Sep 11, 2012 - Artikel    No Comments

Karya Sastra sebagai Pendorong Proses Perubahan Sosial?


”BUKANLAH kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka”. Kutipan pendapat Marx dan Engels (1859) ini mungkin berguna untuk diingat lagi, jika ingin mempertanyakan sejauh mana karya sastra dapat berperan sebagai pendorong proses perubahan sosial.

Masalahnya, ungkapan bahasa karya sastra pada hakikatnya mencerminkan suatu bentuk tata permainan bahasa tersendiri yang khas, yang penuh berlumuran simbol, persepsi, imajinasi, dan ideologi, yang sudah tentu cerminan suatu nilai kehidupan yang diyakini masyarakat pembacanya, yang bahkan sering kali lebih mewujud sebagai bentuk kecendekiaan sastrawannya daripada fungsi pragmatiknya sebagai pendorong proses perubahan sosial. Kenyataan ini setidaknya dapat kita tengok dalam mata pelajaran Sejarah Kesusateraan, terutama yang diajarkan di sekolah formal kita.

Bapak dan ibu guru sastra kita, misalnya, melalui bacaan-bacaan mereka selalu menegaskan bahwa tema kawin paksa yang mewarnai roman-roman Indonesia 1920-an – seperti terlukis dalam Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Karam dalam Gelombang Percintaan (Abas Soetan Pamoentjak), Darah Muda (Adinegoro), atau Salah Asuhan (Abdul Muis) – merupakan kritik tak langsung kepada adat dan kebiasaan buruk yang telah ketinggalan zaman. Simbolisasi, persepsi, imajinasi, dan ideologi para pengarang Indonesia 1920-an ini, oleh bapak dan ibu guru sastra kita, tanpa dicermati secara kritis, direduksi ke dalam pertentangan antara tradisionalisme dan modernisme.

Oposisi biner

Alhasil, bapak dan ibu guru sastra kita juga menegaskan bahwa roman-roman Indonesia 1920-an selain merupakan cermin sosial juga “memicu” proses perubahan sosial, di antaranya melalui kiprah Abdul Muis yang aktif sebagai pengurus Syarikat Islam di Padang. Ketika dibuang ke Jawa Barat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, akibat aktivitas politiknya itu, Abdul Muis diandaikan (ditafsirkan?) mengalami perubahan (sosial) karena dikatakan hidup sebagai penulis di Priangan, mengawini seorang gadis Priangan, dan menetap di Priangan hingga wafatnya.

Mempertentangkan secara oposisi biner antara nilai-nilai tradisional dan modern; antara kolonialisme dan nasionalisme; dan juga antara nasionalisme dan globalisme dewasa ini, andai hendak dicemati memang masih menjadi paradigma yang digemari oleh masyarakat kita. Paradigma ini, sebagaimana diketahui, memang berdampak tertentu mengingat kehidupan hanya dilihat berdasarkan dikotomi: hitam-putih, benar-salah, tinggi-rendah, atau baik-buruk. Dalam ungkapan lain, paradigma tersebut memunculkan suatu “rezim kebenaran”, berupa pelbagai tipe wacana yang dipaksakan untuk difungsikan sebagai kebenaran umum.

Di dalam konteks kesusasteraan, itu tadi, muncul pengandaian seolah-olah tema karya sastra Indonesia 1920-an terbitan Balai Pustaka adalah kawin paksa (catatan: padahal, perhatikanlah, Sitti Nurbaja menikahi Datuk Maringgih bukan karena dipaksa – WW), dan sementara itu karya sastra di luar terbitan Balai Pustaka dikatakan bacaan liar. Begitu pula, seolah-olah karya sastra dapat mendorong proses perubahan sosial (dengan mencontohkan kiprah Abdul Muis di dalam pergerakan politik dan mengaitkannya dengan gelora semangat Kemerdekaan Indonesia). Juga, seolah-olah karya sastra tidak perlu dilihat melalui kesinambungan antarperiodenya (terbukti, sastra periode 1930-an selalu dikatakan muncul untuk “mengkritik” sastra periode 1920-an). Padahal, berbicara mengenai kesusasteraan Indonesia sejak 1920-an hingga dewasa ini adalah berbicara mengenai nilai-nilai tradisi penulisan sastra Indonesia itu sendiri.

