Pancasila dan Keliru Epistemologi
Ideologi memang sering kali menimbulkan masalah. Padahal, pada dasarnya ideologi adalah sistem pengetahuan dalam berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya, Pancasila, yang sudah diyakini sebagai ideologi bangsa, tidak dapat dipahami hanya melalui kacamata moral belaka. Apalagi, melakukan pengategorian yang tidak pas.
PERDEBATAN para filsuf mengenai ideologi memang tak berkesudahan. Rata-rata mereka menggarisbawahi bahwa ideologi adalah bentuk kesadaran yang dilegitimasi dan dipercaya bersama oleh suatu masyarakat.
Studi Geuss (1990) mencatat bahwa sejauh ini perdebatan tersebut setidaknya dapat dipayungkan di bawah tiga perspektif. Yang pertama, perspektif deskriptif-antropologis yakni mereka yang beranggapan bahwa ideologi adalah konsep, ide, atau kepercayaan kelompok-kelompok masyarakat, baik yang dapat dieksplisitkan maupun yang tidak. Kalau kita pernah mendengar istilah “ideologi agama”, misalnya, maka maknanya adalah serangkaian kepercayaan nyata tentang sesuatu yang luar biasa. Yang kedua, perspektif peyoratif yaitu mereka yang berasumsi bahwa ideologi hanyalah berupa kesadaran palsu, mengingat kepercayaan-kepercayaan yang terkandung di dalamnya tidak tersedia secara empiris atau tidak dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu, menurut Habermas (1981), asumsi ini harus “diluruskan” secara kritis.
Agar tidak palsu, atau agar dapat disebut ideologi (dibaca: pandangan dunia), Habermas mengatakan ideologi sebagai sebuah kesadaran harus diberi sifat fungsionalnya, yakni dalam rangka mendukung, menstabilkan, atau melegitimasi macam-macam institusi atau praktik sosial tertentu. Implikasinya, boleh saja institusi atau praktik sosial itu dikritik, atau bahkan dicela, agar kesadaran palsu itu tidak lagi terwujud. Yang ketiga, perspektif positif yakni mereka yang memercayai bahwa ideologi haruslah dibentuk atau dikonstruksi, sehubungan dengan tuntutan eksistensial manusia perihal hidupnya di dunia dalam rangka meraih “kebenaran”, “kebaikan”, dan “keindahan”. Mengingat tuntutan eksistensial tersebut tidak sepenuhnya dapat “dijawab” oleh kebudayaan mereka, menjadi logis bila mereka membutuhkan ideologi. Dengan demikian, suatu kebudayaan dalam konteks ini tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai fakta yang sudah hadir pada dirinya sendiri, atau sudah tersedia begitu saja, sebab jangan-jangan itu adalah hasil konstruksi.
Dari hal di atas, mungkin kita dapat melihat Pancasila melalui ketiga perspektif tersebut. Pasalnya, bukankah secara deskriptif-antropologis kita sudah lama mengakui Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, namun terkadang kita lupa bahwa Pancasila hidup berdampingan dengan ideologi-ideologi individu. Dari sudut peyoratif-fungsional, kita juga sempat merasakan bagaimana Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan terkait dengan tuntutan legitimasi rezim yang berkuasa, sehingga sebagai kesadaran ideologi Pancasila ketika itu berubah menjadi kesadaran palsu yang tidak berkorelasi dengan segi-segi empiriknya. Itu sebabnya, melihat sifat positifnya yang selama ini terbuka pada proses perkembangan/kemajuan kehidupan, agak sulit diterima akal jika ada yang berpendapat bahwa Pancasila adalah “barang antik yang mesti digosok lagi supaya berkilap”. Pendapat semacam ini mempertontonkan betapa pihak yang berpendapat itu tidak memahami nilai-nilai Pancasila. Alias, tidak memahami “diri-pribadinya” sendiri.
Dari sudut empirik, ideologi Pancasila berisikan sekumpulan nilai yang diangkat dari prinsip-prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita, yakni nilai-nilai religius, adat-istiadat, kebudayaan, dan kenegaraan. Sekumpulan nilai ini dapat disebut dalam istilah nilai kearifan, yakni konsep tentang penghargaan warga masyarakat terhadap hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat dan penting bagi manusia sehubungan dengan kepandaiannya menggunakan akal budi dan pengalaman. Itu sebabnya, Pancasila bukanlah ideologi kebangsaan yang harus kita sangsikan. Itu pula sebabnya, hemat saya, agak aneh jika ada yang mengategorikan Pancasila ke dalam salah satu pilar negara (di sisi UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Pasalnya, nilai kearifan tentu tidak sekategori dengan wujud bernegara. Andai hendak diibaratkan, nasi (hakikat) tentu tidak dapat dianggap sekategori dengan produk-produk olahannya, seperti lontong, nasi goreng, atau nasi uduk (praksis-kontekstual).
Mengategorikan Pancasila dengan ketiga “produk olahannya” (UUD 1945, NKRI, dan visi Bhinneka Tunggal Ika) dengan semena-mena, selain membuktikan sudah terjadi keliru epistemologi, juga membuat Pancasila dipahami hanya melalui kacamata moral belaka. Sudah saya garis bawahi, pada hakikatnya Pancasila adalah sistem pengetahuan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut harga mati, bukan lainnya.
Kota Depok, Agustus 2013