AIPA, Paman Doblang, dan ASEAN Community 2015
Peran AIPA (Organisasi antarparlemen se-Asia Tenggara) dalam mendukung terwujudnya ASEAN Community 2015 bukan saja tak terhindarkan, melainkan juga sebuah keniscayaan etis. Dengan letak di kawasan yang begitu menggiurkan, dan dengan kekayaan SDM dan SDA-nya, Asia Tenggara memang ibarat gadis cantik “dari kampung” yang terus-menerus dilirik para “lelaki garang”. Oleh karena itu, menjadi wajar jika AIPA dituntut untuk lebih aktif “belajar” dari Paman Doblang – tokoh paman yang cerdas dan baik hati dalam dongeng Indonesia – dalam mendukung ASEAN Community 2015. Melalui perspektif aksiologi kebudayaan, peran Paman Doblang ditengarai akan menjaga kecemerlangan pamor AIPA di mata negara-negara kapitalis, setidaknya melalui keteladanan pimpinan DPR RI sebagai presiden AIPA.
Pendahuluan
Bukan sekadar ungkapan hampa belaka jika dikatakan bahwa Asia Tenggara ibarat “gadis dari kampung” yang senantiasa dilirik “para lelaki garang” asal negara lain. Juga tak berlebihan jika dikatakan, oleh karena itu, AIPA (Organisasi antar-Parlemen se-Asia Tenggara)wajib mendukung program kerja dan cita-cita ASEAN Vision 2020yang meliputi ASEAN Community 2015 (ASEAN Economic Community, ASEAN Political-Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community).
Dukungan AIPA terhadap ASEAN Community 2015 adalah sebuah keniscayaan etis. Pasalnya, lirikan “para lelaki garang” terhadap si “gadis dari kampung” bernama Asia Tenggara memang bukan hal yang remeh. Sebagai contoh,sebagaimana dilaporkan Kompas (27/07/12; h.19), Bank Standard Chartered (BSC) mengakui bahwa kawasan Asia (termasuk Asia Tenggara) memiliki posisi penting dalam perekonomian Asia. Dampak guncangan krisis ekonomi dunia terhadap kawasan ini ditengarai amat rendah. Kondisi demografi (banyaknya penduduk berusia muda) juga merupakan pasar empuk bagi peningkatan potensi konsumsi, sehingga BSC menggarisbawahi bahwa Asia Tenggara adalah pasar yang strategis. Tak ada yang keliru memang dari peningkatan potensi konsumsi sebagai dampak dari aktivitas perekonomian. Yang keliru jika peningkatan potensi tersebut bermetamorfosis menjadi cengkeraman kapitalisme “baju baru” (yang gemar dikenakan para “lelaki garang” itu atas nama mondialisasi), yang pada gilirannya justru melahirkan masyarakat konsumsi, yakni masyarakat yang kebutuhan hidupnya telah terseragamkan.
Mungkinkah kebutuhan hidup manusia terseragamkan? Melalui pertanyaan inilah, mudah-mudahan kita cepat tersadar bahwa peran AIPA dalam mendukung terwujudnya ASEAN Community 2015 adalah sebuah keniscayaan etis. Melalui pertanyaan ini pula, semoga menjadi jelas bahwa esai-kritis ini dipijakkan dari perspektif aksiologi kebudayaan, mengingat bangsa-bangsa ASEAN memiliki sejarah kebudayaan yang panjang, dan saling berkelindan, sehingga memiliki warna hidup sendiri yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain.
Pimpinan DPR RI, sebagai presiden AIPA, dengan demikian diharapkan dapat menukil nilai-nilai aksiologis dari esai-kritis ini, sehingga kecemerlangan pamor AIPA, khususnya di mata para “lelaki garang” itu, tidak dapat dianggap sebagai kecemerlangan yang semu.
Paman Doblang dan Logos Orthos
Dalam wujud apa Paman Doblang berperan mendukung ASEAN Community 2015? Tokoh paman yang cerdas dan baik hati ini, dalam perspektif aksiologi kebudayaan dapat dijelaskan melalui konsep sastra rakyat.
