Kekerasan Simbolik di Institusi Pendidikan Kita
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
Sekolah kita, merunuti pemberitaan media massa, belakangan ini menjadi wadah kekerasan daripada wadah pendidikan. Memang tidak semua sekolah kita menampilkan kekerasan seperti itu, tetapi itulah bukti bahwa pepatah “gara-gara nila setitik rusaklah susu sebelanga” memang benar adanya.
“Nila setitik” yang merusak sekolah se-Indonesia itu, andai dicermati melalui pemberitaan media massa, adalah kasus JIS (Jakarta International School). Gara-gara kasus JIS, semua sekolah yang berlabel internasional kini sedang gerah menanti diperiksa aparat. Gara-gara kasus JIS pula, orang-orang bule yang berniat menjadi guru di Indonesia kini sedang galau, siapa tahu dicurigai sebagai teroris.
“Nila setitik” lainnya, tewasnya seorang taruna STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) di Cilincing, Jakarta Utara, akibat dianiaya tujuh seniornya, pada 25 April 2014. Dimas Dikita Handoko (20), si korban itu, menurut Kapolres Jakarta Utara, tewas dengan pendarahan di otak akibat dipukul benda tumpul. Masih menurut Kapolres, tujuh tersangka pelaku penganiayaan, yang usianya antara 19-21 tahun itu, merupakan kakak kelas/tingkat Handoko (Kompas, 27/4/14; h.4). Gara-gara tewasnya Handoko, ingatan masyarakat kembali ke kekerasan serupa yang pernah (sering?) terjadi di sekolah-sekolah kedinasan, terutama yang masih girang mendewakan militerisme. Padahal, mendewakan itu tidak sama dengan dewa itu sendiri. Namun, masyarakat tampaknya mulai khawatir untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah “dewa” semacam itu.
Dua bentuk kekerasan yang niscaya
Baik sekolah “bule” maupun sekolah “dewa”, yang belakangan sedang menjadi setitik nila dalam keruntuhan citra institusi pendidikan di Indonesia, memang bisa menyentakkan kesadaran kita bahwa kekerasan tersebut adalah niscaya.
Saya katakan niscaya, karena kekerasan di sekolah boleh berbentuk fisik boleh juga berbentuk simbolik. Kekerasan fisik, tentu kita tahu, berupa pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan pengajar terhadap peserta ajarnya; atau, kekerasan yang mewujud akibat tawuran antar-peserta ajar. Sementara itu, kekerasan simbolik lebih berupa tindak penguasaan yang dilakukan pengajar terhadap peserta ajarnya melalui bahasa.
Istilah “kekerasan simbolik” itu sendiri dilansir oleh Bourdieu. Kekerasan jenis ini memang sulit dilihat wujudnya, meskipun mudah untuk dicermati. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik dijadikan mekanisme oleh kelompok elite dalam rangka mendominasi struktur sosial, terutama kelas bawah, dalam rangka memaksakan suatu habitus berupa ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup. Masih menurut Bourdieu, dampak kekerasan simbolik justru lebih hebat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik cenderung menguasai/memaksa dan kemudian berkelindan dengan semua bentuk tindakan, struktur pengetahuan, dan struktur kesadaran individual. Salah satu mekanismenya, ya itu tadi, melalui sekolah alias institusi pendidikan.
Melalui sekolah, sekadar contoh tentang kekerasan simbolik, peserta ajar diwajibkan memakai seragam. Dalam habitus para elite di sekolah itu, ideologi, kebiasaan, gaya hidup, dan status sosial mereka adalah seragam (sama-sama berposisi elite, sama-sama merasa memiliki intelektualitas tinggi, dan sama-sama berkuasa atas modal). Oleh karena itu, agar mirip dengan habitus mereka, para peserta ajar yang berada di bawah kekuasaan mereka itu diwajibkan memakai seragam (juga kewajiban-kewajiban lainnya). Kewajiban-kewajiban ini, tentu saja, disampaikan melalui bahasa (pengumuman, keputusan, arahan, perintah, dst.), berpijak pada ideologi, kebiasaan, gaya hidup, dan status sosial tersebut, sehingga muncullah kekerasan yang disebut kekerasan simbolik.
