MEA dan Peran Guru Bahasa Indonesia
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
Dari kacamata kritis, bahasa bukan lagi sekadar masalah konvensi. Bahasa justru amat berkaitan dengan masalah aksiologis (dibaca: bahasa sebagai sarana berkehidupan sehari-hari). Tak heran jika para filsuf Filsafat Bahasa Biasa sudah menegaskan adanya prinsip tata permainan bahasa, yakni prinsip yang menggarisbawahi bahwa bahasa biasa, alias bahasa yang digunakan manusia sehari-hari dalam berkomunikasi, bertalian dengan suatu bentuk kehidupan yang terkonteks dengan nilai-nilai masyarakat penggunanya. Dewasa ini, ketika kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang “dicemasi” era MEA, yang di antaranya tampak pada kekarutmarutan logika berbahasa, ternyata prinsip tata permainan bahasa harus dijadikan roh kita dalam berkomunikasi, apa pun profesi kita.
Pamula
Masih ingatkah Anda pada peristiwa yang diliput TV nasional belum lama ini: seorang wakil ketua DPR, yang usianya masih muda, dengan wajah dingin mengomentari penampilan seorang pakar bahasa, yang diminta sebagai narasumber ahli dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tentang kasus pelanggaran etika yang dikenakan kepada Ketua DPR RI Setya Novanto.
Sang Wakil Ketua DPR itu berujar, pakar bahasa tersebut tidak memiliki kredibilitas, kecuali jika yang dihadirkan oleh Sidang MKD adalah J.S. Badudu (pakar Bahasa Indonesia yang pada 1970-an kerap tampil di TVRI). Selain itu, lanjut sang Wakil Ketua DPR itu, pakar bahasa tersebut tidak bisa dikatakan pakar karena ilmunya sosiolinguistik.
Kita boleh terkekeh-kekeh mendengar komentar bebal si Wakil Ketua DPR itu. Kita juga boleh bersedih melihat kebebalannya, karena sebagaimana kita pahami kebebalan semacam itu agaknya merupakan cermin cara berbahasa rata-rata politikus kita dewasa ini dalam menguasai masyarakat demi kepentingan apa pun. Dalam pernyataan lain, di balik kebebalan sang politikus, terdapat masalah serius tentang bahasa kita sehari-hari, yang oleh karena itu: (1) kita mesti mengembalikan bahasa ke hakikatnya, mengingat belakangan ini bahasa masih dijadikan alat kekuasaan, terutama oleh para politikus, dan kemudian disebarluaskan secara satu arah oleh media massa, sehingga terbentuklah kebenaran umum (bahkan yang hiperrealitas); dan (2) kita mesti menumbuhkan kesadaran etis para guru Bahasa Indonesia, terutama berkaitan dengan kesiapan kita menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), bahwa mengajar bahasa adalah bagaimana kita mengajarkan cara berbahasa kepada siswa dan bukan “sekadar” membuat mereka menjadi ahli linguistik (melalui hafalan teori-teori linguistik).
Mengajarkan siswa cara berbahasa, dan bukan sebaliknya, setidaknya merupakan antitesis dari adagium “batas bahasaku adalah batas duniamu”. Pasalnya, kelak ketika mereka menjadi “orang”, cara berbahasa mereka tidak bakal mencerminkan betapa dunia mereka terbatas.
Jangan Berpolitik Selagi Muda
Ada alasan epistemologis mengapa saya menyinggung politikus (yang) bebal terkait dengan cara berbahasanya. Untuk itu, cobalah Anda mengingat pemikiran Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (ajaran Aristoteles tentang etika yang ditulis oleh Nicomachus). Yang patut digarisbawahi, Aristoteles melarang orang-orang muda terjun ke dunia politik.