Para pakar sastra pada umumnya mempertentangkan antara sastra rakyat (sastra lisan) dan sastra keraton (sastra tertulis). Akan tetapi, saya tidak sependapat dengan model pertentangan semacam ini, mengingat bentuk sastra rakyat “selalu” diletakkan di bawah bayang-bayang kehebatan sastra keraton. Pasalnya, dongeng (sebagai salah satu jenis sastra rakyat) adalah sastra yang hidup di tengah rakyat dan terus-menerus menemukan bentuk barunya yang terkonteks dengan perkembangan zaman. Pada masyarakat agraris, seperti halnya masyarakat Asia Tenggara, dongeng dituturkan oleh ibu kepada anak-anaknya sebagai ritual penanaman budi pekerti. Dongeng juga dituturkan oleh seorang tukang dongeng (troubadour) yang berjalan ke luar-masuk kampung dalam rangka menghibur sambil mendidik masyarakat pendengarnya perihal nilai-nilai luhur berkehidupan. Judul-judul yang mungkin masih kita ingat, misalnya Sang Kancil, Lebai Malang, Abu Nawas, dan Paman Doblang, adalah dongeng yang memang sulit ditentukan asal-usulnya, mengingat kelisanannya, sebaran masyarakatnya, dan konteks zamannya. Itu sebabnya, tidak pantas secara etis suatu negara, misalnya, mencuri suatu dongeng atau suatu bentuk seni tradisi tertentu milik negara lain dan kemudian mengakui dengan bangga sebagai miliknya. Negara yang berperilaku seperti ini sudah sewajarnya dikucilkan dari pergaulan dengan negara-negara tetangganya.
Kendatipun sulit ditentukan asal-usulnya, dongeng tetap terpelihara dan dikembangkan secara baik oleh masyarakatnya karena kandungan nilai-nilai ajaran budi pekertinya. Di dalam masyarakat Jawa, misalnya, mungkin kita pernah mendengarversi dongeng Paman Doblang. Tidak diketahui dari mana asal-usul dongeng ini, namun hemat saya kita dapat merunutinya dari kata “doblangan” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bagian dari panen jagung yang disumbangkan secara ikhlas oleh masyarakat kepada kepala desanya. Boleh kita bayangkan, kepala desa diidentikkan dengan sosok pamanyang di dalam struktur keluarga menempati “posisi tengah”; sosok yang dekat dengan kemenakannya dan sering kali dianggap pengayom, pendidik, dan bahkan dijadikan tempat bertanya karena kecerdasannya. Tidak heran jika masyarakat Jawa ikhlas memberikan “doblangan” kepada kepala desanya. Atau, jika hendak dilihat secara terbalik, masyarakat senantiasa berharap dipimpin oleh tokoh yang cerdas, mendidik, dan mengayomi, yang oleh karena itu berkorelasi dengan keikhlasan memberikan “doblangan” apa pun itu wujudnya. Secara ringkas, Paman Doblang dalam pelbagai versi dongengnya memang selalu dikisahkan sebagai tokoh yang cerdas, solutif, dan menjadi tempat bertanya.
Pada sebuah dongengnya, misalnya, Paman Doblang yang dikisahkan menjabat kepala desa kedatangan dua orang perempuan warga desa yang sedang bertikai memperebutkan sesosok bayi lelaki. Kedua perempuan itu sama-sama bersikeras bahwa bayi tersebut adalah anak kandungnya. Setelah sejenak berpikir, Paman Doblang membawa kedua perempuan dan bayi itu ke balai desa. Di depan balai desa, di tengah ratusan pasang mata warga desa yang menonton, Paman Doblang berpidato. “Saudara-saudaraku, telah datang Mbak Jinah dan Mbak Jinten untuk meminta keputusan siapa ibu kandung dari bayi yang saya gendong ini. Oleh karena itu, supaya adil saya akan membelah bayi ini.” Paman Doblang mencabut goloknya dan kemudian meletakkan mata goloknya di ubun-ubun sang bayi. Seketika pecahlah tangis kedua perempuan yang sedang bertikai itu. Mbak Jinah menangis sambil berkata, “Ya Tuhan, hamba berterima kasih, karena akhirnya keadilan datang kepada saya.” Sementara itu, Mbak Jinten menangis sambil berteriak, “Paman Doblang, janganlah Paman belah bayi itu. Biarlah saya relakan ia dipelihara oleh Mbak Jinah.” Mendengar ucapan kedua perempuan itu, Paman Doblang segera menyarungkan goloknya dan berkata, “Saudara-saudaraku, tentu kalian sudah mendengar ucapan Mbak Jinah dan Mbak Jinten. Nah, saya putuskan bahwa bayi ini adalah anak kandung dari Mbak Jinten, karena tidak ada seorang ibu pun di dunia ini yang tega melihat anaknya dibunuh.” Warga desa pun bertepuk tangan. Dari perspektif kekinian, tentu saja tindakan Paman Doblang boleh dianggap naif. Akan tetapi, dari perspektif aksiologi kebudayaan, kecerdasan Paman Doblang, yang lantas mampu membuatnya bertindak solutif, adalah cerminan nilai-nilai leadership. Nilai-nilai ini, sebagaimana dilakukan oleh Paman Doblang, terkonteks dengan nilai-nilai luhur yang diyakini oleh masyarakat Asia Tenggara pada umumnya bahwa anak adalah titipan Tuhan dan oleh karena itu tidak ada seorang ibu pun yang tega melihat anaknya disakiti.
