NKRI 72 Tahun: Kemaritiman Indonesia ala Jokowi
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
Bagaimana menautkan 72 tahun Kemerdekaan NKRI dengan pencapaian kinerja Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)? Simaklah pidato Jokowi tentang visi Indonesia sebagai poros maritim, di muka KTT Asia Timur, di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada 13 November 2015.
Pidato Jokowi itu boleh dikatakan istimewa, karena mencuatkan strategi etika komunikasi politik yang jitu (bayangkan, disampaikan di muka KTT yang bersifat mondial), padahal problem kelautan kita belum juga usai, terutama bertalian dengan keamanan dan perekonomian (Antaranews.com., 13/11/2015).
Jika etika dipahami sebagai pengkajian kritis tentang baik-buruknya tindakan manusia sebagai manusia (bdk. Thiroux, 2012), tentulah kita harus yakin bahwa strategi etika komunikasi politik Jokowi memang jitu. Pasalnya, bukankah akhir-akhir ini masyarakat Indonesia ditengarai tengah mengalami kemerosotan dalam hal memahami nilai-nilai berbangsa dan bernegara, menyusul maraknya pelbagai problem etis terkait dengan solidaritas sosial, toleransi antarumat bergama, toleransi antarsuku dan antaretnis, dan toleransi antargolongan, yang dalam wujudnya berupa ujaran kebencian melalui hoax yang bermuatan SARA.
Melorotnya kohesi sosial tersebut, dalam perspektif etika komunikasi politik merupakan gambaran konkret bahwa masyarakat kita memang membutuhkan perekondisian terhadap nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Tanpa menyadari hal ini, selain akan terus berputar-putar pada masalah yang berpeluang meretakkan rasa persatuan bangsa, kita juga akan berkontribusi langsung terhadap lambatnya pembangunan nasional.
Nenek Moyangku Seorang Pelaut
Kembali ke pidato Jokowi, mengapa NKRI membutuhkan visi kelautan? Tentang visi, para pakar manajemen tentu mudah menjawabnya (lihat misalnya: Kotler, 1967). Akan tetapi, menurut saya, mereka itu cenderung mengabaikan eksistensi manusia sebagai “pemilik organisasi”.
Oleh karena itu, secara filosofis dapat ditegaskan bahwa visi (wawasan ke depan) adalah hakikat kehidupan manusia itu sendiri, bertalian dengan upayanya mencapai kebenaran (melalui logika), kebaikan (melalui etika), dan keindahan (melalui estetika) (bdk. Baggini, 2013). Sementara itu, kelautan atau hal-ihwal tentang laut, memang identik dengan ungkapan yang diinformasikan dalam lagu berjudul, “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”.
Ketiga hal tersebut, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan, dengan demikian dapat direlevansikan dengan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebagaimana dipidatokan oleh Jokowi. di depan forum KTT Asia Timur, di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada 13 November 2015. Pidatonya itu menegaskan, “KTT Asia Timur berperan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan. (Oleh karena itu) Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, (mengingat) kekuatan (bangsa kita) yang (mampu) mengarungi dua samudra.” (Detikcom, 11/06/2014). Penegasannya itu kemudian dikonkretkan melalui agenda lima pilar. Akan tetapi, bersinggungan dengan topik tulisan ini, saya hanya akan memfokus pada pilar pembangunan kembali budaya maritim, yang secara heurestik dan eklektik amat bertalian dengan upaya perekondisian terhadap nilai-nilai berbangsa dan bernegara, sehubungan dengan kemelorotan kohesi sosial masyarakat kita akhir-akhir ini.
Menurut Jokowi, rakyat Indonesia sebagai pemilik 17 ribu pulau wajib melihat dirinya sendiri sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya amat ditentukan oleh bagaimana mengelola samudra. Ajakan Jokowi yang diungkapkannya melalui jenis ungkapan konstatif (pernyataan) itu, memperlihatkan bahwa visinya tidak beredar di ruang kosong tanpa makna. Dalam perspektif Filsafat Bahasa, menurut Wibowo (2016), ungkapan konstatif adalah jenis ungkapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual, atau peristiwa nyata, yang oleh karena itu memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar-salahnya berdasarkan hubungan faktual antara si penutur dan fakta sesungguhnya. Dengan demikian, untuk menilai benar-salahnya ungkapan konstatif Jokowi, terlebih dahulu kita harus membuktikan faktanya.
Dalam perspektif historis, fakta tersebut dapat dikelindankan dengan masa-masa kejayaan maritim yang telah diupayakan kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit, ketika menjadikan Nusantara sebagai poros maritim dunia. Kejayaan tersebut, berawal ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai memanfaatkan laut untuk mengangkut pelbagai hasil bumi ke wilayah Nusantara dan juga ke India, Afrika, dan China.
Melalui pelbagai temuan arkeologis di sejumlah negara di Asia dan Afrika, terbukti bahwa bangsa Nusantara, alias nenek moyang kita, memang orang pelaut sejak ribuan tahun lalu. Bayangkan, nenek moyang kita telah memiliki ilmu kemaritiman, berupa teknologi navigasi dan perkapalan, yang dapat membawa mereka menyeberangi Samudra Hindia, Semenanjung India, bahkan sampai ke Timur Tengah dan Afrika (Soekmono, 2015). Alhasil, boleh ditafsirkan, nenek moyang kita telah mampu mengelola wilayah darat, pesisir, dan laut secara integratif. Hal inilah yang kiranya memicu ungkapan konstatif Jokowi: “Negara kita adalah laut. Perhatian pada kemaritiman harus diberikan. Dulu, ingat ndak zaman Kerajaan Sriwijaya berjaya, maritimnya dikenal banyak orang di dunia karena armada lautnya. Kita harus kembalikan itu, dong.”