Menurut Aristoteles, kebaikan moral adalah tujuan segala perbuatan manusia. Diakuinya, kebanyakan tujuan memang mempunyai pelbagai tujuan lain, sehingga kerap melahirkan serangkaian tujuan yang lain lagi. Akan tetapi, bagi Aristoteles, kebaikan moral merupakan tujuan akhir semua perbuatan manusia. Oleh karena itu, jika kembali ke “dongeng” sidang MKD, kebebalan sang Wakil Ketua DPR dalam “menyepelekan” kehadiran pakar bahasa bolehlah dimaknai bahwa kita sedang mengabaikan tujuan akhir perbuatan sang Wakil Ketua DPR itu sendiri. Artinya, seorang politisi muda, yang diandaikan sedang tenar karena kerap tampil di layar TV, tidak serta-merta berkorelasi dengan kebaikan moralnya. Dalam ungkapan lain, sang Wakil Ketua DPR yang sedang kita bicarakan itu tidak mencerminkan sebagai pribadi yang memiliki kebaikan moral. Menurut Aristoteles, kebaikan moral disebut baik karena dirinya sendiri, bukan karena suatu faktor lain di luar dirinya.
Kebaikan moral menampak dalam eudaimonia (kebahagiaan). Akan tetapi, oleh kebanyakan kita dewasa ini kebahagiaan cenderung dimaknai amat subjektif sebagai “senang”, “riang”, atau “gembira”, mengingat tuntutan kehidupan konsumtif dan hedonistik. Itu sebabnya, andai melihat tayangan TV, seolah menjadi wajar jika anggota DPR identik dengan mobil mewah, rumah mentereng, dan gaya hidup yang dibalut privilise. Pihak media massa pun tak perlu berpayah-payah bersikap kritis ketika menulis/menayangkan hasil wawancara dengan mereka. Apa pun yang diucapkan anggota DPR, termasuk kiat mereka menyelipkan sejumlah kata asing, cenderung dianggap sebagai kebenaran umum (dan sering ditiru banyak orang). Padahal, saya hampir yakin, mereka tidak memahami makna kata-kata yang terkonteks dengan ucapan mereka itu.
Contohnya, marilah kembali ke “kisah” atau “dongeng” sidang MKD. Ketika sidang itu menghadirkan saksi Maroef Sjamsoeddin (presdir PT Freeport Indonesia), salah seorang Yang Mulia dari Fraksi PPP mengucapkan pertanyaan, “Apakah saat merekam Saudara minta izin? Tindakan memata-matai bukan oleh penegak hukum melanggar Pasal 26 dan Pasal 32 UU ITE. Ancaman hukumannya 10 tahun penjara. Artinya, tindakan Saudara melanggar hukum, apakah Saudara tahu?” (Kompas, 8/12/2015; h.2). Dari pertanyaan ini, jelas sekali sang Yang Mulia itu tidak memahami makna kata “minta izin”, “melanggar hukum”, dan “tindakan mematai-matai” terkait dengan konteks sidang tersebut. Sengaja atau tidak, sang Yang Mulia itu mengira diksi (pilihan kata) boleh seenak perutnya digunakan di sembarang konteks. Tentang konteks dalam berbahasa, oleh tokoh utama Filsafat Bahasa Biasa (bahasa sehari-hari), Wittgenstein (1889-1951), dinyatakan dalam istilah tata permainan bahasa (language-games). Menurut Wittgenstein, dalam tiap aspek kehidupan selalu terdapat banyak sekali tata permainan bahasa, yaitu aturan-aturan tersendiri yang mencerminkan suatu nilai yang terkonteks dengan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Itu sebabnya, di dalam kehidupan sehari-hari kita mudah membedakan mana tata permainan bahasa berdoa, mana tata permainan bahasa mengajar di depan kelas, mana tata permainan bahasa melaporkan, mana tata permainan bahasa tulis resmi, dan seterusnya.
