Politik Curiga Jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
Dalam setiap peristiwa kerusuhan, apa pun itu, ketika alat negara dinilai lamban mengatasinya, selalu saja masyarakat mengeluh, “Mengapa negara tidak pernah hadir demi melindungi kehidupan rakyatnya?” Bagaimana jika hal ini kita bahas melalui konsep politik curiga? Apakah itu politik curiga?
Keluhan semacam itu terus saja mewarnai kehidupan kita sehari-hari, terutama ketika pemerintah (sebagai representasi negara) dinilai lamban bertindak terhadap apa pun yang terkait dengan kesejahteraan rakyat: meroketnya harga sembako, mahalnya biaya pendidikan, merebaknya praktik korupsi di semua bidang profesi, karut-marutnya proses perbaikan infrastruktur, dan ketidakbecusan pemerintah menangani sistem transportasi publik terkait dengan keparahan lalu lintas.
Bahkan, kalau kita menyimak pemberitaan media massa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, keluhan tersebut seolah bermetamorfosis menjadi (dalam istilah saya) politik curiga. Dalam konteks filsafat politik, politik curiga tidak langsung berkelindan dengan objek-objek empiris seperti yang digarap oleh ilmu politik dan sosiologi. Politik curiga berposisi sebagai semacam “kacamata fenomenologis”, yang oleh karena itu menurut saya lebih memiliki nilai epistemologisnya dalam melihat dan membahas ihwal yang terjadi dalam kehidupan sosial dan politik bangsa kita belakangan ini.
Politik curiga, dengan demikian, berhampiran dengan filsafat praktis lainnya seperti filsafat nilai, filsafat hukum, dan filsafat sosial. Keempat hal ini dipertemukan oleh perspektif bahasa yang digunakan oleh masing-masing kelompok masyarakat yang terkait dalam mereka berinteraksi. Harap dicatat, bahasa dalam konteks ini bukan bahasa dalam arti linguistik (yakni bahasa yang cuma dianggap sebagai bentuk atau struktur), melainkan bahasa dalam pengertian pengejewantahan nilai-nilai hidup kelompok-kelompok masyarakat dalam berkehidupan. Dalam ungkapan lain, tidak mungkin dan tidak pada tempatnya kita hanya menganggap bahwa bahasa hanya ada dalam dua bentuk, yaitu bahasa baku dan bahasa tidak baku, dan oleh karena itu hanya bahasa baku yang patut dianggap didewakan. Pasalnya, sebagaimana dibuktikan dalam kehidupan, banyak sekali tata permainan bahasa dalam hidup yang masing-masing mencerminkan konteks suatu nilai hidup masyarakat pemakainya. Dalam perspektif Filsafat Bahasa, memecah-belah bahasa menjadi bahasa baku dan tidak baku, selain mengandaikan komunikasi akan menjadi pincang, juga sekaligus melenyapkan segi-segi emansipatoris dalam berkomunikasi.
Kembali pada pemberitaan media massa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, kita disuguhi oleh informasi yang mengesankan negara ini hanya diwarnai oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan pihak-pihak yang kebetulan diberi wewenang. Sebagai contoh, simaklah judul atau topik berita Kompas berikut ini: “Kesenjangan Pendapatan Makin Lebar” (3/4/14; h.1) yang boleh dimaknai bahwa selama ini tidak pernah ada kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan; “PPATK Curigai Transaksi Caleg” (3/4/14; h.1) yang boleh kita pahami bahwa calon anggota legislatif selama ini selalu melakukan kecurangan dalam hal transaksi keuangan dan sementara itu Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah pihak yang dikesankan paling berwenang untuk hal tersebut; “Demokrasi dan Ekonomi Alami Kemajuan” (3/4/14; h.2) yang bisa kita persepsikan bahwa selama ini demokrasi dan ekonomi kita belum pernah mengalami kemajuan; dan “Dana Bansos 8 Provinsi Naik: Cegah Penyimpangan, ICW Desak Moratorium” (3/4/14; h.3) yang dapat kita artikan bahwa selama ini selalu terjadi penyimpangan dana Bansos.
Menyimak pemberitaan tersebut, menjadi jelas bahwa bangsa kita sedang ditelingkung oleh (dalam istilah saya) politik curiga, yang jika dikembalikan kepada keluhan masyarakat akan terkait dengan pertanyaan “mengapa negara tidak hadir?”. Apalagi, pemberitaan tersebut dibingkai oleh Kompas dalam konteks jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014. Tidak perlu kita pertanyakan apakah intentional meaning (makna niatan) Kompas, dan juga media massa lain, ketika membingkai suatu peristiwa, sebab menurut saya jawabannya hanya terkait dengan peningkatan tiras dan pemasukan iklan. Yang penting dipertanyakan, mengapa politik curiga sudah sedemikian tumbuh dan berkembang, sehingga buru-buru dijadikan santapan lezat media massa? Berkenaan dengan hal ini, sebagai contoh, andai politik kita pahami sebagai praksis dari teori Kontrak Sosial Hobbes, boleh dipertanyakan mengapa rakyat Indonesia “tidak merasa” diwakili oleh para wakilnya di parlemen (sehingga mengeluhlah mereka, “mengapa negara tidak hadir”)? Itu sebabnya, melalui pemberitaan media massa, yang selalu kita hirup saban hari adalah hiruk-pikuk politik curiga.