Jokowi tak salah. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan di Nusantara yang paling menonjol, selain karena dikenal sebagai kerajaan adidaya, juga karena mampu menanamkan jiwa kemaritiman kepada rakyatnya. Kerajaan Sriwijaya diketahui telah memiliki pelabuhan berskala internasional, sehingga mampu menguasai perdagangan dan pelayaran di wilayah barat Indonesia hingga ke Semenanjung Malaya. Sementara itu, Kerajaan Majapahit diketahui telah memiliki armada yang besar, yang berperan melindungi jalur perdagangan laut sebagai jalur utama perdagangan di sepanjang wilayah laut Nusantara hingga di kawasan sekitarnya.
Ungkapan konstatif Jokowi itu diucapkan di Balai Kota, pada 14 Agustus 2014, yakni ketika dirinya dinyatakan telah terpilih sebagai Presiden RI periode 2014-2019 (Kompas.com, 14/08/2014). Setelah resmi menjadi Presiden RI, Jokowi menggencarkan program tol laut, yakni sistem distribusi barang menggunakan kapal berkapasitas besar dari satu ke lain pelabuhan. Ia yakin, tol laut akan meningkatkan perekonomian rakyat, karena selain akan menurunkan harga di daerah terpencil, juga sekaligus akan menggali potensi daerah.
Dapat dinyatakan, fakta historis tersebut berkelindan dengan ungkapan konstatif Jokowi, sehingga ungkapannya, “pembangunan kembali budaya maritim” dapat dinilai sebagai pernyataan yang sungguh-sungguh. Melalui ungkapannya itu, juga terlihat bahwa Jokowi memiliki kesadaran etis bahwa NKRI adalah negara laut dan oleh karena itu sebagian ekonominya juga tergantung laut. Sebagai catatan, luas laut NKRI mencapai 5,8 kilometer persegi. Dari luas itu, 2,7 kilometer perseginya merupakan wilayah ZEE yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal mengandung sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itu, menurut Jokowi, pembangunan sektor kelautan menjadi niscaya dan harus diprioritaskan. Sehubungan dengan hal ini, Jokowi juga menegaskan akan melakukan peningkatan anggaran TNI AL, sehingga akan membuktikan secara eksistensial bahwa semboyan TNI AL, Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya, bukanlah sekadar semboyan yang kosong makna.
Dengan kembalinya budaya bahari, visi Indonesia sebagai poros maritim dunia menurut saya akan menjadi praksis dan relevan dengan tujuan etis bangsa Indonesia dalam menemukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam hidupnya. Hal ini, secara perlokutif (kesan yang menampak) dapat dihubungkan dengan penegasan konstantif Jokowi dalam pidatonya tersebut: “Visi Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah fokus NKRI pada abad ke-21. Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudra, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa.” Visi ini bukanlah harapan tanpa makna, mengingat pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia sedang beralih dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia memang sedang bangkit. Momentum inilah yang wajib dimanfaatkan NKRI.
Terkait dengan momentum tersebut, secara filosofis bolehlah dipertanyakan, mampukah manusia di dalam suatu negara menjaga dan mengembangkan tatanan sosial yang damai, stabil, dan saling melayani kepentingan orang? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Thomas Hobes (1588-1679), karena menurutnya dinamika kekuasaan, terutama karena nafsu hendak mencapai popularitas, memang merupakan karakter dasar manusia, sehingga akan selalu memicu benturan dan ketidakstabilan (perang atas perang). Hobes kemudian mengajukan teori kontrak sosial, yang memberikan pendasaran etis pada kekuasaan dan bukan tentang pembatasan kekuasaan (bdk. Munandar, 2013). Oleh karena itu, jika kita masih meragukan visi NKRI sebagai poros maritim dunia, seraya menggarisbawahi bahwa NKRI belum memiliki strategi maritim dalam bentuk ocean policy, menurut saya inilah cermin bahwa kita memang telah kehilangan budaya bahari.
Secara etis dan logis, kita mestinya mudah memahami ocean policy (berupa visi Indonesia sebagai poros maritim dunia) sebagai kontrak politik. Apalagi, pada milenium ketiga dewasa ini, ternyata banyak bangsa di dunia yang masih kesulitan memahami kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Buktinya, mereka masih senang berperang.
Ocean Policy
Visi Indonesia sebagai poros maritim dunia merupakan harapan dan sekaligus wujud ocean policy dalam hal mengembalikan kejayaan NKRI sebagai negara maritim.
Dalam wujud strategi etika komunikasi politik yang jitu, pidato Jokowi di Myanmar tersebut dapat ditafsirkan secara heurestik dan eklektik sebagai upaya perekondisian terhadap nilai-nilai berbangsa dan bernegara, terkait dengan kemelorotan kohesi sosial masyarakat kita akhir-akhir ini.
Ya, benarlah, jalesveva jayamahe.
Kota Depok, 17 Agustus 2017