Dalam kaitan dengan Bahasa Indonesia, tentu kita juga mengenal tata permainan Bahasa Indonesia resmi tulis, tata permainan Bahasa Indonesia resmi lisan, tata permainan Bahasa Indonesia untuk tata permainan Bahasa Indonesia ketika kita sedang berada di pasar, dan seterusnya, yang pada hakikatnya mencerminkan adanya aturan-aturan tersendiri yang terkonteks dengan suatu nilai kehidupan yang diyakini pengguna tata permainan bahasa itu masing-masing. Menggunakan suatu diksi tanpa memperhatikan makna dan konteks penggunaanya, berarti kita berperilaku bebal, sebagaimana dipantulkan dari cara berbahasa sang Wakil Ketua DPR dan sang Yang Mulia tersebut. Pantulan ini, dari perspektif lokusi (niat) si penutur, bisa jadi mengandung unsur-unsur konspiratif demi memerdaya masyarakat. Tentang hal ini, saya jadi teringat seorang artis(?) kita yang gemar memakai diksi yang bukan untuk konteksnya, seperti “kudeta hati”. Kata “kudeta”, sesuai dengan konteks politik bermakna perebutan kekuasaan dengan berdarah-darah, sedangkan kata “hati” sesuai dengan konteks psikologi bermakna sifat batin manusia. Andai kedua kata yang berbeda konteks ini digabung, tentu saja tidak bermakna apa-apa. Celakanya, kebanyakan kita kegirangan mendengar artis bebal itu berkata-kata di layar TV. Bahkan, banyak yang menganggap cara berbahasa si Artis Bebal itu sebagai kebenaran berbahasa.
Bahwa kebebalan berbahasa itu memang nyata di tengah-tengah kita, ucapan sang Yang Mulia itu tadi bisa kita analisis dari sudut tindak tutur komunikasinya (Wibowo, 2009, 2015). Dalam perspektif Filsafat Bahasa Biasa, Austin (1961, 1962), penerus pemikiran Wittgenstein, sejak lama sudah mengingatkan kita bahwa dalam keseluruhan tindak tutur (cara berbahasa) manusia selalu diwarnai oleh tiga aspek yang berkelindan. Pertama, unsur lokusi, yaitu niat si penutur ketika menghadirkan fakta melalui penafsirannya yang subjektif; kedua, unsur ilokusi, yaitu tindakan si penutur dalam mewujudkan niatnya (melalui lisan atau tulisan); dan ketiga, unsur perlokusi, yaitu respons atau efek yang muncul pada pendengar/pembaca bertalian dengan kedua unsur yang telah disebutkan.
Oleh karena itu, setelah mendengar/membaca “kisah” atau “dongeng” sang Yang Mulia itu, jelas sekali selain tidak memahami tata permainan bahasa, ia juga tampak sengaja melalui daya ilokutifnya “menyerang” saksi Maroef Sjamsoeddin dengan cara ekspositif, yaitu menyederhanakan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan di luar konteks persidangan. Pertanyaan kritisnya, apakah kebebalan sang Yang Mulia itu boleh dibenarkan? Fakta berikut ini dapat menjawabnya secara sederhana: dari sudut lokusinya, tentu saja sang Yang Mulia itu mesti membela tuannya atau kelompoknya. Hal ini diwujudkan melalui pertanyaan (yang di luar konteks persidangan) demi menyudutkan saksi melalui ideologi dan penafsirannya. Dari hal ini, muncullah peristiwa perlokutif, yaitu respons atau efek tertentu pada pembacanya/pendengarnya. Peristiwa perlokutif yang datang pada saya, contohnya, memunculkan kesadaran etis saya bahwa sang Yang Mulia itu mengesankan sebagai pribadi yang bebal, seperti yang “diidap” oleh sang Wakil Ketua DPR dan si Artis Bebal tersebut.
Kembali ke masalah bahagia atau kebahagiaan itu sendiri, menurut Aristoteles sebenarnya merupakan suatu keadaan yang objektif tentang kebaikan moral. Kekuasaan dan hidup mewah memang bermanfaat, namun itu bukanlah kebagiaan yang sebenarnya. Jika manusia dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya sebagai manusia melalui akal budinya, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Cara mewujudkannya, menurut Aristoteles, manusia mesti berani untuk terus-menerus mengarahkan sikap moralnya dalam berperilaku. Keberanian ini merupakan suatu keadaan yang tetap, yang oleh karena itu mengandung suatu kualitas hidup yang disebut keutamaan hidup, yang membuat orang berperilaku bukan karena kebetulan (sedang berkuasa) dan mumpung (sedang bergelimang harta). Menurut Aristoteles, inilah jalan tengah dari dua ekstrem dalam rangka meraih keutamaan hidup. Artinya, ketika seorang politisi muda yang kebetulan sedang memegang kekuasaan sebagai wakil ketua DPR (ekstrem pertama) dan mumpung sedang bergelimang harta (ekstrem kedua), ia mesti mampu memilih “jalan tengah” untuk tidak berkomentar seenak perutnya terhadap orang lain dari profesi berbeda. Dengan demikian, keutamaan hidup adalah perilaku yang bertalian dengan kesadaran dan kebebasan etis manusia.