Kontekstualisasi yang dilakukan Paman Doblang, yang kemudian menjadikannya tempat bertanya bagi warganya – karena dianggap sebagai kepala desa yang cerdas dan solutif – dari sudut aksiologi kebudayaan juga dapat diandaikan sebagai pantulan etos logos orthos, yakni pendayagunaan akal budi, penalaran, atau argumentasi secara tepat, lurus, dan benar. Di dalam sejarah filsafat Barat, etos logos orthos ditengarai sudah diyakini oleh Kaum Sofis ketika mengembangkan konsep logika dan retorika. Sementara itu, Kaum Stoa Yunani dan Romawi menyebut logos orthos dengan istilah Latin recta ratio (logika yang lurus). Apa pun istilahnya, yang jelas logos orthos tetaplah berkelindan dengan argumen atau prinsip logis yang dapat digunakan bagi penarikan simpulan yang tepat, yang oleh karena itu dapat digunakan untuk memperkuat suatu sudut pandang sehubungan dengan penyelesaian suatu kasus. Akan tetapi, hamat saya, akibat cengkeraman logika komersial dewasa ini etos logos orthos telah diubah makna hakikinya oleh media massa. Argumentasi, contohnya, yang menjadi ciri utama di dalam komunikasi politik yang harusnya logos orthos, diubah menjadi opini yang berpanjang-lebar, yang sering kali hanya dengan meminjam atau mengutip pendapat narasumber yang dianggap pakar, sehingga yang tersaji adalah sebuah tulisan jurnalistik yang membosankan dan kental diurapi paradigma positivisme.
Dalam penegasan lain, media massa dewasa ini lebih mengedepankan unsur emosi daripada refleksinya, sehingga peristiwa atau fakta apa pun selalu di-frame (dibingkai) dalam format “perseteruan” yang hitam-putih. Format yang kental beraroma positivisme, yang semata-mata memperbandingkan dua hal secara oposisi biner ini, setidaknya mengandaikan ada pihak yang menderita dan ada pihak yang tidak menderita. Pengabaian terhadap etos logos orthos di dalam komunikasi politik tentu saja berimplikasi pada kemerosotan citra bangsa. Cobalah cermati, sebagai contoh, bagaimana “keluhan” Presiden SBY tempo hari tentang kinerja para menterinya. Oleh media massa, “keluhan” itu di-frame sebagai sekadar “perseteruan” hitam-putih. Ucapan-ucapan SBY tentang kinerja para menterinya disebutkan oleh media massa sebagai keluhan SBY, padahal secara logos orthos ucapan-ucapan SBY sama sekali tidak terkategori keluh-kesah. Dengan demikian, selain dapat dikatakan tidak memahami makna kata “keluh-kesah”, media massa dewasa ini memang cenderung memaksakan kehendaknya melalui upaya perebutan wacana yang berupa “perseteruan” yang bercorak hitam-putih. Alhasil, Presiden SBY (simbol “yang kuat”) diandaikan oleh media massa tidak boleh mengeluh di depan para menterinya (simbol “yang lemah”), karena keluhan ditafsirkan sebagai perseteruan antara yang kuat dan yang lemah (hitam-putih). Hal ini, setidaknya dapat dilihat melalui judul berita yang disusun secara analitik-positivistik, misalnya “menteri tidak loyal” (karena mereka hanya berdiam diri). Dari konteks SBY, sikap diam para menterinya tentu saja tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai sikap tidak loyal. Andai sikap diam itu hendak ditafsirkan sebagai “tidak loyal”, tentu saja dibutuhkan proses yang logos orthos, yang tidak sekadar mengedepankan unsur emosi. Dalam mengungkapkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM, contoh lain, media massa juga membuat judul berita yang impresif positivistik, seperti “naikkan BBM opsi terakhir”. Kita tentu tahu tepat, menentukan kenaikan harga suatu produk bukan tergantung pilihan-pilihannya, melainkan harus berpijak dari hitungan-hitungannya. Oleh karena itu, jika Presiden SBY “berhasil” di-frame sedang berkeluh-kesah, logika komersial media massa buru-buru mengandaikan bahwa letak jualnya memang terletak di situ. Padahal, pengandaian yang positivistik semacam ini kerap menyebabkan ideologi dan agama kehilangan nilai refleksinya dan kemudian terpinggirkan dari arena sosial. Itu sebabnya, unjuk rasa di negara-negara ASEAN jarang diberitakan secara damai dan sejuk tanpa dilumuri kerusuhan.