Lalu, mengapa bahasa? Bahasa adalah alat yang paling efektif untuk digunakan untuk melaksanakan kekerasan simbolik, karena menurut saya di dalam kesatuan tindak tutur (tindak berbahasa) selalu saja terikut unsur lokusi (niat luhur suatu ungkapan bahasa), ilokusi (langkah praksis suatu ungkapan bahasa), dan perlokusi (daya respons suatu ungkapan bahasa bagi mitra tuturnya). Artinya, unsur perlokusi yang mencuat dari tindak tutur para elite sekolah itulah yang pertama-tama dan utama memunculkan kekerasan simbolik, mungkin akibat para elite sekolah itu (demi tujuan tertentu) sengaja “memelintir” unsur lokusi dan ilokusi mereka. Sekadar contoh, kembali ke contoh pemakaian seragam, bisa saja para elite sekolah tersebut mengatakan secara lokutif kepada para peserta ajarnya bahwa seragam adalah identitas yang agung dan hebat bagi sekolah (padahal, maksudnya adalah “Wahai, para peserta ajarku, pakailah seragam sebagaimana kami juga memakainya!”). Secara ilokutif, para elite sekolah tersebut memang terlihat memakai seragam, meskipun berbeda corak, berbeda model, dan berbeda harga dengan seragam yang dipakai para peserta ajarnya. Akan tetapi, kita boleh berhati-hati, “seragam” yang dimaksudkan oleh mereka itu bisa jadi bermakna sebagai berikut: sama-sama menggunakan kendaraan dinas yang mewah dengan alasan prestise, sama-sama disewakan apartemen mewah dengan alasan agar dekat dengan sekolah, dan sama-sama diberi uang operasional per bulan dengan alasan agar tidak memalukan jika menjamu tamu. Alhasil, muncullah perlokutifme di kalangan peserta ajar bahwa memakai seragam itu penting dan perlu. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, pelbagai fasilitas mewah yang melumuri kehidupan sehari-hari para elite tersebut justru menimbulkan perlokutifme yang jauh lebih dahsyat: jarak antara diri mereka itu dan para peserta ajar kian jauh (bahkan, mungkin juga dengan para pengajar lain di situ yang merasa tidak memeroleh keadilan). Maka, kekerasan simbolik pun terjadi.
Lalu, apakah antara kekerasan simbolik dan kekerasan fisik saling berkorelasi? Penelitian sosiologi memang kerap mengatakan bahwa kemiskinan yang diderita peserta ajar (dibaca: kekerasan fisik) berkorelasi dengan kemunculan hinaan dan cercaan (dibaca: kekerasan simbolik) terhadap diri si peserta ajar itu, yang oleh penelitian psikologi kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa oleh karena itu muncul dorongan psikis di dalam diri si peserta ajar tersebut untuk berperilaku brutal. Bahkan, ada penelitian yang menyimpulkan bahwa tidak adanya tempat/lapangan bermain yang memadai buat remaja di Jakarta menyebabkan remaja Jakarta senang tawuran. Kalau penelitian ini dibaca oleh Gubernur DKI Jokowi, saya yakin ia akan tertawa terbahak-bahak.
Saya patut menegaskan, kedua jenis kekerasan itu tidak berkorelasi secara positif. Artinya, jangan buru-buru misalnya menyimpulkan bahwa kemiskinan berkorelasi positif dengan intelektualitas (anak miskin “pasti” tidak intelek); atau, menyimpulkan bahwa tawuran antar-peserta ajar di kota-kota besar akibat sudah sempitnya lahan di sana. Fakta lain membuktikan, serombongan peserta ajar sebuah SMA di Depok yang habis mengikuti ujian akhir nasional (kemarin-kemarin ini) diberitakan sengaja menantang peserta ajar SMA tetangganya untuk tawuran. Kita mungkin tahu, Depok masih memiliki lapangan bermain yang luas. Depok juga masih layak untuk menjadi kota pelajar. Lalu, mengapa ada perilaku peserta ajar seperti itu?
Sekolah dan kandang kambing
Kembali ke kasus sekolah “bule” dan sekolah “dewa” itu tadi, ternyata kekerasan simbolik telah tumbuh dengan suburnya di institusi pendidikan kita selama ini. Korbannya, baik para peserta ajar itu sendiri maupun para pengajar yang hidupnya oleh elitenya (pimpinannya) tidak disejahterakan.
Ungkapan bahasa tentang “hebatnya pendidikan Barat”, contohnya, adalah ungkapan lokutif tentang “kurang hebatnya pendidikan Indonesia”, yang diiringi oleh ungkapan iloktif “oleh karena itu wajar saja jika biayanya amat mahal, karena diselenggarakan di Indonesia”, dan kemudian menimbulkan respons perlokutif “saya orang kaya, maka itu anak saya harus saya sekolahkan di sekolah bule itu”. Lalu, terjadilah kekerasan simbolik, anak-anak lulusan sekolah bule itu, sebagaimana diberitakan, tidak paham Pancasila dan bahkan tidak mahir menyanyikan Indonesia Raya. Lepas dari benar-tidaknya sekolah bule lebih hebat daripada sekolah Indonesia, tentulah yang disebut manusia itu mesti memiliki identitas budaya yang jelas. Andai tidak, manusia tersebut ibarat manusia perahu yang sedang mencari-cari jati dirinya.
