Wisata atau Pariwisata?
HINGA detik ini, makna “wisata” dan “pariwisata”, terutama oleh mereka yang bergerak di dunia pariwisata, masih dicampurbaurkan sehingga terkesan kerepotan (tidak paham?) untuk membedakan misalnya apakah “wisata kuliner” ataukah “pariwisata kuliner”.
“Wisata” (kata kerja) bermakna bepergian bersama-sama, sedangkan “pariwisata” (kata benda) bermakna sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan untuk rekreasi. Artinya, kedua istilah ini secara kontekstual memang berbeda fungsi, meskipun sama-sama bermakna “melancong” alias “piknik”. Itu sebabnya, mungkin sekarang kita mudah membedakan makna “wisata laut” dan “pariwisata bahari”. Cuma, barangkali, ada yang bertanya-tanya apa pentingnya “mengurusi” bahasa pariwisata? Apalagi, di dalam dunia pariwisata kita, terlebih-lebih di dalam kurikulum sekolah-sekolah pariwisata, sudah lama digaungkan adagium bahwa pariwisata adalah bahasa Inggris, atau bahasa Inggris adalah pariwisata, jadi buat apa mengutak-atik soal bahasa.
Dalam konteks keindonesiaan, semestinya orang-orang yang bergerak di dunia pariwisata tidak hanya pandai berbahasa Inggris, tetapi juga piawai dalam berbahasa Indonesia. Pasalnya, berbahasa identik dengan proses berpikir logis yang terkonteks dengan nilai-nilai budaya setempat. Dalam ungkapan lain, memahami kepariwisataan hanya dipertautkan dengan bahasa Inggris doang, berarti kita mengabaikan nilai-nilai budaya milik kita sendiri, yang selama ini dicerminkan melalui bahasa Nusantara dan bahasa Indonesia oleh bangsa kita. Lebih jauh, dengan mengabaikan nilai-nilai budaya kita sendiri, tidak mengherankan jika kita seolah tidak pernah memiliki visi pariwisata nasional yang jelas. Hal ini hendaknya mesti menjadi perhatian kita semua, terutama jika dipertalikan dengan Indonesian Economic Outlook 2012-2013. Dikatakan, kinerja makro ekonomi Indonesia selama 2012 sangat aktraktif di tengah krisis utang negara-negara Eropa dan sebagian tekanan fiskal di AS.
Namun, sehubungan dengan kinerja tersebut, boleh kita pertanyakan secara kritis adakah agenda setting yang bersifat holistik di balik tujuan pengembangan wisata dan pariwisata kita? Kalau semata-mata bertujuan “menjual Indonesia” demi pemasukan devisa, mengapa parameter kita mesti digantungkan pada krisis utang negara-negara Eropa? Lagi pula, mengapa kita tidak memiliki slogan hebat seperti yang misalnya dimiliki Malaysia (Malaysia the truly Asia). Juga, andai hanya hendak “menjual provinsi”, mengapa tiap-tiap provinsi seolah tidak berdaya melengkapi diri dengan sarana dan prasarana yang memadai? Di Gili Trawangan, Mataram, contohnya, kita memang terpana oleh keindahan pantai dan biota lautnya. Kita juga disuguhi suasana tradisional, terutama dengan banyaknya “cidomo” (dokar berkuda) yang memang menjadi sarana transportasi darat utama di pulau tersebut. Namun, sekilas memandang, tidak ada aktivitas lain yang menonjol, yang memang dipersiapkan secara khusus untuk wisata dan pariwisata di Gili Trawangan. Bahkan, dari Kota Lombok menuju ke pelabuhan kecil yang akan menyeberangkan wisatawan ke Gili Trawangan, tidak ada “kehidupan pariwisata” selain jejeran hotel, wisma, dan penginapan. Tanpa kekhasannya tersendiri, yang digali dari nilai-nilai budaya setempat, keindahan pantai Gili Trawangan tidak serta-merta dapat dijual sebagai objek wisata dan pariwisata.
Berbeda dari Indonesia, ternyata negara lain mengembangkan wisata dan pariwisata nasionalnya secara lebih visioner. Melalui iklan-iklan mereka, Anda dapat memahami bagaimana kepiawaian mereka dalam “menjual” nilai-nilai budaya mereka sebagai objek wisata dan pariwisata. Dalam pernyataan lain, “jual diri” yang mereka lakukan melalui wisata dan pariwisata ditujukan secara jelas, yakni dalam rangka menarik investor asing. Sebagai contoh, perhatikan penggalan iklan tentang Vietnam berikut ini. “Hanoi secara khusus merupakan kota besar yang mulai bersolek agar bisa memikat para turis mancanegara untuk datang berkunjung. Anda dapat mengunjungi bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Prancis yang masih utuh dan dibiarkan apa adanya, terutama di Distrik Ba Dinh. Lokasi yang terkenal adalah French Quarter dengan dikelilingi gedung-gedung tua. Jangan lupa untuk singgah di Van Mieu (universitas pertama dan tertua di Vietnam yang dibangun tahun 1010), Pasar Dong Xuan, serta Pagoda Quan Troc.” (Kompas, 14/11/12; h.42).
