Sep 11, 2012 - Artikel    No Comments

Politisi Muda dalam Penerawangan Eudaimonia

 

 

CITRA  buruk politisi muda kita yang terlibat korupsi sedang menjadi sorotan media massa. Ada apakah dengan mereka ini?

Dalam semangat “setitik nila merusak susu sebelanga”, disebutlah nama-nama Angie (lahir 1977), Nazaruddin (lahir 1978), dan Nurhayati (lahir 1981). Menurut Wasekjen PDI-P Basarah, sebagaimana dikutip surat kabar, kasus korupsi yang melibatkan mereka itu merusak citra politisi muda secara luas. Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi PKB Haramain mengatakan, tipisnya kesabaran adalah problem anak muda sekarang, sehingga mendorong untuk lebih cepat mendapat kekuasaan serta kekayaan. Ia berharap, partai politik dapat membenahi sistem perekrutan dan kaderisasinya.

Apakah ulah “gemar” korupsi politisi muda kita hanya karena kelemahan pada sistem perekrutan dan kaderisasi partai? Peneropongan melalui perspektif eudaimonia agaknya dapat menjawabnya lebih jelas.

Kebahagiaan

Cobalah kembali mengingat pemikiran Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (makna judul karya ini, ajaran etika Aristoteles yang dituliskan kembali oleh Nicomachus).

Dinyatakan, kebaikan moral adalah tujuan segala perbuatan manusia. Memang diakuinya bahwa kebanyakan tujuan mempunyai pelbagai tujuan lain, sehingga kerap melahirkan serangkaian tujuan lain lagi. Tapi, bagi Aristoteles, kebaikan moral merupakan tujuan terakhir semua perbuatan kita. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa Angie adalah mantan Puteri Indonesia yang selama ini telah menampilkan kinerja baiknya sebagai politisi Partai Demokrat, sehingga keterlibatannya dalam kasus korupsi tidak perlu dibesar-besarkan, misalnya, kita dianggap mengabaikan “tujuan akhir” perbuatan Angie. Artinya, seorang politisi muda yang bereputasi baik tidak serta-merta berkorelasi dengan kebaikan moralnya sebagai manusia. Menurut Aristoteles, kebaikan moral disebut baik karena dirinya sendiri, bukan karena suatu faktor lain di luar dirinya.

Kebaikan moral menampak dalam eudaimonia (kebahagiaan). Dewasa ini, kebahagiaan pasti dimaknai amat subjektif sebagai “senang”, “riang”, atau “gembira”, mengingat tuntutan kehidupan konsumtif dan hedonistik. Itu sebabnya, andai melihat tayangan televisi seolah menjadi wajar jika remaja enam belas tahun oleh ayahnya diberi kado ulang tahun mobil mewah. Pihak televisi pun tak perlu berpayah-payah bersikap kritis ketika menayangkan wawancara dengan si ayah itu perihal kadonya, “Ya, kebahagiaan saya adalah kebahagiaan anak saya.” Ketika memberitakan kasus korupsi para politisi muda kita, media massa juga cukup hanya menggarisbawahi bahwa para politisi muda kita itu semula berbahagia, yakni hidup mewah, bergelimang harta dan kekuasaan, namun kini harus mendekam di sel.

Padahal, menurut Aristoteles, bahagia atau kebahagiaan adalah suatu keadaan yang objektif tentang kebaikan moral. Kekuasaan dan hidup mewah memang bermanfaat, namun itu bukanlah kebagiaan yang sebenarnya. Jika manusia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya sebagai manusia melalui akal budinya, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Cara mewujudkannya, menurut Aristoteles, jika manusia berani untuk terus-menerus mengarahkan sikap moralnya dalam berperilaku. Sikap adalah suatu keadaan yang tetap, yang oleh karena itu mengandung suatu kualitas hidup yang disebut keutamaan hidup, yang membuat orang berperilaku bukan karena kebetulan (berkuasa) dan mumpung (bergelimang harta). Sikap ini memang ibarat kita sedang disodori buah simalakama. Tapi, menurut Aristoteles, itulah jalan tengah dari dua ekstrem dalam rangka meraih keutamaan hidup. Artinya, ketika seorang politisi muda yang kebetulan sedang memegang kekuasaan (ekstrem pertama) dan mumpung sedang bergelimang harta (ekstrem kedua), mampukah ia memilih “jalan tengah” untuk tidak korupsi? Dengan demikian, keutamaan hidup adalah perilaku yang dijalankan manusia bertalian dengan kesadaran dan kebebasan etisnya.

Kita juga mesti memahami bahwa perilaku apa pun yang dianggap baik tidak serta-merta menjadikan pelakunya disebut bijaksana (bermoral). Seorang politisi muda, yang dipuji-puji media massa karena dianggap memiliki wawasan luas tentang politik, hukum, dan ekonomi, umpamanya, tidak serta-merta dapat dikatakan bijaksana. Ia hanya disebut baru memiliki kesadaran praktis atas bidangnya. Dalam ucapan lain, ia belum berpengalaman karena masih muda, dan oleh karena itu ia juga dikatakan belum bijaksana. Pasalnya, objek politik, hukum, dan ekonomi (dan juga ilmu formal lainnya) merupakan hasil abstraksi, sedangkan kebijaksanaan pasti datang dari pengalaman. Berpijak dari hal ini, tidak mengherankan jika Aristoteles mengatakan bahwa dunia politik janganlah diberikan kepada mereka yang masih muda (apalagi muda usia).

Kebijaksanaan dengan demikian bertentangan dengan kecerdasan. Jika kecerdasaan hanya menyangkut bagaimana menangkap pengertian dan istilah yang terbatas, kebijaksanaan justru bertalian erat dengan seluruh fakta yang muncul karena penginderaan (pengalaman). Makna penginderaan bukanlah menangkap suatu objek dengan pancaindera, melainkan memahami objek tersebut sebagai sesuatu yang ultimate. Itu sebabnya, memahami dunia politik sebagai jalan etis mensejahterakan rakyat adalah ultimate, daripada sekadar menganggap sebagai jalan untuk memperkaya diri. Menjadi kian jelas, mengapa Aristoteles “melarang” anak-anak muda berpolitik.

Pengalaman

Lalu, kapan anak muda boleh berpolitik? Kalau menilik konsep estetika sosial, boleh saja kita mempercayai pendapat Baudrillard bahwa di dalam kehidupan dewasa ini ada semacam rasa ingin tahu yang absurd, yang terkadang sengaja dibentuk oleh media massa untuk dijadikan komoditas.

Dampaknya, rasa ingin tahu absurd masyarakat terhadap kiprah para politisi muda kita cenderung merupakan konstruksi media massa belaka. Tak heran jika misalnya media massa mempertalikan kiprah politik para politisi muda itu hanya dengan kehidupan pribadi mereka, terlebih jika mereka terlibat kasus korupsi. Hal ini kiranya dapat dibenarkan, sebab bukan kesadaran individu yang menentukan keberadaannya, melainkan konstruksi media massa yang justru menentukan kesadaran individu.

Jadi, sebaiknya para politisi muda kita mencari pengalaman etis terlebih dahulu, baru terjun ke dunia politik sesungguhnya. Hal ini mungkin bermanfaat bagi politisi muda yang gemar dengan model karbitan atau model kutu loncat. #

Oleh Dr. Wahyu Wibowo, dimuat dalam Jurnas, Mei 2012.

 

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*