Bahasa Indonesia sebagai (Embrio) Bahasa ASEAN?
Kongres Bahasa Indonesia X, yang berlangsung di Jakarta, 28-31 Oktober 2013, merekomendasikan agar bahasa Indonesia menjadi embrio bahasa ASEAN. Tidakkah rekomendasi ini bak hendak memasak sayur asem tanpa asem?
Menurut pemberitaan media massa, rekomendasi itu muncul dalam sidang kelompok yang mengusung subtema “Diplomasi Kebahasaan sebagai Upaya Penguatan Jati Diri Pemartabatan Bangsa”. Menurut Kompas (30/10/13), misalnya, Zulfikar, salah seorang pemakalah di dalam kongres tersebut menyatakan bahwa menjadikan bahasa Indonesia sebagai embrio bahasa ASEAN merupakan salah satu strategi untuk memperkuat bahasa Indonesia di dunia internasional. Sementara itu, Aziz, pemakalah lainnya, menegaskan bahwa penguatan bahasa Indonesia di dunia internasional mengalami hambatan cukup besar, salah satunya karena bahasa Indonesia justru mengalami penggerusan oleh penuturnya sendiri.
Perbedaan prinsip di antara kedua pemakalah kongres tersebut memang hal yang wajar di dunia akademik. Akan tetapi, melihat alasan yang mereka paparkan, setidaknya kita boleh bersepakat bahwa bangsa kita masih saja mencintai bahasa Indonesia dengan membabi buta. Seolah, bahasa Indonesia adalah “senjata pamungkas” yang boleh dipakai untuk menaklukkan apa saja atau siapa saja.
Tulisan ini tidak hendak menentang rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X itu, mengingat apa pun sah-sah saja direkomen-dasikan dari sebuah kongres. Tulisan ini hanya sekadar refleksi terhadap bangsa kita yang, menurut saya, selalu saja aneh dalam memproyeksikan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia.
Hegemoni monolitisme
Mestinya, biasa-biasa sajalah memandang bahasa Indonesia. Pertama, ingatlah bahwa nama bahasa Indonesia (dibaca: embrio bahasa Indonesia) baru dicetuskan pada 1926 (oleh M. Tabrani) dan baru dikumandangkan di muka Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Artinya, penamaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia murni bersifat politik.
Kedua, tiap-tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya pada dasarnya memiliki aturan mainnya atau tata permainannya sendiri-sendiri sesuai dengan konteks kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, di dalam bahasa Indonesia kita pasti menemukan tata permainan bahasa puisi, tata permainan bahasa “SMS”, dan tata permainan bahasa ilmiah, misalnya, yang masing-masing memiliki aturannya sendiri dan oleh karena itu tidak serta-merta dapat dipandang baik-benarnya hanya dari kacamata bahasa Indonesia baku. Tolong diperhatikan, aturan ejaan, aturan gramatika, dan aturan sintaksis hanyalah dipakai di dalam tata permainan bahasa Indonesia tulis belaka. Memandang dan menilai keseluruhan ungkapan bahasa Indonesia hanya dari kacamata strukturalisme semacam itu (dibaca: mendewa-dewakan bahasa baku), selain menafikan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan kehidupan yang beragam-ragam, juga menjauhkan bahasa Indonesia dari kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Implikasi dari hal ini, bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat kehendak bebas manusia yang melandasi nilai-nilai kreativitas, nilai-nila etik, dan nilai-nilai estetikanya. Itu sebabnya, sulit membayangkan negara turut campur dalam hal moral masyarakat, misalnya mengatur warganya untuk berbahasa yang baik dan benar dalam dalam beribadah, dalam hal bergurau, dan dalam hal berbelanja di supermarket.
Ingatlah “kecelakaan budaya” yang terjadi selama kekuasaan rezim Orde Baru, ketika bahasa Indonesia dijadikan objek monolitisme oleh Penguasa, misalnya dengan melakukan pembakuan bahasa yang diberlakukan pada seluruh tata permainan, situasi, dan konteksnya. Padahal, kita adalah bangsa yang multilingual, yang (melalui Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928) bersepakat secara politis menerima penggunaan bahasa Indonesia (d.h. bahasa Melayu) sebagai tata permainan bahasa nasional, tata permainan bahasa negara, tata permainan bahasa resmi, tata permainan bahasa kesatuan, dan tata permainan bahasa persatuan. Patut segera dikemukakan bahwa di balik ungkapan “bersepakat”, bahasa Indonesia digunakan sehari-hari oleh masyarakat bersama-sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya (Betawi, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak, dan seterusnya). Selain hal itu, bahasa Indonesia juga digunakan bersama-sama dengan bahasa Belanda, Inggris, Arab, Mandarin, atau Jepang. Alhasil, mudah dimengerti, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu rata-rata orang Indonesia. Cobalah Anda bepergian ke pelosok-pelosok Nusantara, nikmatilah ungkapan bahasa Indonesia yang diperdengarkan saudara-saudara kita di sana, tentu Anda akan mendengar suatu tata permainan bahasa Indonesia lisan yang berbeda-beda, yang indah, estetis, dan kental mencerminkan suatu nilai kehidupan yang beragam-ragam.