Sebagai pengingat, positivisme dikembangkan dari pemikiran Comte (1798-1857) bahwa apa pun yang tertangkap pancaindera manusia adalah kebenaran. Positivisme menekankan adanya suatu narasi besar (dibaca: pendewaan suatu wacana), yang harus dibuktikan dengan hipotesis berdasarkan narasi besar tersebut (biasanya berupa teori hitung-hitungan) yang diperlakukan sebagai doktrin tak terbantahkan, karena dianggap pasti, benar, dan tepat. Oleh karena itu, positivisme juga dianggap sebagai filsafat sains, yang kemudian disebut sebagai “dewa humanis”, karena ideologi yang dikandungnya adalah “ideologi dunia objektif”, yang menekankan bahwa objek-objek fisik hadir langsung melalui data inderawi manusia tanpa harus melalui mental atau jiwa. Di dalam ilmu pengetahuan, ideologi dunia objektif ala positivisme setidaknya mudah kita lihat melalui prinsip bahwa apa pun yang dianggap benar harus dapat diverifikasi secara empiris. Implikasi dari hal ini, manusia tidak perlu mengenali konteks kehidupannya, mengingat realitas data inderawi manusia memang hanya ditujukan bagi lahirnya “kebenaran yang tunggal”. Apa yang kita lihat harus diyakini sebagai realitas yang tunggal. Alhasil, apa pun yang disajikan oleh media massa juga diandaikan sebagai realitas yang tunggal, benar, dan cuma satu-satunya. Dalam konteks peran AIPA, hemat saya Presiden AIPA mestilah bersikap kritis terhadap media massa, walaupun ungkapan bahasa media massa tersebut sudah disusun dan disajikan berdasarkan aturan bahasa yang baku, yang baik, dan yang benar.
Menjadi organisasi yang kian berkualitas,AIPA juga harus kritis terhadap belenggu paradigma positivisme. Dengan demikian, sang “gadis dari kampung” yang bernama ASEAN, meskipun tidak lekang oleh lirikan para “lelaki garang”, adalah gadis yang tegar, tegas, dan intelek – gadis yang memegang etos logos orthos dan sekaligus etos komunikasi emansipatoris – namun, tetap saja cantik. Tentu saja, hal ini membutuhkan kecerdasan dan kebaikan hati sang Paman Doblang, yakni Presiden AIPA.
Paman Doblang dan Ideologi Kekinian
Kecerdasan Paman Doblang adalah kecerdasannnya dalam berbahasa. Hal ini berarti, kontekstualisasi yang dilakukan Paman Doblang berpangkal dari nilai-nilai bangsa, yang tentu saja tercermin dari penggunaan bahasanya. Tidak perlu heran jika Paman Doblang kemudian dijadikan tempat bertanya bagi warganya.
Sejauh digunakan oleh masyarakat pemakainya, bahasa pasti mencerminkan suatu nilai-nilai hidup yang terkonteks dengan kehidupan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Oleh karena itu, sulit dinalar jika masih ada yang mengatakan bahwa bahasa “hanya” sebagai alat berkomunikasi. Kata “cekung” di dalam bahasa Melayu Deli, misalnya, bermakna “kurus kerempeng”, sedangkan kata “cekung” di dalam KBBI bermakna “berlekuk (tentang mata)”. Melalui contoh ini, dengan demikian harus segera ditegaskan bahwa kata-kata (meskipun ejaannya sama) memiliki makna kontekstualnya sendiri-sendiri, alias mencerminkan suatu nilai hidup masyarakat pemakainya, yang secara tegas membedakannya dengan masyarakat lain. Itu sebabnya, dari perspektif aksiologi kebudayaan menjadi benar jika ada adagium yang menyatakan bahwa bahasa adalah cerminan bangsa. Ungkapan “besar pasak daripada tiang”, contohnya, tentu mencerminkan suatu nilai hidup tertentu bagi bangsa Indonesia, yang oleh karena itu tidak bisa disetarakan dengan ungkapan “time is money” yang mencerminkan suatu nilai hidup yang lain. Contoh lain, ungkapan “olimpiade” agaknya tidak dapat dimaknai sebagai sekadar pesta olah raga akbar tingkat dunia. Pemberitaan media massa menunjukkan, penyelenggaraan Olimpiade London telah menyumbang perekonomian Inggris sebesar Rp 244 triliun dan sekaligus menciptakan 62.200 lapangan kerja hingga 2017. Perkiraan keuntungan ini dimulai sejak 2005, bersamaan dengan penunjukan London sebagai tuan rumah, hingga lima tahun setelah olimpiade usai. Tak heran jika Inggris tetap berjaya, meskipun krisis utang sedang melanda Eropa. Bahkan, Pemerintah Inggris menegaskan, Olimpiade London dapat meningkatkan konsumsi masyarakat pada kuartal ketiga 2012, sehingga dapat mengangkat Inggris dari resesi (Kompas, 03/08/12; h.56). Penegasan ini membuka kesadaran kita bahwa Pemerintah Inggris memaknai Olimpiade London sebagai “tambang emas yang harus dikeduk”, sedangkan penyelenggaraan olimpiade itu sendiri adalah “sekadar” alat untuk mengeduk emas.