Boleh Anda perhatikan, bagaimana Vietnam memelihara bangunan tuanya, yang merupakan bagian konkret nilai-nilai budaya mereka, dalam rangka “menjual diri” sehubungan dengan visi nasional mereka untuk pengembangan wisata dan pariwisata. Kondisi ini tentu berbeda dari Indonesia, yang mengesankan “sok modern” sehingga tidak sedikit bangunan tua bersejarah diratakan dengan tanah dan diganti dengan mal atau apartemen. Bahkan, kalau ada yang bertanya, kampus mana di Jakarta yang tertua, misalnya, saya yakin banyak orang yang tidak tahu. Alhasil, kita memang masih gamang dalam berwisata dan berpariwisata. Sebagai contoh, perhatikan bagaimana kita “mengiklankan” keindahan Pulau Wayag di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Dikatakan bahwa turis yang datang harus turis yang spesial, karena mereka harus merogoh kocek tak kurang dari 20 juta rupiah per orang. Biaya mahal ini adalah untuk kompensasi menikmati keindahan alam sambil berenang, menyelam di beberapa kawasan, dan mengunjungi sejumlah pulau di situ (Kompas, 14/11/12; h.33). Menyimak hal ini, boleh dipertanyakan, di manakah letak promosi wisata dan pariwisatanya?
Menjadi benar, tanpa memiliki visi nasional wisata dan pariwisata yang jelas, bangsa Indonesia akan terperangkap dalam semangat kosmopolitanisme, yakni paham yang berkembang dari negara-negara kapitalis yang mendukung globalisasi, yang pada dasarnya menolak hal-hal yang bersifat nasional dan lokal. Melalui kosmopolitanisme, sentimen-sentimen patriotik dan kebudayaan nasional dan lokal dijauhkan demi mempertahankan teori mereka bahwa umat manusia harus bersatu di bawah payung globalisasi. Oleh karena itu, andai kosmopolitanisme menjadi atau dijadikan “ideologi baru” oleh bangsa kita, sesuai dengan kenyataan bahwa ideologi selalu menarik hati, ideologi kebangsaan kita tentulah akan terpapar oleh individualisme dan pragmatisme. Dalam konteks wisata dan pariwisata, amat jelas bagi kita kosmopolitanisme itu mewujud melalui iklan-iklan wisata dan pariwisata tentang mancanegara, yang cenderung dikatakan amat elok, amat murah, dan amat menarik untuk dikunjungi. Sementara itu, objek-objek wisata dan pariwisata lokal dikatakan juga amat elok, namun berbiaya tinggi, sehingga lebih bernilai informasi daripada promosi, khususnya informasi kepada para turis mancanegara.
Amat jelas, semangat kosmopolitanisme dalam wisata dan pariwisata hanya akan membuat bangsa Indonesa sekadar menjadi “juru bicara” tentang keelokan negara lain. Dalam perspektif nilai-nilai budaya, hal tersebut tampak dalam ungkapan bahasa yang digunakan dalam iklan-iklan wisata dan pariwisata di media massa. Itu sebabnya, kita harus buru-buru menghapus adagium bahwa wisata dan pariwisata adalah bahasa Inggris, atau bahasa Inggris adalah wisata dan pariwisata, sebagaimana masih didengung-dengungkan orang hingga hari ini. Camkanlah bahwa suatu ungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari suatu nilai hidup yang terkonteks dengan kehidupan pengguna ungkapan bahasa tersebut.
Nah, masih bingungkah Anda memahami “wisata” dan “pariwisata?” ###
Depok, 17 November 2012
(Kolom yang dipesan oleh Bung Bayu Hari, redaktur majalah pariwisata di Jakarta)
baru ngeh ternyata wisata” dan “pariwisata berbeda. makasih jadi nambah ilmu nih
sama-sama…
Hehehe.. jadi gitu ya perbedaan antara wisata dan pariwisata? Baru ngeh juga saya.. ditunggu kunjungan balik bagi yang ingin melakukan wisata ke tempat wisata Gili Trawangan (bener kan ya penyusunan kalimatnya?) dengan Fast Boat dari Bali.
Jujur saja, saya juga baru paham bedanya “wisata” sama “pariwisata” dari tulisan ini 😀