Kita juga mesti memahami bahwa perilaku apa pun yang dianggap baik tidak serta-merta menjadikan pelakunya disebut bijaksana (bermoral). Seorang politisi muda, yang dipuji-puji media massa karena dianggap memiliki wawasan luas tentang politik, hukum, dan ekonomi, umpamanya, tidak serta-merta dapat dikatakan bijaksana. Ia hanya disebut baru memiliki kesadaran praktis atas profesinya. Dalam ucapan lain, ia belum berpengalaman karena masih muda, dan oleh karena itu ia juga dikatakan belum bijaksana. Pasalnya, objek politik, hukum, dan ekonomi (dan juga ilmu formal lainnya) merupakan hasil abstraksi, sedangkan kebijaksanaan pasti datang dari pengalaman. Berpijak dari hal ini, tidak mengherankan jika Aristoteles mengatakan bahwa dunia politik janganlah diberikan kepada mereka yang masih muda (juga muda usia).
Kebijaksanaan dengan demikian bertentangan dengan kecerdasan. Jika kecerdasaan hanya menyangkut bagaimana menangkap pengertian dan istilah yang terbatas, kebijaksanaan justru bertalian erat dengan seluruh fakta yang muncul karena pengindraan (pengalaman). Makna pengindraan bukanlah menangkap suatu objek dengan pancaindra, melainkan memahami objek tersebut sebagai sesuatu yang ultimate (utama). Itu sebabnya, memahami dunia politik sebagai jalan etis mensejahterakan rakyat adalah ultimate, daripada sekadar menganggap sebagai jalan untuk memerkaya diri dan apalagi mengomentari secara sinis orang lain dari profesi berbeda. Menjadi kian jelas, oleh karena itu mengapa Aristoteles “melarang” anak-anak muda berpolitik.
Lalu, kapan anak-anak muda boleh berpolitik? Kalau ditilik dari konsep estetika sosial, boleh saja kita memercayai pendapat Baudrillard (1998) bahwa di dalam kehidupan dewasa ini ada semacam rasa ingin tahu yang absurd, yang terkadang sengaja dibentuk oleh media massa untuk dijadikan komoditas. Dampaknya, rasa ingin tahu absurd masyarakat terhadap kiprah para politisi muda kita cenderung merupakan konstruksi media massa belaka. Tak heran jika misalnya media massa mempertalikan kiprah politik para politisi muda itu hanya dengan kehidupan pribadi mereka. Hal ini kiranya dapat dibenarkan, sebab bukan kesadaran individu yang menentukan keberadaannya, melainkan konstruksi media massa yang justru menentukan kesadaran individu.
Jadi, para politisi muda sebaiknya mencari pengalaman etis terlebih dahulu, baru terjun ke dunia politik sesungguhnya. Hal ini, menurut saya, terutama amat bermanfaat bagi politisi muda bebal yang gemar berkomentar “asbun” (asal bunyi).
Bahasa Bukanlah Sekadar Konvensi
“Asbun” boleh jadi merupakan warisan paradigma strukturalisme tentang definisi bahasa yang mereka peroleh dari guru Bahasa Indonesia mereka, yaitu bahasa adalah suatu sistem simbol bunyi yang arbitrer, yang dihasilkan oleh alat ucap, dan digunakan secara konvensional oleh anggota masyarakat untuk berkomunikasi.