Ungkapan bahasa perihal “senior boleh memelonco adik-adik kelasnya”, contoh selanjutnya, adalah ungkapan lokutif tentang “sejak zaman Penjajahan Belanda, senior di sekolah adalah mereka yang harus dihormati, dilayani, dan dituruti, walaupun mentalnya bobrok”, yang diteruskan oleh ungkapan ilokutif “itu sebabnya, tradisi Penjajah Belanda di sekolah ini harus dilestarikan melalui sistem militerisme, agar peserta ajar berdisiplin dan kuat jiwa raga”, dan kemudian memunculkan respons perlokutif, “menjadi peserta ajar di sekolah itu amat membanggakan, karena memakai sistem militerisme”. Padahal, terjadilah kekerasan simbolik, yang dalam kasus di sekolah “dewa” itu, bercampur sekaligus dengan kekerasan fisik bahwa militerisme di sekolah itu ternyata dimaknai sebagai tindak seolah-olah, yakni seolah-olah disiplin, seolah-olah kuat jiwa raga, dan seolah-olah menewaskan manusia itu perkara sepele yang boleh terjadi terus berulang-ulang.
Kekerasan simbolik di institusi pendidikan, dalam wujud yang lebih halus, selain peraturan tentang pemakaian seragam sekolah, juga muncul melalui standardisasi kurikulum, melalui buku wajib, dan juga melalui kewajiban menulis artikel ilmiah terutama bagi para pengajar tingkat sekolah menengah. Kurikulum yang distandarkan (terutama di perguruan tinggi) memang keharusan yang sifatnya aksiologis dalam hal berbangsa dan bernegara, namun tanpa sosialisasi yang epistemologis (oleh pihak yang paling berwenang) hanya akan melahirkan dosen-dosen dan ketua-ketua prodi yang ibarat kerbau dicocok hidungnya. Begitu pula, mewajibkan guru SMA menulis artikel ilmiah adalah wujud lain dari upaya kita dalam hal mendokumentasikan, menyertifikasikan, dan menyebarluaskan pikiran guru-guru tersebut. Akan tetapi, mewajibkan tanpa diiringi tindak praksis semacam workshop yang digelar secara sistemik dan epistemologis (oleh pihak yang paling berwenang), hanya ibarat berteriak-teriak seorang diri di tengah hutan lebat. Tak heran, jika bermunculan kasus penjiplakan atau plagiarisme.
Menjadi benar hidup kita memang telah ditelikung oleh kekerasan simbolik. Selain di institusi pendidikan, cobalah simak berita surat kabar dan tayangan TV. Informasi mengenai artis yang memiliki pesawat jet pribadi, gaya hidup artis yang ditayangkan berulang-ulang, sekadar contoh, adalah wujud kekerasan simbolik terhadap rakyat kebanyakan. Hal ini boleh saja diperdebatkan, namun faktanya tayangan semacam itu, dari perspektif etika pers, menurut saya adalah tayangan sampah yang dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan simbolik.
Oleh karena itu, kalau tidak bisa berharap dari surat kabar dan TV, kita hanya bisa berharap dari institusi pendidikan. Maksud saya, kekerasan simbolik memang seharusnya tidak perlu terjadi di sekolah/kampus, kalau saja para elitenya (pimpinanya) memahami hakikat masalah ini. Artinya, kalau masih juga terjadi kekerasan simbolik, apalagi kekerasan fisik, sekolah/kampus itu menurut saya sekadar kandang kambing yang diberi nama sekolah/kampus. Bukankah dari sebuah kandang kambing tidak pernah muncul peradaban?
Depok, 28 April 2014
seburuk-buruknya saya namun saya ikut sedih dan ikut prihatin lihat situasi kondisi Pendidikan di Indonesia “KEKERASAN” sepertinya sudah jadi budaya pendidikan di Indonesia,bukan lagi Tindakan Indisipliner tapi sudah mengarah ke Pendidikan KEKERASAN menyedihkan? mau jadi apa Indonesia ini?GudangPoker.com Situs Judi Poker Online Terbaik Terpercaya