataya Azzahra adalah mahasiswi saya di Fakultas Sastra Universitas Nasional, Jakarta, yang hingga hari ini masih menganggap saya sebagai dosennya; hingga hari ketika tiba-tiba ia mengabarkan bahwa novel pertamanya, L’amour C’est Toi (Cintamulah yang Membuatku Hidup), diterbitkan Feliz Books (Jakarta, November 2014, vii-282 hlm.).

Tak hanya kabar itu yang saya terima. Fataya juga meminta saya untuk memberi catatan terkait dengan eksistensi sastra populer. Topik ini sesungguhnya amat sukar bagi saya, mengingat pertumbuhan dan perkembangan sastra populer di Indonesia selalu dipatokkan pada peran Pemerintah Hindia Belanda ketika mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi) pada 1908 di Jakarta (diketuai oleh Dr. G.A.J Hazeu), yang pada 1917 lantas berubah nama menjadi Balai Pustaka. Hal ini berarti ada perubahan tren (juga paradigma) tentang sastra populer itu sendiri, yang pasti luput dari pembacaan saya.

Akan tetapi, permintaan Fataya tentu harus diapresiasi dengan baik, karena dewasa ini tidak banyak anak muda yang mampu menggunakan pikiran dan sikap etisnya (yang pada dasarnya pemberian Allah SWT) untuk selalu menganggap dosennya sebagai bagian dari kehidupannya. Anak muda, apalagi yang lama hidup menderita (apa pun ini maknanya!), menurut pengalaman saya berkecenderungan ”lemah batin”, sehingga antara batin dan lahirnya tidak seimbang secara etis. Ketika beranjak dewasa, katakanlah ketika sudah duduk di bangku kuliah, atau sudah lulus sarjana, ketidakseimbangan itu membawa dampak pada tingkah lakunya berupa kedewasaan yang setengah matang, misalnya tidak pandai melihat kenyataan, tidak tahu berterima kasih kepada dosennya atau mantan dosennya (bahkan kepada orang yang lebih tua), tidak mampu bersikap mandiri (selalu minta ”disusui” terus-menerus oleh dosennya atau mantan dosennya). Kedewasaan yang setengah matang itu membawa dampak ikutan yang lebih parah: si anak muda itu serta-merta menjadi pribadi yang kalap, misalnya seneng banget mengomel lewat medsos, ngedumel di BBM dengan teman-temannya, atau hobi banget ngerumpi di sana-sini ”menganalisis” perilaku dosennya (atau mantan dosennya).

Bagi saya (ingat, lho, saya pernah muda), jenis ”analisis” semacam itu bolehlah dikategorikan sebagai sampah, karena hal berikut: (1) sejauh mana si anak muda itu paham tentang perilaku seseorang, mengingat belum tentu ia paham tentang dirinya sendiri; (2) sejauh mana si anak muda itu paham tentang etika berkehidupan, mengingat adanya ”peran” dosen (atau mantan dosennya) terkait dengan kehidupannya yang sekarang. Lalu, adakah upaya untuk ”memberesi” ulah anak-anak muda yang ”kepedasan” semacam itu?

@@@

Kalau saya diminta menjawab, jawaban saya: serahkanlah pada alam. Atau, bisa juga seperti yang dilakukan Fataya, membiarkan energinya mengalir jauh dan tumbuh amat baiknya di dalam dunia kreatif, khususnya dunia penulisan novel. Dunia kreatif Fataya, yang di dalam novelnya itu amat disarati warna-warni informasi, agaknya membuktikan Fataya lebih rajin membaca dan kemudian bertekun di muka laptop, daripada ngomel dan ngerumpiin dosen atau mantan dosennya. Dalam konteks inilah, Fataya boleh disebut ibarat kacang yang tak pernah lupa pada kulitnya: pasalnya, membaca dan menulis, juga menganalisis dan menafsir, adalah perilaku akademik yang etis yang pernah diperkenalkan oleh dosen-dosennya. Jadi, buat apa ngomel dan ngerumpiin mereka?

Dunia kreatif Fataya, dengan demikian, bisa disebut sebagai dunia katarsis (“penyucian jiwa”). Jiwa yang ”suci” maksudnya adalah jiwa yang matang, karena di dalam proses pensuciannya terikut daya intelek, daya imajinasi, dan daya pilih. Ketiga daya ini, yang melahirkan katarsis, menyebabkan si penulisnya (Fataya) berdiri-mandiri sebagai sosok (jiwa dan raga) yang matang, tidak cengeng, dan mampu mempertahankan sikap etisnya sebagai manusia kreatif. Oleh karena itu, andaipun novel Fataya, L’amour C’est Toi, terkesan dibangun dengan nada cengeng, mengingat para tokohnya (Fe, Gilang, Dimas, Dea, dan Prisa) adalah mahasiswa yang “terlunta-lunta” di dunia cinta yang bersifat muda-mudi, akibat perselingkuhan yang juga bersifat muda-mudi, nada tersebut oleh Fataya dikunci oleh adegan akhir (ending) yang menurut saya amat etis dan estetis, terkait oleh sikap tokoh Fe dan tokoh Dimas ketika  berupaya saling memperkokoh cinta mereka dengan cara menulis nama mereka di sebuah gembok yang kemudian mereka gantungkan di kawat Jembatan Pont des Art, yang melintasi Sungai Seine, di Prancis. Ah, manis sekali!