Menjadi jelas, memaknai kalimat atau suatu ungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari upaya memahami makna-makna tertentudi baliknya, yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai hidup yang digunakan dalam kehidupan masyarakat pengguna ungkapan bahasa tersebut. Oleh karena itu, kecerdasan Paman Doblang yang tercermin melalui bahasanya – dalam kasus Mbak Jinah dan Mbak Jinten – adalah kecerdasannya dalam memaknai anak sebagai titipan Tuhan dan tidak seorang ibu pun yang tega melihat anaknya dibunuh. Dalam perspektif kekinian, kecerdasannya itu bahkan menegaskan bahwa Paman Doblang adalah tokoh ideologis yang memang benar-benar terwujud di dalam benak masyarakatnya. Pasalnya, ia menyimbolkan bersatu padunya Tuhan dan dunia, sebagaimana dapat kita jumpai di masyarakat negara-negara ASEAN yang meyakini sistem panteistis. Sistem ini, sebagaimana kita ketahui, menggarisbawahi bahwa hubungan Tuhan dan dunia seperti hubungan antara jiwa dan badan, atau menurut Spinoza (1632-1677) Tuhan adalah substansi satu-satunya yang berada dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Di sisi hal ini, dari kacamata aksiologi kebudayaan tokoh ideologis Paman Doblang dapat pula dikatakan merepresentasikan mitos Jawa perihal “satria piningit”atau kesatria yang masih dipingit (ada juga istilah lain: Maesenas, Herucokro, dan Ratu Adil), yakni manusia pilihan Tuhan yang akan memimpin negara, namun belum waktunya dimunculkan.
Mengapa sang Kesatria itu harus dipingit? Sejarah bangsa-bangsa ASEAN adalah sejarah mitos. Dalam konteks ini, mitos dapat dipahami sebagai ideologi perihal tokoh “suci dan gaib” yang akan membesarkan bangsa dan memajukan negara, dan yang hanya karena izin Tuhan maka ia akan muncul. Itu sebabnya, si tokoh ini diberi istilah “piningit” mengingat masyarakat harus terus-menerus berdoa, berharap, dan berjuang agar sang kesatrianya segera dikeluarkan dari pingitannya. Dalam kaitan ini, jangan dilupakan bahwa mitos adalah salah satu penunjang ideologi, sehingga ideologi menjadikan individu-individu “merasa” bersatu, “merasa” bertanggung jawab, dan kemudian “merasa” memiliki identitas yang berbeda dari individu-individu lain. Kendati kerap dikatakan bersifat ideal dan ilutif, pada kenyataannya ideologi selalu menarik hati, selalu terkonteks dengan segi-segi praksis kehidupan, dan selalu diungkapkan melalui simbol-simbol berupa ungkapan bahasa yang mampu membahagiakan orang. Benarlah pendapat Althusser (1984) bahwa ideologi adalah kepercayaan yang tertanam tanpa disadari di dalam diri individu di sepanjang konteks hidupnya. Dengan demikian, tidak aneh jika masyarakat Jawa lantas meleburkan tokoh “suci dan gaib” yang dicita-citakannya melalui visualisasi dongeng Paman Doblang. Sang Paman ini adalah orang biasa (dapat dilihat), yang cerdas dan baik sebagai kepala desa (dekat di hati), sehingga perilaku dan kinerja kepemimpinannya dianggap setara dengan kesatria yang “suci dan gaib”. Ditinjau dari perspektif aksiologi kebudayaan, penyetaraan ini ternyata bertalian dengan ideologi kekinian. Hal ini berarti, Paman Doblang – yang dalam konteks ini berwujud Presiden AIPA – pasti telah menyadari bahwa penetrasi informasi apa pun yang datang dari luar dewasa ini tidak akan mungkin untuk dibendung. Akan tetapi, sebagai kepala desa yang cerdas dan solutif, Paman Doblang tentu menyadari kehebatan format ideologis empat pilar yang dimiliki bangsa Indonesia (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) sehubungan dengan derasnya gerakan mondialisasi, sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan. Oleh karena itu, format ideologis empat pilar tersebut kiranya dapat dijadikan