Ugi Memotret Alam
Percaya sajalah bahwa sesungguhnya “pengarang telah mati”. Kematiannya, juga mesti dipercayai sebagai kematian fenomenologis. Artinya, secara penampakan, dewasa ini pengarang sudah tidak dimungkinkan lagi menjadikan dirinya sebagai subjek bahasa, alias “mengatur” pembacanya agar memercayai cerita yang dikonstruksinya.
Sementara itu, juga secara penampakan, pembacalah yang sekarang “berkuasa” atas pemaknaan terhadap novel yang dibacanya, sehingga selain dapat diberi predikat “juga menjadi pengarang”, pembaca juga bebas mendekonstruksi novel tersebut (jika mau, lho!). Inilah penampakan yang harus diakui sebagai keniscayaan. Sekadar catatan, penampakan, mungkin kita tahu, adalah “roh” fenomenologi.
Penampakan Ugi (Ugi Agustono), ketika menulis (selama tiga tahun) novelnya, Tenun Biru (Nuansa Cendekia, Bandung, 2012; 362 h.) juga menyarankan saya begitu. Tiga tahun lamanya ia “berkelana” ke pedalaman Nusantara, bertugas menjadi ibu guru informal bagi anak-anak yang hidup di pelosok-pelosok, menghirup dan merasakan denyut kehidupan alami, dan memotret betapa indahnya Indonesia.
Karena memotret, ia mengonstruksi keindahan Indonesia “hanya” pada Kalimantan Timur, Karimunjawa, Bali, Kota Tua di Jakarta, Toraja, dan Rawa Sampih di Cianjur. Ibarat etnograf, Ugi, misalnya, memotret bagaimana ketika perahu kayunya menyusuri sungai selebar 10 meter yang berliku di wilayah permukiman orang Dayak Banuaq, Kutai Barat. Dikatakannya, walau wilayah itu masih terisolasi, masyarakatnya terbuka dan progresif. Penduduk di situ, dikenal sebagai perajin tenun ulap doyok (nama daun serupa pandan yang memang tumbuh subur di tempat itu). Ugi juga memotret ketika perahunya berpapasan dengan perahu kayu yang didayung oleh orang Banuaq.
Juga karena memotret, Ugi menghadirkan tokoh Janus dan Ratna sebagai pengikat alur cerita. Janus, lahir di Malang dengan penuh penderitaan, namun besar di Jerman dan sukses sebagai pengusaha. Sementara itu, Ratna orang Indonesia yang hidup berkecukupan sejak kecil, sempat berkuliah di UCLA dan sukses pula sebagai pengusaha, namun memiliki hobi bertualang ke luar-masuk pedalaman dalam rangka mengajar secara informal anak-anak pedalaman dan anak-anak miskin. Kedua tokoh berusia 30-an tahun ini dipertemukan oleh Ugi secara kebetulan (h.23), kemudian saling jatuh cinta, meskipun saling tidak menyatakan, dan keindahan cinta mereka itu oleh Ugi lantas dijadikan alur cerita yang diletakkan pada latar keindahan Indonesia yang telah disebutkan tadi.
Nah, bagaimana dengan judul “Tenun Biru”? Coba perhatikan kutipan berikut ini.
Mobil yang ditumpangi Ratna dan Janus menyusuri Sungai Sa’dan, sungai yang cukup dikenal oleh masyarakat Toraja. Namun, masyarakat luar Toraja bahkan sampai ke mancanegara lebih mengenal Sa’dan sebagai tempat perajin tenun (h.308)…”Kamu datangi pedalaman Indonesia, mengajar anak-anak dengan segala permasalahan masing-masing, sama seperti kamu membuat tenun,” kata Janus (h.309)…Ratna membiarkan saat Janus membayar tenun yang dibelinya. Setelah puas mencoba alat tenun tradisional, Ratna meninggalkan kios. Bergelayut manja di pundak Janus, hatinya gembira membawa tenun warna biru dari Sa’dan. Masuk mobil dan keduanya menuju Ke’te’ Kesu (h.310).
Sebenarnya, ada dua jenis kain tenun yang dipotret Ugi, tenun ulap doyok (Dayak) dan tenun biru Sa’dan (Toraja). Akan tetapi, rupanya Ugi lebih tertarik menjadikan tenun biru Sa’dan sebagai “benang merah” proses pengentalan cinta Janus kepada Ratna.
Dikisahkan, ketika kedua tokoh itu sedang “berkelana” di kawasan permukiman orang Dayak Banuaq, di Kutai Barat (dibaca: Ratna sedang menyalurkan hobinya mengajar anak-anak pedalaman), pada suatu malam Janus “curhat” tentang dirinya kepada Ratna (h.91). Dikisahkan pula, ketika terjadi kerusuhan di Desa Cikancana Rawa Sampih, Cianjur, Ratna tertusuk pisau (dibaca: di Rawa Sampih Ratna juga dalam rangka sedang menyalurkan hobinya mengajar anak-anak miskin). Tatkala dibawa ke rumah sakit di kawasan Pondok Indah, Jakarta, jiwa Ratna ternyata tidak tertolong. Di tengah ratapan, tangisan, dan doa Janus, sembari ia menyelimuti tubuh-beku Ratna dengan tenun biru yang sudah dijadikan baju, keajaiban Tuhan pun datang: Ratna hidup kembali (h.354-355).
Kisah novel ini memang tidak berhenti pada penampakan Ratna yang “dihidupkan kembali” oleh Ugi. Juga tidak pada tenun biru, karena penampakan tenun biru di ujung kisah diubah Ugi menjadi adegan Janus memberikan cincin berlian kepada Ratna (h.359).
Kisah novel ini, dengan dengan demikian berhenti pada keindahan Indonesia yang dipotret Ugi. Andai hendak mengikuti fenomenologi Kant (1724-1804), kita memang harus piawai menggabungkan antara dunia inderawi dan dunia akal. Penampakan keindahan Indonesia yang dilakukan Ugi melalui novelnya, yang didasarkan atas dunia inderawinya itu, dengan demikian adalah ajakan logisnya bahwa Indonesia memang sungguh Indah, dan oleh karena itu kita harus mengakuinya pula secara logis.
Pengakuan logis itu, jika mengikuti fenomenologi Husserl (1859-1938), kiranya dapat dijelaskan secara epistemologis, karena kita memang mesti mereduksi keyakinan akan adanya ego dan persepsi mengenai sesuatu objek, dalam rangka memfokus pada esensinya, sehingga fenomena yang semurni-murninya dapat kita tangkap.
Menjadi benar, dunia inderawi Ugi seolah memfokus dan menghentikan kisah novelnya kepada Janus yang pada akhirnya meminang Ratna, namun ia tidak menghentikan pengakuan logis kita bahwa Indonesia adalah negeri yang ijo royo-royo.
Merdeka!
Depok, 1 Januari 2013
[Dibawakan pada acara bedah novel tersebut di FBS Unas, Jakarta, 11 Januari 2013]