Mar 16, 2014 - Artikel    No Comments

Bu Risma yang Sedang Galau

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Niat pengunduran diri Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma), beberapa waktu lalu, kalau disimak dari pemberitaan media massa agaknya lebih mengandung aspek etis ketimbang aspek politis.

Perhatikanlah, Bu Risma menyatakan tidak akan mundur dari jabatannya hingga 2015, terutama karena dukungan dari masyarakat dan kalangan internal Pemkot Surabaya (Kompas, 28/2/14), walaupun mengaku makin tertekan. Media massa memang tidak menjelaskan makna “makin tertekan” itu. Apalagi, dari pernyataan sebelumnya, “Saya juga sudah ngomong sama suami dan anak-anak bahwa saya sudah tidak kuat lagi dan ingin pamit saja”, banyak yang menafsirkan lebih bernuansa psikologis.

Padahal, andai melihatnya secara etis, kentara sekali bahwa Bu Risma tidak saja mencerminkan sosok pemimpin yang dicintai warganya, tetapi juga sekaligus merepresentasikan sosok kepemimpinan yang eksistensialistis, yakni adanya perasaan galau ketika harus menggapai kebenaran objektif. Terkait hal ini, mungkin sudah dipahami bahasa manusia tidaklah merujuk pada dunia seperti apa adanya, atau terdengar seperti bunyinya, mengingat adanya pengaruh pelbagai konsep dan kategori yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Pelbagai konsep dan kategori itulah yang menciptakan pelbagai tata permainan bahasa di dalam kehidupan, yakni aturan-aturan berbahasa yang tekonteks dengan nilai kehidupan suatu masyarakat. Dengan kata lain, suatu tata permainan bahasa (contohnya bahasa politik) berbeda dari tata permanan bahasa lainnya (contohnya bahasa ekonomi, bahasa sastra, dan seterusnya). Dengan demikian, boleh ditegaskan, tata permainan bahasa politik Indonesia tentu berbeda sekali dengan tata permainan bahasa politik AS atau negara lainnya. Perbedaan tata permainan bahasa inilah yang justru kerap dicampurbaurkan oleh kita, sehingga bahasa yang wujud hakikinya mestinya bersifat emansipatoris, berubah mendadak menjadi kekuasaan. Simaklah bahasa politik kita, bukankah kerap kali dianggap lebih adiluhung ketimbang bahasa-bahasa lain. Itu sebabnya, dalam hubungan ini wajar jika kepemimpinan Bu Risma saya katakan kepimpinan yang eksistensialistis.

Bu Risma, sekali lagi dari segi etis, adalah korban percampuran tata permainan bahasa, khususnya percampuran antara bahasa kepemimpinan dan bahasa politik. Ketika berbicara di depan warganya, berkenaan dengan upaya sosialisasi penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak, dengan mengatakan, “Anda adalah bagian dari pertanggungjawaban saya di hadapan Tuhan”, contohnya, Bu Risma sedang berbahasa secara pas dan kontekstual melalui tata permainan bahasa kepemimpinan. Sebaliknya, ketika menyatakan tidak berniat mundur dari jabatannya, terkait kasus pemilihan wakil wali kota Surabaya, jelas sekali ia adalah pemimpin yang eksistensialistis, karena sedang dicobagerogoti oleh tata permainan bahasa politik.

Siapa yang boleh dianggap sebagai pemenangnya? Saya bukan warga Surabaya. Kenal pun tidak dengan Bu Risma. Akan tetapi, dari sudut berbangsa dan bernegara, pemahaman kita terhadap pelbagai tata permainan bahasa dalam kehidupan adalah keniscayaan, karena mengandaikan adanya komunikasi yang emansipatoristik. Hal ini tentu saja berpangkal dari kadar intelektualitas dan latar belakang budaya kita masing-masing. Dengan demikian, secara etis tidak dibenarkan membuat galau siapa pun.

Harap dicatat, galau dalam konteks ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan galau-psikologis. Galau dalam perspektif etis adalah kegelisahan manusia Indonesia ketika dibebaskan memahami kebenaran, namun dengan tetap berkomitmen sebagai subjek-subjek yang hidup di bawah nilai-nilai keindonesiaan.

Depok, Maret 2014

 

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*