Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI): Sebuah Catatan Kritis
Dr. Wahyu Wibowo
Berdebat, sebagai salah satu sub dalam kompetensi berbahasa, tak pelak menjadi tuntutan yang nisaya bagi mahasiswa zaman now. Khususnya, sehubungan dengan peningkatan berpikir kritis mahasiswa sebagai insan akademik dalam menatap masa depannya.
Itu sebabnya, program Lomba Debat berbahasa Inggris untuk mahasiswa, yang sudah “puluhan tahun” dikenal dalam istilah NUDC (National University Debating Championship), yang digelar oleh Direktorat Pembelajaran Mahasiswa (Ditbelmawa), Kemristekdikti, patut diberi apresiasi.
Pada 15-21 Agustus 2018, NUDC tingkat nasional digelar di Universitas Negeri Malang, Jatim, dengan penampilan 112 kelompok debat yang mewakili perguruan tinggi (PT) se-Indonesia. Yang istimewa, gelar NUDC itu diiringi (ditumpangi?) oleh gelar Lomba Debat berbahasa Indonesia, yang dikenal dalam istilah KDMI (Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia). Lomba ini, yang pada 2018 baru pertama kali digelar, dan diikuti “hanya” oleh 14 kelompok debat, menurut Ditbelmawa ditujukan dalam rangka pematangan persiapan gelar KDMI pada tahun-tahun ke depan.
Melihat gelar UNDC begitu gemerlap, dan melihat KDMI “sekadar” ditumpangkan pada gelar NUDC, sebagaimana dikesankan dalam pemberitaan Kompas (24/8/2018; h.11), tentunya diperlukan catatan kritis. Pasalnya, KDMI yang berbasis pada Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Artinya, panitia NUDC tidak bisa dengan serta-merta memaksakan model dan tata cara NUDC ke dalam KDMI.
Hal di atas ini hendaknya patut digarisbawahi. Apalagi, dalam gelar KDMI tersebut saya tidak hanya menjadi saksi mata, tetapi juga berperan sebagai salah seorang juri.
Berpikir kritis
Visi UNDC dan KDMI, menurut Ditbelmawa, meningkatkan daya saing mahasiswa dan lulusan PT, sedangkan misinya mempertajam kemampuan berpikir kritis untuk menyampaikan pendapat secara logis, analitis, dan sistematis. Pendapat yang logis, analitis, dan sistematis, menurut Ditbelmawa berposisi strategis untuk mempersiapkan modal intelektual bonus demograsi bangsa.
Terkait dengan gelar KDMI, visi dan misi tersebut tentu harus diberi catatan kritis. Sebagai catatan, berpikir kritis selalu bertalian dengan bahasa karena hanya dengan bahasa kita dapat melakukan refleksi kritis, yaitu refleksi yang hati-hati, jeli, cermat, saksama, akurat, dan telaten. Berpikir kritis dengan demikian menghalangi kita agar kita tidak melakukan sesat pikir. Mungkin sudah diketahui, sesat pikir berkelindan dengan pendapat yang (1) tidak logis alias pendapat yang tidak sesuai dengan asas empat kebenaran ilmiah, (2) tidak analitis atau kurang mampu memilah, menguraikan, dan mengelompokkan sesuatu berdasarkan konteksnya, dan (3) tidak sistematis yaitu kurang piawai merumuskan sesuatu secara logis, menyeluruh, terpadu, kontekstual, dan teratur.
Dari hal di atas, benarlah, memang tidak dapat dipungkiri bahwa berpikir kritis selalu berwujud kemampuan berbahasa. Kemampuan ini, dalam perspektif Filsafat Bahasa, seiring-jalan dengan kenyataan ontologis bahwa suatu ungkapan bahasa selalu berkelindan dengan suatu konteks kehidupan, yang otomatis membedakannya dengan suatu konteks kehidupan lainnya. Tiap-tiap konteks kehidupan tersebut, secara hakiki selalu terkait dengan konteks suatu nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara masyaratnya, yang oleh karena itu mengandaikan adanya suatu aturan berbahasa.
Contohnya, makna “kebebasan berpendapat”. Kebebasan yang dianut oleh konteks masyarakat Barat berpijak pada nilai-nilai humanisne (yang melahirkan individualisme), sedangkan kebebasan yang dianut oleh konteks masyarakat kita berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, KDMI memang tidak serta-merta dapat disamakan dengan UNDC.
Andaipun ada di antara kita masih ada yang bersikeras mengidentikkan “kebebasan akademik” dengan bebas sebebas-bebasnya berpendapat, misalnya, berarti ia boleh disebut orang yang keblinger (sesat pikir) karena tidak memahami adanya konteks-konteks berbahasa dalam hidup.
Rezim mondialisasi
Dari kacamata oposisi biner, model yang digunakan dalam UNDC adalah mempertentangkan antara kelompok “pemerintah” dan kelompok “oposisi” (disebut gaya Parlemen Asia). Itu sebabnya, topik yang mereka pilih juga cenderung berbau pertentangan.
