Sep 11, 2012 - Artikel    No Comments

SBY, Komunikasi Politik, dan Logos Orthos

 

SIKAP diam para menteri dalam menyikapi sejumlah permasalahan bangsa, pernah dikatakan oleh media massa sebagai ketidakloyalan para menteri terhadap Presiden SBY. Hal ini memantapkan dugaan bahwa komunikasi politik kita memang telah mengabaikan etos logos orthos-nya.

Dikatakan pula oleh media massa, ketidakloyalan tersebut dipicu oleh keterikatan para menteri pada partai asalnya. “Saya melihat banyak yang malu mengatakan yang benar itu benar, untuk mewartakan capaian kita yang diakui dunia. Sehingga, yang muncul sesuatu yang tak berimbang,” ujar SBY di China, akhir Maret, sebagaimana dikutip media massa.

Andai mau dicermati, sebenarnya SBY tidak sedang berkeluh-kesah. Ia justru sedang mengkritik para menterinya, namun oleh media massa di-frame menjadi keluh-kesah, sehingga mengesankan seolah sedang terjadi “perseteruan” di dalam kabinet. Model “memperseterukan” semacam ini sesungguhnya berakar dari paradigma positivisme yang hingga dewasa ini memang masih mengungkung kita. Paradigma ini, dipangkalkan melalui prinsip oposisi biner (binary opposition) tentang adanya dua hal yang bertentangan dan salah satunya selalu dianggap dominan. Dalam ungkapan lain, ukuran baik-buruk sesuatu dipersepsikan secara dominatif, sehingga yang dianggap baik harus lebih superior ketimbang yang dianggap buruk.

Tak heran jika “keluhan” SBY oleh media massa dicitrakan sebagai dua hal yang baik-buruk atau pro-kontra, yang pada pokoknya ingin menggarisbawahi adanya “perseteruan” antara presiden dan para menterinya.

Positivisme

Buat apa “perseteruan” antara presiden dan para menterinya digarisbawahi oleh media massa? Dalam perspektif kontemporer, media massa sesungguhnya memiliki pengaruh besar terhadap pembibitan dan penyemaian nilai-nilai etika komunikasi politik yang terkategori logos orthos (kebenaran yang tepat dan bernalar).

Kaum Sofis, misalnya, menekankan etos logos orthos untuk menggarisbawahi argumen-argumen yang logis di dalam retorika mereka dalam rangka menarik simpulan yang tepat, atau memperkuat suatu sudut pandang sehubungan dengan penyelesaian suatu kasus. Tapi, akibat cengkeraman logika komersial dewasa ini, etos logos orthos itu diubah oleh media massa. Argumentasi, misalnya, yang menjadi ciri utama di dalam komunikasi politik yang logos orthos, diubah menjadi opini yang berpanjang-lebar, yang sering kali hanya dengan meminjam atau mengutip pendapat mereka yang dianggap pakar, sehingga yang tersaji adalah sebuah tulisan jurnalistik yang membosankan dan kental diurapi paradigma positivisme. Dengan penegasan lain, media massa dewasa ini lebih mengedepankan unsur emosi daripada refleksinya, sehingga, itu tadi, “keluhan” SBY di-frame sebagai sekadar “perseteruan”.

Pengabaian terhadap komunikasi politik yang logos orthos, alias komunikasi politik yang hanya “memperseterukan” dua hal secara oposisi biner, setidaknya mengandaikan adanya masyarakat yang menderita dan masyarakat yang tidak menderita. Begitu pula, SBY (simbol “yang kuat”) diandaikan tidak boleh mengeluh di depan para menterinya (simbol “yang lemah”), meskipun ucapan-ucapan SBY tidak terkategori keluh-kesah. Jika presiden telah dikatakan berkeluh-kesah, logika komersial media massa ikut mengandaikan di situlah terletak nilai jualnya. Padahal, pengandaian yang positivistik semacam ini menyebabkan ideologi dan agama acap kehilangan nilai-nilai refleksinya dan kemudian terpinggirkan dari arena sosial. Itu sebabnya, jarang unjuk rasa di negeri ini yang dapat berlangsung dengan damai tanpa ceceran darah.