Masalahnya, mengapa saudara-saudara kita itu ketika menulis kata “salat”, misalnya, tidak memiliki keseragaman ejaan? Padahal, sudah dikatakan, suatu tata permainan bahasa meruapkan aturan dan nilai tertentu sesuai dengan konteksnya. Jadi, ada saudara kita menuliskan kata “shalat”, “sholat”, bahkan ada pula yang menuliskan “syolat”. Hal ini, dalam perspektif Filsafat Bahasa, disebut “keliru kategori”, yakni tercampurnya dua tata permainan bahasa dalam suatu ungkapan bahasa, alias bercampur-baurnya ranah bahasa lisan dengan bahasa tulis. Hemat saya, pemicunya, dan ini adalah hal ketiga, bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah bukanlah bahasa Indonesia yang hidup di tengah masyarakat sehari-hari.
Yang terlihat, seperti bunyi kurikulumnya, para guru bahasa Indonesia kita bukannya mengajarkan para siswanya cara berbahasa, melainkan justru menjadikan para siswanya menjadi ahli bahasa dengan memaksakan menghapal teori-teori bahasa. Alhasil, terjadi senjang antara teori bahasa (yang memang berasal dari Barat) dan sosok bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kita tentu tahu pasti, tidak ada satu teori pun yang bisa dijadikan grand theory untuk menjelaskan segala-galanya. Implikasi dari kenyataan ini, sebagai alat komunikasi sudah barang tentu bahasa Indonesia selalu berubah-ubah sesuai dengan tata permainan, situasi, dan konteksnya. Itu sebabnya, amat wajar jika hingga kini banyak di antara kita yang masih mengidap “keliru kategori” sebagaimana telah saya singgung itu. Contoh mutakhir, perhatikanlah ungkapan “konspirasi kemakmuran” yang diucapkan Vicky Prasetyo. Ia melakukan keliru kategori ketika mencam-purkan antara kata “konspirasi” (tata permainan bahasa politik) dan kata “kemakmuran” (tata permainan bahasa ekonomi). Ketika ia mengucapkan “konspirasi kemakmuran”, tentu saja ucapannya sulit dipahami, alias hampa makna, dan itu sebabnya serta-merta kita tertawa terbahak-bahak.
Habitus kebahasaan
Menjadi benar, dibutuhkan pemahaman kritis dalam memandang sosok bahasa Indonesia, sehingga dalam mencintainya kita tidak membabi buta. Apalagi, serta-merta merekomendasikannya menjadi embrio bahasa ASEAN, hanya karena menganggap dituturkan oleh jumlah penutur yang besar.
Cobalah direnungi, peristiwa kebahasaan apakah yang sedang marak sejak awal Januari 2010, yakni sejak perekonomian Indonesia diwarnai oleh China, menyusul terjadinya kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Dari kesepakatan ini, China telah membanjiri Indonesia dengan produknya, mulai dari mesin, elektronika, buah-buahan, tekstil, hingga kancing baju. Di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, ditengarai produk tekstil China sudah menguasai lebih dari 47 persen. Alhasil, China berhasil menyudutkan produk lokal yang sebenarnya lebih berkualitas. Uniknya, China sendiri ternyata bukanlah negara yang mudah untuk menyerap produk-produk asing. Pasar China ternyata hanya menyumbang kurang dari 2 persen dari seluruh penjualan perusahaan sekaliber Pfizer, Astra-Zeneca, dan Buyer (Dewanto, 2010). Artinya, saya setuju dengan pendapat bahwa ternyata China tetap melakukan praktik proteksionisme sekalipun hendak menyatakan diri sebagai nagara demokratis. Praktik semacam ini, melalui perekonomian, tentu dapat diikuti negara-negara ASEAN dalam hal “menentukan” bahasa siapa yang dianggap “cocok” sebagai bahasa jati diri bangsa.
Oleh karena itu, menjadi benar pula jika dikatakan bahwa dalam hal berbahasa kita memang harus berprinsip “don’t think, but look” (meminjam istilah Wittgenstein). Artinya, jangan berpikir bagaimana bahasa seharusnya dibentuk, tetapi lihatlah secara kritis bagaimana bahasa membentuk dirinya. Oleh karena itu, percayalah bahwa bahasa (kata-kata, kalimat, dan ungkapan bahasa) lebih merupakan alat yang dapat dipakai dengan banyak cara ketimbang sekadar mematut-matutkannya dengan teori linguistik. Dengan demikian, secara kritis kita juga akan segera memahami bahwa ungkapan “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” tidak dapat dipahami lagi sebagai sekadar “bahasa Indonesia baku” versus “bahasa Indonesia tidak baku”. Kenyataannya, memang tidak mungkin dengan serta-merta kita menilai bahwa tata permainan bahasa SMS (contoh: “gw mo blng thx ke km”) telah merusak bahasa Indonesia, hanya karena bahasa SMS tidak mengandung unsur subjek, objek, dan predikat, sebagaimana dituntut dalam tata permainan bahasa tulis baku.
Mungkin, patut digarisbawahi, pada galibnya bahasa selalu terkungkung oleh “habitus” dan “pasar nya”. Istilah yang saya pinjam dari Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masya-rakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Namun, kecenderungan itu selalu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Dari hal ini, makin jelas bahwa memang dibutuhkan pemahaman kritis dalam memandang sosok bahasa Indonesia yang sama-sama kita cintai.
Sekali lagi, “don’t think, but look”. Merdeka!
Jakarta, Hari Sumpah Pemuda 2013