Tapi, model tersebut tidaklah cocok digunakan di dalam KDMI, mengingat secara kontekstual kehidupan berbangsa dan bernegara kita (yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila) tidak mengenal sistem oposisi biner semacam itu. Oleh karena itu, dalam menetapkan topik debat seperti, “pemerintah wajib menentukan atau mengarahkan pilihan prodi kepada setiap calon mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studinya ke perguruan tinggi”, misalnya, merupakan penetapan yang tidak kritis alias mengandung sesat pikir, mengingat tidak terpenuhinya asas-asas ontologis, logis, analitis, dan sistematis. Sudah ditegaskan, sistem pemerintahan kita tidak mengenal istilah “pemerintah” yang dipertentangkan dengan “pihak oposisi”. Lagi pula, pemerintah kita tidak ingin dianggap sebagai pihak yang kurang kerjaan. Topik debat yang sesat pikir semacam ini otomatis akan “merugikan” tim debat yang berposisi “pemerintah”, karena tim “pemerintah” akan kesulitan mengajukan atau mempertahankan argumen yang logis dan analitis.
Andai pemilihan topik debat dan juga model debat untuk KDMI tidak dikontekskan pada nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, gelar KDMI akan menjauhkan mahasiswa Indonesia dari segi-segi epistemologi perihal pentingnya keutuhan NKRI. Lebih jauh, mahasiswa Indonesia hanya akan pandai berdebat, tapi tidak memahami “apakah” yang diperdebatkan. Secara aksiologis, hal ini dapat dibenarkan, karena pada masa mendatang bisa jadi (tetap) akan lahir mereka-mereka yang piawai berdebat, namun tidak mengetahui di mana letak pangkal persoalannya. Bahkan, bisa jadi, mereka-mereka itu tidak memahami apakah persoalan debatnya itu berakar pada nilai-nilai kehidupannya sebagai bangsa Indonesia. Mereka-mereka semacam itu, yaitu orang-orang yang tidak tahu letak akar hidup berbangsa dan bernegaranya, mudah ditebak akan kerap dimangsa oleh rezim Mondialisasi melalui perkembangan dahsyat teknologi komunikasi dan informasi. Bayangkanlah, andai mereka-mereka semacam itu kemudian menjadi anggota parlemen dan/atau pengurus negeri tercinta ini.
Rezim Mondialiasai, menurut Baudrillard (2011), akan mengubah kehidupan masyarat kita yang tidak paham akar kehidupannya secara sistemis melalui bentuk penyeragaman, misalnya kita akan sama-sama tergantung handphone, akan sama-sama suka nongkrong di mal, akan sama-sama terbius oleh film-film Hollywood, akan sama-sama membaca berita dari gadget, dan akan sama-sama mencari informasi ilmiah dari internet ketimbang dari buku-buku di perpustakaan. Bentuk penyeragaman ini, terutama dampak dari kemunculan “dewa baru” bernama teknologi informasi, secara aksiologis juga akan membuat mahasiswa (generasi muda) kita lebih silau terhadap nilai-nilai asing daripada nilai-nilai luhur milik sendiri. Dampaknya, sebagaimana terlihat pada gelar KDMI di Malang itu, baik penyelenggara debat maupun peserta debat tidak kritis terhadap perbedaan kontekstual yang bersifat ontologis antara bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bahkan, tetap disangka, bahasa Inggris lebih mulia daripada Bahasa Indonesia. Dengan demikian, saya harus menegaskan bahwa kita akan selalu mengalami sesat pikir jika menganggap suatu bahasa lebih unggul daripada bahasa lainnya. Pasalnya, sebagaimana telah saya katakan, tiap-tiap bahasa amat tergantung konteks nilai-nilai pemakai dan pemakaiannya. Bahkan, jika hendak diingat, sejarah telah mencatat bahwa sekitar tahun 500 SM, bersamaan dengan kejayaan sistem demokrasi di Athena, Socrates sudah rajin blusukan berkeliling Athena dalam rangka memberi kuliah melalui diskusi dan tanya-jawab. Cara ini dikenal sebagai retorika (seni berbicara), melalui metode dialektika, yang dewasa ini kita jadikan roh debat. Debat ala Socrates itu, sebenarnya ditujukan untuk menangkal penyebaran pemikiran kaum Sofis (di bawah pimpinan Gorgias, 480-380 SM), yang ketika itu telah diwarnai semangat politik praktis.
Melalui motto “membumikan langit”, kaum Sofis menggarisbawahi bahwa yang penting adalah akal atau logika dan bukan lagi dewa-dewa (dibaca: nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan). Tentu saja, Socrates amat terganggu, terutama ketika retorikanya kemudian didefinisakan sebagai seni meyakinkan. Bagi kaum Sofis, lebih penting memenangi perdebatan daripada mencari dan menegakkan kebenaran.
“Mendamaikan” Gorgias dan Socrates
Andai KDMI masih “berlindung” di balik NUDC, maka pertentangan antara prinsip debat model Gorgias dan model Socrates menurut saya masih akan tetap mengemuka. Hal ini juga akan menggambarkan situasi yang tidak akademis, karena para mahasiswa Indonesia peserta KDMI akan menjadi insan yang sekadar pandai berdebat namun tidak kritis.
Itu sebabnya, “mendamaikan” perseteruan antara Gorgias dan Socrates, sehubungan dengan gelar KDMI, adalah pilihan yang solutif. Kepada Ditbelmawa, Kemristekdikti RI, selamat merenung. Kepada mahasiwa Indonesia, selamat berdebat secara kritis. Merdeka! #