Positivisme yang dikembangkan dari pemikiran Comte (1798-1857) menekankan bahwa apa pun yang tertangkap pancaindera manusia adalah kebenaran. Positivisme menekankan adanya suatu narasi besar (dibaca: pendewaan suatu wacana), yang harus dibuktikan dengan hipotesis melalui narasai besar tersebut (biasanya berupa hitung-hitungan dan teori-teori) yang diperlakukan sebagai doktrin tak terbantahkan, karena dianggap pasti, benar, dan tepat. Itu sebabnya, positivisme juga dianggap sebagai filsafat sains, yang kemudian disebut sebagai “dewa humanis”, karena ideologi yang dikandungnya adalah “ideologi dunia objektif”, yang menekankan bahwa objek-objek fisik hadir langsung melalui data iderawi manusia tanpa harus melalui mental atau jiwa.

Di dalam ilmu pengetahuan, ideologi dunia objektif ala positivisme setidaknya mudah kita lihat melalui prinsip bahwa apa pun yang dianggap benar harus dapat diverifikasi secara empiris. Implikasinya, manusia tidak perlu mengenali konteks kehidupannya, mengingat realitas data inderawi manusia memang hanya ditujukan bagi lahirnya “kebenaran yang tunggal”. Apa yang kita lihat adalah realitas seperti apa adanya alias hanya ada realitas tunggal. Alhasil, apa yang kita baca di media massa juga diandaikan oleh wartawannya sebagai realitas yang benar dan cuma satu-satunya.

Jadi, tidak mengherankan jika dalam mengungkapkan “keluhan” SBY terhadap sikap diam para menterinya, media massa cenderung membuat judul berita yang analitik positivistik, misalnya “menteri tidak loyal”. Padahal, dari konteks SBY, sikap diam tidak serta-merta dapat diidentikkan dengan sikap tidak loyal. Dalam mengungkapkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM, media massa juga membuat judul berita yang impresif positivistik, seperti “naikkan BBM opsi terakhir”. Kita tentu tahu tepat, menentukan kenaikan harga suatu produk bukan tergantung pilihan-pilihannya, melainkan harus berpijak dari hitungan-hitungannya.

Selepas karut-marut soal BBM itu, secara positivistik media massa bahkan masih gemar mem-frame (melalui narasumbernya) bahwa gejolak suhu politik kita belakangan ini dipicu oleh desain sistem dan institusi politik yang keliru. Boleh kita cermati, benarkah gejolak politik harus “dimuarakan” hanya sekadar pada desain sistem dan institusi politik?

Sesat pikir

Pendewaan suatu wacana, atau pengabaian terhadap komunikasi politik yang logos orthos, terlebih jika hanya bersembunyi di balik masalah ekonomi dan teknologi, menurut saya mencerminkan sesat pikir.

Di dalam komunikasi politik bangsa kita belakangan ini, celakanya, sesat pikir itu terjadi secara terstruktur. Mengingat konsep aktivitas komunikasi selalu berkelindan dengan bahasa, dugaan saya kita memang sedang kehilangan proses saling memahami. Proses ini menjadi penting, karena di dalamnya selalu terikut aspek komunikasi etis, yakni pembolehan interpretasi sejauh tidak memperbodoh atau memerdaya orang lain. Dalam ungkapan lain, komunikasi politik yang logos orthos secara emansipatoris mengizinkan adanya situasi revisi, relativisasi, argumentasi, dan koordinasi di antara mereka yang terlibat dalam rangka menjembatani (bukan menghapus) perbedaan.

Komunikasi etis juga berperan amat penting dalam menentukan sistem acuan media, sehingga pembaca media massa kita benar-benar dapat melepaskan kungkungannya dari paradigma usang positivisme. #

Oleh Dr. Wahyu Wibowo, dimuat dalam Jurnal Nasional, April 2012

 

 

 

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*