Merenungi Politikus Muda
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
TULISAN Moh Mahfud MD, “Menolak Ide Khilafah” (Kompas, 26/5/2017; h. 6), tiba-tiba mengingatkan saya pada tulisan Aristoteles, Etika Nicomachean, etika keutamaan tentang bagaimana manusia harus hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Tulisan Mahfud dan tulisan Aristoteles itu memang tidak sedang diperbandingkan. Tapi, topik tulisan Mahfud, khilafah sebagai sistem pemerintahan khas ciptaan manusia, yang oleh karena itu isinya terkonteks dengan kebutuhan masyarakatnya masing-masing, menurut saya berbenang merah dengan topik tulisan Aristoteles berabad-abad lalu, sebaiknya politikus muda jangan dulu diberi peran dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Pasalnya, politikus muda (apalagi muda usia) belum memiliki kebijaksanaan karena belum berpengalaman. Ia disebut baru memiliki kesadaran praktis dalam bidangnya. Objek politik, hukum, dan ekonomi (juga ilmu formal lain) yang dimilikinya hanya merupakan hasil abstraksi, karena bisa dipelajarinya di bangku kuliah. Sementara itu, menurut Aristoteles, kebijaksanaan pasti datang dari pengalaman. Tanpa pengalaman, sebagaimana bisa kita lihat melalui pemberitaan media massa belakangan ini, seseorang hanya akan menjadi politikus setengah matang, karena lebih menonjolkan ambisi pribadi dan kepentingan tertentu, melalui komunikasi politiknya sehari-hari yang cenderung dilumuri “akal pendeknya”, sehingga berpeluang mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
“Akal pendek” itu pula yang disiratkan oleh Mahfud MD, ketika menggarisbawahi, para pendukung sistem khilafah cenderung mengatakan bahwa sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Dalam ucapan saya, para pendukung sistem khilafah itu memahami ideologinya sendiri hanya sebagai citra, agar lentur, sehingga citra tersebut menampilkan gambaran yang keliru tentang realitas Pancasila secara historis.
Kebijaksanaan vs kecerdasan
Model pencitraan seperti itu, boleh jadi karena para politikus muda itu belum bijaksana. Boleh dicatat, menurut Aristoteles, kebaikan moral menampak dalam eudaimonia (kebahagiaan). Sementara itu, terkait kegaduhan politik nasional belakangan ini, makna kebahagiaan tampaknya direduksi hanya sekadar “senang”, “riang”, atau “gembira”. Itu sebabnya, andai menyimak pemberitaan media massa, seolah menjadi lagu wajib bagi para politikus tersebut, termasuk wakil rakyat kita dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat, untuk saling memperebutkan wacana hanya demi “kegembiraan” belaka melihat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi karut-marut.
Bahagia atau kebahagiaan, menurut Aristoteles, adalah suatu keadaan yang objektif tentang kebaikan moral (karena bijaksana). Kekuasaan, nama tenar karena sering diliput media massa, dan hidup mewah memang bermanfaat, namun itu bukanlah kebahagiaan sejati. Jika manusia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya melalui akal budinya, itulah kebahagiaan sejati. Caranya, menurut Aristoteles, jika manusia berani untuk terus-menerus mengarahkan sikap moralnya menuju suatu kualitas hidup yang disebut keutamaan hidup, yang membuat ia berperilaku bukan karena kebetulan (sedang berkuasa).
Penegasan Aristoteles itu kiranya masih relevan untuk dicerminkan pada perilaku para politikus muda kita yang telah disebutkan itu, terutama terkait dengan ambisi pribadi dan komunikasi politik mereka sehari-hari yang masih dilumuri “akal pendek”. Oleh karena itu, pertanyaan kritisnya, ketika seorang politikus muda yang kebetulan sedang memegang kekuasaan (ekstrem pertama) dan mumpung sedang bergelimang harta (ekstrem kedua), mampukah ia memilih “jalan tengah” untuk tidak melakukan ihwal yang berpeluang mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa?
Kebijaksanaan dengan demikian bertentangan dengan kecerdasan. Jika kecerdasaan hanya menyangkut bagaimana menangkap pengertian dan istilah yang terbatas, yang diperoleh seseorang di bangku kuliah, kebijaksanaan justru bertalian erat dengan seluruh fakta yang muncul karena pengindraan (pengalaman).
Makna pengindraan bukanlah menangkap suatu objek dengan pancaindra, melainkan memahami objek tersebut sebagai sesuatu yang ultimate. Itu sebabnya, memahami dunia politik sebagai jalan etis mensejahterakan rakyat adalah ultimate, daripada sekadar menganggap sebagai jalan untuk “senang dan bergembira” melihat penderitaan rakyat sehari-hari, seperti jalan makin macet gara-gara unjuk rasa atau pekerjaan di kantor terbengkalai gara-gara sibuk mendukung calon A atau calon B, padahal anak-istri di rumah lebih membutuhkan sembako.
Rasa ingin tahu yang absurd
Lalu, kapan bolehnya politikus muda (muda pengalaman atau muda usia) boleh melakukan perannya?
Aristoteles memang tidak memberi jawaban. Tapi, kita boleh meminjam pendapat Baudrillard (1983). Dewasa ini, tumbuh semacam rasa ingin tahu masyarakat yang bersifat absurd, yang oleh media massa justru sengaja dikonstruksi untuk dijadikan komoditas. Tumbuhnya rasa ingin tahu absurd masyarakat terhadap kiprah politikus muda juga karena konstruksi media massa. Tak heran jika media massa suka mempertalikan kiprah politik para politikus muda hanya dari semangat “perseteruan” yang mereka tampilkan.
Dalam kaitan itu, maka Baudrillard setuju dengan Aristoteles ketika menegaskan, sebaiknya para politikus muda mencari pengalaman etis terlebih dahulu, agar keberadaannya dapat ditentukannya sendiri, baru kemudian terjun ke dunia politik nyata. Menurut saya, hal ini juga mesti diperhatikan oleh media massa cetak dan elektronika kita, sehingga secara etis bersedia mengurangi porsi pernyataan politikus muda kita yang suka “mengompori” masyarakat dengan bahasa-bahasa yang mengingkari etika komunikasi politik. Pasalnya, sehubungan dengan kehidupan demokrasi, media massa lebih berfungsi sebagai wadah pembelajaran politik berbangsa dan bernegara. Ingatlah, di luar sana ada “media massa lain” yang disebut medsos, yang suka menyebar hoax dan ujaran kebencian.
Patut dikemukakan, di dalam bahasa yang kita gunakan sehari-hari sebenarnya ada jalinan benang merahnya dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Jadi, jangan pernah mengatakan Pancasila itu tidak membumi.
Merdeka!
Kota Depok, Bulan Puasa, Juni 2017