Warisan itu tentu memiliki dasar-dasar epistemologinya, mengingat rata-rata pakar linguistik struktural memang tidak memiliki perbedaan mendasar perihal definisi bahasa. Menurut Bolinger (1975), misalnya, bahasa adalah sistem komunikasi yang berhubungan dengan suara dan pendengaran yang berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman pemakainya, dengan menggunakan tanda-tanda konvensional berupa unit-unit pola bunyi yang arbitrer dan dipergunakan dengan aturan-aturan tertentu. Andai mau lebih jauh, sebelum itu Sapir (1949) bahkan telah menyatakan bahwa bahasa adalah alat penyampai ide, perasaan, dan keinginan yang sungguh bersifat manusia dan noninstingtif dengan menggunakan sistem simbol-simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan arbitrer.
Ratusan definisi bahasa boleh dilahirkan oleh para linguis struktural pengikut Saussure itu, namun dari perspektif kritis Filsafat Bahasa Biasa, Wittgenstein telah lama menggarisbawahi bahwa bahasa biasa (bahasa sehari-hari) tidak dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang sekadar masalah konvensi. Bahasa biasa juga tidak hanya bersifat simbolis bagi kehidupan manusia, tetapi juga menghasilkan dan menunjukkan kebudayaan manusia. Itu sebabnya, menurut Wittgenstein, dalam setiap aspek kehidupan selalu terdapat tata permainan bahasa. Dalam pernyataan lain, bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang memang berwarna-warni ini.
Memisahkan bahasa dari kehidupan, sebagaimana kecenderungan para linguis struktural, selain akan mereduksi bahasa hanya sebagai alat komunikasi, juga menjadikan bahasa sebagai ajang konspirasi para subjeknya dalam memperebutkan kekuasaan atas wacana yang mereka bangun.
Cara Berbahasa dan Tantangan MEA
Lalu, bagaimana para guru Bahasa Indonesia harus bersikap dalam menghadapi MEA. Andai masih hendak dibelenggu oleh paradigma linguistik struktural, para guru Bahasa Indonesia tentu tetap meyakini bahwa kekuatan bahasa terletak pada berfungsinya unsur sintaksis (tata bahasa, susunan kalimat, dan penggunaan titik-koma).
Akan tetapi, dalam Abad Bahasa dewasa ini, melalui perkembangan dahsyat teknologi komunikasi, kita mestilah bersikap kritis terhadap paradigma linguistik struktural. Apalagi, dengan kemunculan pelbagai bentuk wacana, kita harus mengakui bahwa masalah makna dalam bahasa (a) selalu bersifat kompleks mengingat kekentalan nilai-nilai kehidupan yang mengurapinya; (b) selalu berubah mengingat perkembangan nilai-nilai kehidupan itu sendiri; dan (c) selalu berkaitan dengan suatu tata permainan bahasa yang terkonteks dengan tindak tutur komunikasi para penggunanya. Itu sebabnya, paradigma kritis aliran Filsafat Bahasa Biasa, sebagai aliran yang memfokus pada hakikat penggunaan bahasa dalam kehidupan, amat menggarisbawahi bahwa berkomunikasi (dibaca: berbahasa) haruslah berpijak pada semangat emansipatoris dan etis. Penggarisbawahan ini memang patut dicermati, mengingat bahasa dan berbahasa kerap dijadikan ajang konspirasi para subjeknya dalam rangka memenangi suatu perebutan wacana.
Tentang ajang konspirasi, dapat kita maknai melalui hakikat MEA itu sendiri. Jika dikatakan MEA adalah upaya para pemimpin Asean (sejak sepuluh tahun lalu) dalam membentuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015, dalam rangka menyaingi Cina dan India terkait penarikan investasi asing, mudah dipahami bahwa di kawasan Asia Tenggara pasar tenaga kerja profesional akan terbuka lebar-lebar, di sisi arus barang dan jasa. Mudah dipahami juga, akan terjadi perembesan kebudayaan asing ke Indonesia, baik melalui bacaan dan tontonan (dibaca: bahasa), yang secara ideologi kebangsaan akan memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Pada titik inilah ajang konspirasi perebutan wacana akan terlihat kian jelas. Secara “samar-samar”, boleh kita pertanyakan secara kritis, mengapa sekarang ini tidak sedikit TV kita yang mulai “gencar” menayangkan sinetron asing?