Tidak bisa tidak, paradigma oposisi biner tersebut memang bertalian dengan pihak penerbit sehubungan dengan popularitas nama sastrawannya. Andai ketika itu Pemerintah Hindia Belanda tidak memiliki “budi baik” untuk mendirikan Balai Pustaka, kita tentu sulit membayangkan apa yang akan dialami oleh Abdul Muis. Di dalam perspektif bisnis dewasa ini, kita tentu juga sulit membayangkan mengapa novel-novel yang “meledak” di pasaran, sekalipun karena diperhebat oleh media massa melalui iklan-iklan mereka, justru kemudian lebih mengangkat popularitas penulisnya daripada novelnya sendiri. Bahkan, dituntut oleh perkembangan teknologi media, di antara novel tersebut diubah-bentuk menjadi film layar lebar yang pada gilirannya juga “meledak” di pasaran. Padahal, dari segi penyajiannya film tersebut tidak sebaik novelnya, kecuali karena nama kondang para artisnya. Temanya pun, selain tidak mengandung proses perubahan sosial, juga tidak jauh dari tema yang pernah ditulis sastrawan Indonesia zaman Balai Pustaka: patah hati, pertentangan antara si miskin dan si kaya, atau pertentangan keyakinan dalam rangka mempertahankan ideologi tertentu.

Andai yang dimaksud perubahan sosial bertalian dengan tema-tema yang telah saya sebutkan itu, agaknya kita harus menerimanya dengan catatan. Apalagi, jika tema-tema tersebut dihubungkan dengan industri (dibaca: ekonomi), yang di dalam sosiologi sastra memang digarisbawahi. Seperti diketahui umum, sosiologi sastra memumpun pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu masyarakat tertentu, bagaimana buku-buku sastra diterbitkan, bagaimana komposisi sosial terhadap pengarangnya, bagaimana tingkat keterbacaannya terhadap masyarakat, dan bagaimana teks-teks sastra relevan dengan sosiologi. Itu sebabnya, paradigma sosiologi sastra semacam ini harus disikapi secara kritis, karena pada dasarnya karya sastra tidak akan menciptakan perubahan sosial, mengingat karya sastra yang dapat dianggap besar adalah karya sastra yang sepanjang masa dapat melampaui kondisi-kondisi historisnya. Itu sebabnya pula, tadi saya kutipkan ungkapan bahwa bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran.

Kehidupan yang menentukan kesadaran, atau keberadaan sosial yang menentukan kesadaran manusia, di antaranya adalah bagaimana sikap kritis kita terhadap hegemoni paradigma oposisi biner. Implikasi dari hal ini, sekalipun industri (dibaca: ekonomi) dewasa ini masih dianggap “penguasa kehidupan”, tidak berarti sastra, kepercayaan, mitos, atau kebudayaan harus dijadikan urusan nomor dua. Fakta membuktikan, tumbuhnya tradisi penulisan dalam kesesusasteraan Indonesia modern bukan dipicu karena faktor industri (dibaca: ekonomi), melainkan karena ideologi dan mufakat. Industri mungkin menjadi dasarnya, namun ideologi dan mufakat adalah praktik nyatanya.

Ideologi dan mufakat bahkan dinyatakan sebagai talking care (terapi wicara) oleh Althusser (1991), mengingat adanya peluang dialog terbuka antara penulis dan pembacanya sehubungan dengan interpretasi, hermeneutika, dan dekonstruksi. Jauh sebelumnya, hal itu ternyata telah disebut pula dalam ungkapan “don’t think, but look” oleh Wittgenstein (1953), yakni cara kita melihat bagaimana suatu ungkapan bahasa ketika datang pada kita, dan sejauh mana kecendekiaan ungkapan bahasa tersebut dalam memengaruhi persepsi kita tentang hidup.