Lalu bagaimana dengan sifat-sifat populer novel Fataya terkait sastra populer Indonesia itu sendiri? Sastra populer Indonesia, sebagaimana saya singgung, pada umumnya dikatakan dimulai sejak zaman Londo, yakni ketika Balai Pustaka didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada 1917. Itu sebabnya, dalam membincangkan novel Indonesia tahun 1920-an, sejarah sastra kita hanya mengidentikkannya dengan novel-novel terbitan Balai Pustaka. Bagaimana dengan novel-novel Indonesia ketika itu yang tidak diterbitkan Balai Pustaka? Pemerintah Londo menyebutnya sebagai “bacaan liar” alias bacaan (sastra) populer. Dikatakan liar, karena Pemerintah Londo menilai novel-novel seperti Tjerita si Riboet atawa Boenga Mengandoeng Ratjoen (Tan Bun Kim, 1917), Student Hidjo (Mas Marco, 1919), atau Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay, 1927) lebih bersifat populer (dicetak masal hanya untuk hiburan), tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, dan alurnya selalu dibangun melalui unsur kebetulan.

Hemat saya, upaya Londo membuat dikotomi antara sastra Balai Pustaka dan sastra populer ketika itu dampak dari paradigma strukturalisme-positivistik terkait dengan upaya politik penjajahannya. Paradigma ini sah-sah saja, asalkan tidak dianggap “kaulah segalanya” sehingga diperlakukan bagai dewa. Bagi mereka yang baru saja belajar Ilmu Filsafat, masalah paradigma ini memang pelik dan karut-marut. Akan tetapi, bagi mereka yang mau membuka hati dan pikiran, karena berjiwa matang, paradigma itu ternyata amat erat terkait dengan masalah habitus. Menurut Bourdieu, habitus merupakan proses pembelajaran sosial budaya yang dibatinkan sehingga subjek/individu dapat bersifat etis dan estetis menghadapi pelbagai konteks ruang sosial. Jika proses ini dilakukan secara serampangan, misalnya melalui sikap yang sok jagoan atau sok pinter, hemat saya suatu paradigma yang ada di dalam pikiran seseorang itu menjadi frozen (tak ubah dogma).

Itu sebabnya, jika kembali ke masalah sastra populer, saya melihat apa yang dilakukan Fataya dalam novel pertamanya itu mencerminkan sifat-sifat sastra populer ala zaman Londo (kecuali dalam hal pemakaian bahasanya yang bukan bahasa Melayu tinggi atau Melayu rendah), misalnya bertaburannya ungkapan asing dan juga istilah-istilah populer (digunakan secara umum) seperti gadget, lipgloss, ponsel, hotspot, dan message. Dari sisi unsur formalnya, seperti tema, penokohan, dan alur, novel Fataya ini selain mirip dengan karya sastra populer zaman Londo, bahkan juga mirip dengan karya sastra Balai Pustaka itu sendiri, terutama yang terkait dengan tema kisah cinta yang sebenarnya ringan namun dibalut oleh masalah yang seolah-olah berat, penokohan yang kurang berkarakter, dan alur yang sederhana (bandingkan dengan alur sinetron kejar-tayang di TV).

Akan tetapi, sifat-sifat populer novel pertama Fataya itu tidak serta-merta menjadikannya novel “garis pinggir” (sebagaimana dilakukan Londo secara strukturalisme-postivistik pada masa lalu terhadap para penulis Indonesia yang melakukan penerbitan sendiri). Artinya, maraknya penerbit “biasa” (jangan dibaca “liar” karena bukankah ada istilah “indie”?), tema-tema yang memfokus pada kehidupan kota besar, dan kisah-kisah yang ber-setting luar negeri (yang ternyata ikut mendongkrak produksi film nasional), misalnya, membuktikan bahwa sastra populer Indonesia kontemporer adalah sastra yang diminati secara umum, namun memiliki konteksnya sendiri-sendiri, apa pun itu, yang oleh karena itu tidak lagi bisa dikatakan berlawanan dengan karya sastra (yang dianggap) tinggi. Janganlah memaksa-maksa suatu istilah, jika ia mengandung masalah paradigmatik.

@@@

Saya yakin benar, Fataya adalah kacang yang tak pernah lupa pada kulitnya, kelak ketika novel-novel berikutnya lahir, seiring dengan kematangan jiwa dan kreativitasnya. Fataya ada karena ada orang lain. Ia juga ada karena orang yang lebih tua, termasuk dosen dan mantan dosennya. Terus berkarya, Fataya. Merdeka!!!

Catatan ini dibawakan pada acara peluncuran novel pertama Fataya Azzahra, L’amour C’est Toi, Feliz Books (Jakarta, 2014), di Universitas Nasional, Jakarta, 12 Desember 2014.

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*