model bagi negara-negara ASEAN lainnya, sesuai dengan konteks ketatanegaraan negara masing-masing, sehingga AIPA dapat menjaga bangsa-bangsa ASEAN dari praktik kosmopolitanisme yang digembar-gemborkan oleh siapa pun yang mendukung mondialisasi secara membabi-buta. Kosmopolitanisme itu sendiri adalah paham yang berkembang dari negara kapitalis Barat, yang pada dasarnya menolak hal-hal yang bersifat nasional. Melalui kosmopolitanisme, sentimen-sentimen patriotik dan kebudayaan nasional dijauhkan demi mempertahankan dan mengajukan kesatuan umat manusia dalam kerangka mondial. Oleh karena itu, andai kosmopolitanisme menjadi atau dijadikan “ideologi baru” – sesuai dengan kenyataan bahwa ideologi selalu menarik hati – ideologi kebangsaan tentulah akan terpapar oleh individualisme dan pragmatisme. Apalagi, sebagaimana diketahui, ideologi bangsa Indonesia tidak berakar dari konteks nilai-nilai humanisme (yang melahirkan individualisme dan pragmatisme tersebut). Dalam konteks politik, contohnya, individualisme dan pragmatisme ditengarai bakal memunculkan partai-partai elektoral, yakni partai berbasis individu yang sekadar menjadi mesin pemenang pemilu. Celakanya, menurut Wasekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, liberalisasi politik yang didukung oleh komunikasi politik melalui media massa menjadikan politik pencitraan sebagai strategi utama pemenangan pemilu (Kompas, 01/08/12; h.2). Dewasa ini, menjadi partai ideologi merupakan jalan terjal, karena menentang arus pragmatisme. Oleh karena itu, memang dibutuhkan leadership yang kuat dan cerdas dari Presiden AIPA, mengingat bahaya “ideologi baru” yang telah saya sebutkan itu sehubungan dengan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Ketidakpahaman kita terhadap makna ideologi itu sendiri juga menarik untuk disimak. Hal ini setidaknya terlihat pada “kegamangan” Pemerintah RI dalam mencermati kasus pembantaian terhadap etnik Rohingya di Myanmar. Kasus yang dikatakan memalukan bangsa-bangsa ASEAN ini sejatinya merupakan salah satu dampak dari masalah status kewarganegaraan. Menurut Ketua Badan Perwakilan KNPI Malaysia, Sagir Alva, pada saat ini terdapat sekitar 12 juta orang di dunia yang belum mempunyai kewarganegaraan, termasuk di dalamnya keturunan orang Indonesia yang berada di Malaysia. “Seharusnya, Indonesia mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pendiri ASEAN untuk mendesak ASEAN menyelesaikan permasalahan yang dihadapi etnik Rohingya,” ucap Alva, di Kuala Lumpur, seperti dikutip Republika (29/07/12). Ucapan Alva ini terkesan dibantah oleh wakil Indonesia untuk Komisi Antarpemerintah HAM ASEAN, Rafendi Djamin, bahwa ASEAN selalu menerapkan prinsip diplomasi senyap (silent diplomacy), sehingga jangan dianggap berdiam diri saja dalam menyikapi konflik di Rakhine itu. “Yang namanya silent diplomacy, ya, enggak kelihatan. Dalam sejarahnya, ASEAN enggak pernah mempraktikkan megaphone diplomacy dalam setiap upaya pemecahan masalah,” tutur Djamin di Jakarta, sebagaimana dikutip Kompas (09/08/12; h.10). Akan tetapi, bantahan Djamin justru makin meneguhkan keyakinkan saya bahwa selain “gamang”, Pemerintah RI juga melupakan aspek etika politik dalam berdemokrasi. Hakikat demokrasi, yaitu “berpihak pada rakyat”, dari sudut aksiologi kebudayaan mengandaikan keterbukaan pemerintahnya terhadap rakyat. Andai masih mempertahankan silent diplomacy, seperti ditegaskan Djamin, otomatis ASEAN dikesankan masih memegang teguh petuah Machiavelli bahwa dalam berpolitik tidak perlu pertimbangan etis. Jika petuah ini masih tetap dipatuhi, saya setuju dengan pendapat bahwa kerapuhan demokrasi negara-negara ASEAN memang sedang berproses.