Artinya, buat apa lagi kita mengutak-atik ihwal yang sudah jelas, sementara ada persoalan lain yang lebih penting.

Abad Kesusasteraan Indonesia

Selaras dengan sejarah pertumbuhan tradisi penulisan dalam kesesusasteraan Indonesia modern, saya lebih setuju jika sastrawan Indonesia disebut sebagai kelompok intelektual, daripada menyebutnya sebagai agen perubahan sosial. Apalagi, menyebut mereka sebagai subjek-subjek otonom.

Sebagai kelompok intelektual, sastrawan dengan demikian tidak mungkin mengabaikan tugas-tugas utamanya sebagai seorang intelektual, yakni (1) menyadari adanya kebebasan berkarya yang dilambari oleh tanggung jawab etis, dan (2) menyadari otoritasnya untuk melakukan refleksi terhadap realitas yang menjadi konteks hidupnya. Kesadaran ini patut digarisbawahi, mengingat karya sastra tidak tiba-tiba jatuh dari langit. Karya sastra pada hakikatnya adalah pengejawantahan persepsi sastrawannya dalam memandang konteks hidupnya, tentunya termasuk bagaimana ia merelevansikan konteks hidupnya itu dengan realitas yang menjadi ideologi sosial yang menyemangati suatu zaman. Dengan penegasan lain, karya sastra adalah suatu kompleksitas kehidupan, yang untuk memahaminya harus melihat hubungan fenomenologisnya dengan dunia ideologi penulisnya, sehingga kurang tepat jika hanya melihat temanya, alurnya, atau penokohannya semata.

Kelompok intelektual sastrawan tersebut, melalui kompetensinya masing-masing  dapat saling berbagi pengetahuan dan juga dapat saling membela kaum sastrawan lain yang terdominasi (apa pun ini maknanya), dengan satu tujuan: menjadikan abad ini sebagai Abad Kesusasteraan Indonesia; abad yang menjadikan bangsa Indonesia menjadi manusia yang etis dan estetis di tengah pergaulan global, mengingat dewasa ini kehidupan manusia seolah-olah “berhenti” hanya di seputar masalah ekonomi dan teknologi. Hal ini, kiranya merupakan praktik suatu “rezim kebenaran”, yang oleh karena itu harus dihindarkan jauh-jauh, karena adanya upaya memperjuangkan suatu tipe wacana yang dipaksakan sebagai kebenaran umum. Itu sebabnya, tanpa menyadari secara kritis hal tersebut, sastrawan Indonesia akan selalu dikatakan ibarat “penjual kecap” keliling, tak ubahnya para anggota parlemen kita belakangan ini.

Menjadi benar, ungkapan “bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka” agaknya setara dengan ungkapan “don’t think, but look”. Kedua ungkapan ini hemat saya ternyata juga berkelindan dengan “nyanyian” Amir Hamzah di dalam Setanggi Timur (1959) berikut ini.

Mudaku berguru pada mereka berupa budiman/Berahi kuminum segala ilmunya/Kudapat putusan segala pengetahuan:/Tibanya laksana embun, terbangnya mengimbang angin

Kota Depok, 8 Maret 2012

Dr. Wahyu Wibowo adalah dosen Filsafat Bahasa pada Universitas Nasional, Jakarta; buku puisi mutakhirnya, Pangeran Katak dan Sang Puteri (Pustaka Spirit, Jakarta, 2011; bersama Hendry Ch. Bangun & Frieda Amran); buku ilmiah terbarunya, Langkah Kritis dan Kontemporer Menulis Buku Ajar Perguruan Tinggi (Bidik-Phronesis Publishing, Jakarta, 2012); makalah ini disampaikan pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia II, Puncak, Bogor, 23-24 Maret 2012.

 

 

Got anything to say? Go ahead and leave a comment!

*