Politik dan Negara
Dari kacamata ilmu politik, boleh saja kita berargumen politik curiga itu tumbuh seiring dengan perkembangan pelbagai peristiwa politis. Kita juga boleh berdebat, dari kacamata sosiologi misalnya, politik curiga berkembang karena makin banyaknya rakyat miskin akibat kian langkanya kesempatan kerja.
Mau diperdebatkan dari kacamata ilmu hukum? Boleh, tapi bukankah pelbagai contoh telah membukakan mata kita lebih lebar, ternyata yang menimbulkan politik curiga justru ulah orang-orang di dunia hukum sendiri. Artinya, perdebatan ini malah akan menjadi debat kusir. Oleh karena itu, agar tidak menjadi debat kusir, menurut saya, satu-satunya hal yang sulit dimungkiri adalah kenyataan bahwa kita belum memiliki kecakapan dalam berbahasa. Sekali lagi, bahasa dalam konteks ini amat berbeda dari bahasa dalam konteks linguistik. Jadi, dalam perspektif Filsafat Bahasa, berbahasa bukanlah sekadar kecakapan kita merangkai kalimat dan menggunakan titik-koma (ini semata-mata urusan siswa SMP), melainkan bagaimana kita (siapa pun kita) menyampaikan pelbagai ihwal yang bernilai aksiologis, demi berbangsa dan bernegara, melalui pilihan kata yang tepat, yakni yang sesuai dengan konteks tata permainan bahasa, yang emansipatoris, dan yang komunikatif. Pilihan kata yang tepat, tentu saja tidak perlu dilumuri oleh istilah-istilah asing, apalagi jika dilakukan dalam rangka biar kelihatan intelek.
Tanpa memiliki kecakapan berbahasa, lihatlah contohnya, kita sulit membedakan makna antara “politik” dan “negara”, sehingga tidak heran muncul politik curiga sebagaimana dilakukan media massa. Tidak heran pula, rakyat selalu berteriak, “Mengapa negara tidak pernah hadir!”. Padahal, politik (sebagai segala tindakan terkait urusan kebijakan pemerintahan negara) merunuti sejarahnya, yakni sejak Aristoteles (384-322 sM), berkelindan dengan prinsip keadilan yang fundamental (hukum kodrat). Prinsip keadilan inilah yang mendasari penyelenggaraan negara dan perumusan undang-undang. Kendati prinsip keadilan terus-menerus dikembangkan para filsuf, pertanyaannya apakah kita pernah mengikuti dan memahaminya? Inilah kecakapan berbahasa sebagaimana saya maksud.
Pendidikan Politik untuk Rakyat
Pertanyaan berikutnya, kalau begitu, mengapa rakyat selalu mengeluh tentang ketidakhadiran negara? Padahal, kalau mengikuti sejarahnya, konsep tentang negara itu sendiri baru ada pada abad 17-an, ketika Machiavelli berhasil mendefinisikan konsep negara secara baru setelah mengoreksi konsep negara buatan Romawi (Latin) seperti regnum, imperium, dan res publica.
Hal ini, berarti, siapa pun kita (di luar rakyat yang mengeluh itu) memang abai terhadap kecakapan berbahasa. Melalui bacaan (ini juga tindak berbahasa), kita akan bersikap kritis, sehingga kita bebas mencoblos nama seorang caleg dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014 hanya dengan mendengarkan pidato, perdebatannya dengan lawan politiknya, dan tulisannya, alias kecakapannya berbahasa, tanpa perlu kita terpengaruh oleh iming-imingnya, baik berupa uang, jabatan, atau apa pun.
Implikasi dari hal di atas, pendidikan politik untuk rakyat, yang semula kita percayakan sepenuhnya pada media massa, sudah waktunya kita tarik dan kita coba untuk menjadikannya sebagai kurikulum tersendiri di kampus-kampus, asalkan tidak dibaurkan dengan Pancasila dan Civics (catatan kritis: tapi, apakah pihak Kemendikbud bersedia atau apakah pihak Kemendikbud memang memiliki politik curiga tersendiri?). Kalau politik curiga memang sengaja disebarluaskan, oleh siapa pun termasuk media massa, berarti sebagian kita memang bukan orang yang peduli terhadap NKRI. Bolehlah kita pertanyakan, buat apa mereka itu berteriak-teriak tentang kesejahteraan rakyat?
Selamat mengikuti Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Kota Depok, 3 April 2014