Sejarah memang telah mengajarkan kepada kita bahwa perubahan kebudayaan adalah proses yang niscaya, baik dalam wujud invention, difusi, maupun dalam wujud akulturasi sebagaimana pernah dialami pada masa-masa kolonialisme. Sejarah juga membuktikan, perubahan kebudayaan yang dialami bangsa-bangsa ASEAN justru mengokohkan ideologi kebangsaan masing-masing bangsa. Jadi, hemat saya, bangsa-bangsa ASEAN – melalui ikhtiar yang cerdas dan solutif Presiden AIPA – harus berupaya terus-menerus memerangi individualisme, pragmatisme, kosmopolitanisme, dan (apalagi) konsumerisme. Andaipun ada negara ASEAN yang tampaknya sedang terperdaya oleh kosmopolitanisme, negara ini dapat diibaratkan sebagai sosok Mbak Jinah yang sedang menderita batin menanti bantuan dari Paman Doblang. Bertalian dengan hal ini, ada baiknya kita menoleh sejenak ke India, khususnya menyimak strategi kebudayaan yang dimiliki bangsa India melalui pengembangan industri perfilmannya. Berkat strategi kebudayaannya, bangsa India mampu mengokohkan ideologi kebangsaannya. Ibarat Paman Doblang yang berhasil mengatasi perseteruan antara Mbak Jinah dan Mbak Jinten, bangsa India juga berhasil mengusir dominasi film-film Barat sehingga perfilman India mampu menjadi tuan di negerinya sendiri. “Celakanya”, jika tidak hendak mengatakan “hebatnya”, kemajuan industri perfilman India dipangkalkan dari keanekaragaman bahasa lokal yang dimilikinya. Keaneragaman bahasa lokal, yang oleh rata-rata produser film Indonesia dilihat hanya dari sebelah mata, oleh produser film India justru dijadikan “tambang emas”. Menurut Lembaga Penerangan dan Penyiaran India, selain menggunakan bahasa Inggris, film-film India juga diproduksi dengan menggunakan 24 bahasa lokal yang beragam, di antaranya bahasa Hindi, Marathi, Gujarati, Tamil, Punjabi, Bengali, Bhojpuri, Telugu, Nepali, Rajasthani, dan Haryanvi. Hal ini kiranya patut digarisbawahi, sebab di dalam perspektif aksiologi kebudayaan tiap-tiap bahasa dikatakan merupakan cerminan nilai-nilai suatu konteks kehidupan yang membedakannya dengan konteks kehidupan lainnya. Itu sebabnya, mengapa film India selalu meledak di pasar dalam negerinya. Selain dapat melestarikan nilai-nilai luhur masyarakatnya melalui penggunaan bahasa lokal, film-film India tentu berfungsi sebagai ajang pendidikan berbangsa dan bernegara. Tidak heran jika di India terdapat 13.000 gedung bioskop dengan jumlah penonton lebih kurang 15 juta orang setiap hari. Ditunjang oleh harga tiket yang relatif murah, yakni kurang dari satu dolar AS, pendapatan India dari sektor film pada 2009 diperkirakan sebesar 2,2 miliar dolar AS. Pendapatan ini mungkin masih sepersepuluh dari pendapatan Hollywood. Akan tetapi, film India ternyata juga disukai banyak negara di Asia dan Eropa. Bahkan, ada film India yang menjadi box office dan masuk jajaran top ten film terpopuler di Inggris, seperti Khabi Khushi Khabie Gham, yang berhasil meraup 7 juta dolar AS.
Jadi, dengan belajar dari India – seperti yang pernah dilakukan nenek moyang kita – kita akan segera menyadari bahwa mengokohkan ideologi kebangsaan bangsa-bangsa ASEAN ternyata juga dapat dimulai dari keragaman bahasanya. Dengan demikian, si “gadis kampung” bernama ASEAN, berkat peran Paman Doblang yang bernama Presiden AIPA, akan sulit tergoda oleh ulah para “lelaki garang” itu. Si “gadis kampung” ini terlalu kuat untuk digoda dan diperdaya, karena memiliki ideologi yang dahsyat dan kuat, yang terwujud dari keragaman bahasanya, yang pada hakikatnya mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan martabat kemanusiaan bangsa-bangsa ASEAN itu sendiri.
Paman Doblang dan Kebahagiaan
Untuk menutup tulisan ini, sehubungan dengan peran simbolik dan ideologis Paman Doblang, ada baiknya kita kembali menyimak pemikiran Aristoteles di dalam Nicomachean Ethics (makna judul ini: etika Aristoteles yang dituliskan kembali oleh Nicomachus).
Dinyatakan oleh Aristoteles, kebaikan moral adalah tujuan segala perbuatan manusia. Memang diakuinya bahwa kebanyakan tujuan mempunyai pelbagai tujuan lain, sehingga kerap melahirkan serangkaian tujuan lain lagi. Akan tetapi, bagi Aristoteles kebaikan moral merupakan tujuan akhir semua perbuatan kita. Oleh karena itu, jika Bank Standard Chartered (BSC) sebagaimana diberitakan media massa memuji-muji kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki posisi penting dalam perekonomian Asia, sehingga merupakan pasar empuk bagi peningkatan potensi konsumsi ASEAN, sejatinya kita tengah menyaksikan perilaku manusia yang mengabaikan “tujuan akhir”-nya. Hal ini berarti, seorang bankir atau politisi yang dianggap bereputasi baik tidak serta-merta berkorelasi dengan kebaikan moralnya sebagai manusia. Menurut Aristoteles, kebaikan moral disebut baik karena dirinya sendiri, bukan karena suatu faktor lain di luar dirinya.