Oleh karena itu, inilah sebabnya mengapa di bagian atas saya menegaskan para guru Bahasa Indonesia mesti lebih mengajarkan cara berbahasa kepada siswa daripada “sekadar” membuat para siswa menjadi ahli linguistik (melalui hafalan teori-teori linguistik struktural). Menanamkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar hanya melalui paradigma linguistik struktural, menurut saya akan mencerabut siswa kita dari kehidupan keindonesiaan itu sendiri. Sekadar contoh, pahamkah siswa kita terhadap perbedaan antara tata permainan bahasa artikel ilmiah dan tata permainan bahasa laporan ilmiah? Juga, mengapa ungkapan “mangan orang mangan kumpul” (Jawa), contoh lain, tidak serta-merta bisa diindonesiakan menjadi “makan tidak makan asal kumpul”? Saya khawatir, tanpa memahamkan cara berbahasa kepada siswa, akan tetap bermunculan politikus dan artis bebal, karena anti-emansipatoris dan anti-etika dalam berbahasa.
Lebih parah lagi, ketika para siswa kita itu belajar di perguruan tinggi dan tiba saatnya menulis skripsi. Tidak jarang mereka dilarang dosennya andai memilih topik skripsi yang berurusan dengan wacana kritis, misalnya mengkaji komik, dialog film, relief candi, pelat nomor polisi kendaraan, patung-patung yang bernilai ikonik, atau mengkaji ucapan-ucapan politis anggota parlemen. Alasan sang dosen, “Itu bukan urusan prodi kita!” Padahal, dewasa ini ilmu sudah begitu mencair. Mahasiswa prodi manajemen, misalnya, asalkan tetap memfokus pada objek formalnya, tentu bebas memilih objek material untuk skripsinya.
Terkait dengan artikel ilmiah, para guru Bahasa Indonesia juga diharapkan rajin mengirim artikel ilmiahnya ke pelbagai jurnal bereputasi. Melalui hasil penelitian ilmiah mereka, terkait kebahasaan Indonesia (dibaca: bahasa dan budaya Indonesia), artikel ilmiah mereka (yang tentu saja sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris) akan dibaca orang sedunia. Alhasil, nilai-nilai kehidupan kita akan dipahami pula oleh orang sedunia. Hal ini, selain menjadi tuntutan para guru Bahasa Indonesia dalam menghadapi MEA, juga akan mendongkrak peringkat jumlah artikel ilmiah yang ditulis ilmuwan Indonesia di tingkat Asia Tenggara (Wibowo, 2013). Pasalnya, sebagaimana dicatat SCImago Journal & Country Rank (2013), jumlah artikel ilmiah Indonesia hanya 20.166. Hal ini membuat Indonesia berada di posisi keempat, dibandingkan dengan Singapura (149.509), Malaysia (99.187), dan Thailand (82.209).
Pertanyaan kritisnya, mengapa para guru Bahasa Indonesia tidak rajin menulis artkel ilmiah?
Pamunah
Prinsip aliran Filsafat Bahasa Biasa, terkait dengan peran guru Bahasa Indonesia dalam menghadapi MEA, akan memperlihatkan nilai pentingnya manakala kita mampu memahami bahwa komunikasi antarmanusia pada hakikatnya cerminan dari pelbagai tata permainan bahasa yang terdapat dalam setiap konteks kehidupan, yang otomatis memperlihatkan nilai yang juga berbeda-beda. Hal ini berarti, mengajari siswa cara berbahasa Indonesia (bukan sekadar dijadikan ahli linguistik) adalah keniscayaan. Pasalnya, bahasa bukan sekadar alat berkomunikasi dan tidak dapat dilihat baik-buruknya hanya dari sudut strukturnya.
Bahasa adalah pengungkap segala realitas, yang pada hakikatnya cerminan dari nilai-nilai etis kemanusiaan dalam menjawab hakikat tujuan hidup manusia itu sendiri dalam meraih kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Alias, bukan saling memangsa.
(Catatan: Tulisan ini disampaikan di muka Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia VI, yang digelar oleh Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia, di Grand Pasundan Convention Hotel, Bandung, 21 Desember 2015).