Para bankir BSC, atau siapa pun yang berminat “menggoda” bangsa-bangsa ASEAN melalui pelbagai alasan,dengan demikian patut memahami kebaikan moral sehubungan dengan pranata antarbangsa, yang di antaranya menuntut pergaulan yang emansipatoris. Menurut Aristoteles, kebaikan moral menampak di dalam eudaimonia (kebahagiaan). Akan tetapi, dewasa ini kebahagiaan dimaknai secara subjektif sebagai “senang”, “riang”, atau “gembira”bertalian dengan konsumerisme dan hedonisme. Itu sebabnya, andai melihat tayangan televisi, kemewahan hidup yang ditayangkan seolah menjadi lagu wajib. Ketika memberitakan kasus korupsi yang dilakukan para politisi muda kita, contohnya, media massa cukup hanya menyoroti bahwa para politisi muda kita itu semula berbahagia, yakni hidup mewah, bergelimang harta dan kekuasaan, namun kini harus mendekam di sel. Padahal, menurut Aristoteles, bahagia atau kebahagiaan adalah suatu keadaan yang objektif tentang kebaikan moral. Kekuasaan dan hidup mewah memang bermanfaat, namun itu bukanlah kebagiaan yang sebenarnya. Jika manusia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya sebagai manusia melalui akal budinya, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Cara mewujudkannya, menurut Aristoteles, jika manusia berani untuk terus-menerus mengarahkan sikap moralnya dalam berperilaku. Sikap adalah suatu keadaan yang tetap, yang oleh karena itu mengandung suatu kualitas hidup yang disebut keutamaan hidup, yang membuat orang berperilaku bukan karena kebetulan (berkuasa) dan mumpung (bergelimang harta). Sikap ini memang ibarat kita sedang disodori buah simalakama. Akan tetapi, menurut Aristoteles, itulah jalan tengah dari dua ekstrem dalam rangka meraih keutamaan hidup. Artinya, ketika seorang bankir atau politisi muda yang kebetulan sedang memegang kekuasaan (ekstrem pertama) dan mumpung sedang bergelimang harta (ekstrem kedua), mampukah ia memilih “jalan tengah” untuk tidak serakah? Dengan demikian, keutamaan hidup adalah perilaku yang dijalankan manusia bertalian dengan kesadaran dan kebebasan etisnya.
Kita juga mesti memahami bahwa perilaku apa pun yang dianggap baik tidak serta-merta menjadikan pelakunya disebut bijaksana (bermoral). Seorang bankir atau politisi muda, yang dipuji-puji media massa karena dianggap memiliki wawasan luas tentang politik, hukum, dan ekonomi, umpamanya, tidak serta-merta dapat dikatakan bijaksana. Ia hanya disebut baru memiliki kesadaran praktis atas bidangnya. Dalam ucapan lain, ia belum berpengalaman karena masih muda, dan oleh karena itu ia juga dikatakan belum bijaksana. Pasalnya, objek politik, hukum, dan ekonomi (dan juga ilmu formal lainnya) merupakan hasil abstraksi, sedangkan kebijaksanaan selalu datang dari pengalaman. Berpijak dari hal ini, tidak mengherankan jika Aristoteles mengatakan bahwa jabatan politik janganlah diberikan kepada mereka yang masih muda.
Kebijaksanaan dengan demikian bertentangan dengan kecerdasan. Jika kecerdasaan hanya menyangkut bagaimana menangkap pengertian dan istilah yang terbatas, kebijaksanaan justru bertalian erat dengan seluruh fakta yang muncul karena penginderaan (pengalaman). Makna penginderaan bukanlah menangkap suatu objek dengan pancaindera, melainkan memahami objek tersebut sebagai sesuatu yang ultimate. Oleh karena itu, memahami dunia politik sebagai jalan etis mensejahterakan rakyat adalah ultimate, daripada sekadar menganggap sebagai jalan untuk memperkaya diri. Menjadi kian jelas, mengapa Aristoteles “melarang” anak-anak muda berpolitik.
Jadi, si “gadis kampung” bernama ASEAN, yang diwakili oleh AIPA, ternyata gadis yang sudah matang. Pasalnya, secara aksiologi kebudayaan, ia amat mafhum bahwa masyarakatnya bukanlah masyarakat konsumsi – masyarakat yang kebutuhan hidupnya telah diseragamkan – melainkan masyarakat yang cerdas sekaligus ultimate.
Hidup ASEAN! Viva AIPA!
Dr. Wahyu Wibowo, Depok, Agustus 2012